Bab 6: Hari-Hari Tanpa Nama
Pagi itu matahari bersinar biasa saja. Tidak terlalu cerah, tidak juga suram. Seperti hati Valesca yang tak lagi mengenali apa itu antusias atau kehilangan. Ia hanya bangun, hidup, menjalani.
Tak ada lagi chat yang ia tunggu. Tak ada nama yang ia periksa terakhir dilihatnya. Ponselnya kini hanyalah benda, bukan penghubung dengan dunia yang dulu membuatnya berdebar.
Sudah tiga minggu berlalu sejak pesan terakhir dari Nicho. Sejak itu, Valesca memutuskan untuk benar-benar menyibukkan diri. Ia mengikuti kelas-kelas daring, membantu ibunya berjualan kecil-kecilan dari rumah, dan sesekali menulis untuk dirinya sendiri. Terkadang hanya satu kalimat pendek, terkadang berlembar-lembar yang akhirnya ia hapus sebelum sempat tersimpan.
Ada hari-hari yang terasa kosong. Tapi ada pula hari-hari ketika ia tersenyum pada hal-hal kecil: aroma kopi buatan sendiri, suara hujan di luar jendela, atau pelukan hangat dari adiknya saat ia terlihat diam terlalu lama.
Satu hal yang membuatnya masih bertahan adalah rutinitas kecil yang ia buat sendiri. Setiap pagi, ia akan menyapu halaman sambil menyetel musik. Dan setiap malam, sebelum tidur, ia akan menulis tiga hal yang ia syukuri hari itu. Meskipun sesekali ia kehabisan ide dan hanya menulis:
“Hari ini aku masih bernapas.”
Dan itu cukup.
---
Suatu sore, saat sedang membantu merapikan rak buku, ia menemukan secarik kertas kecil terselip di dalam buku favoritnya. Tulisan tangan itu milik Nicho, ia tahu betul bentuk hurufnya. Kertas itu ternyata surat kecil yang pernah ditulis diam-diam oleh Nicho saat mereka mengikuti kerja kelompok. Isinya sederhana:
“Kalau kamu pernah ragu, ingat aja ya… aku seneng banget kenal kamu.”
Valesca terdiam lama. Jemarinya menggenggam kertas itu erat, lalu ia menarik napas dalam-dalam.
"Aku juga senang pernah kenal kamu," bisiknya.
Tapi hari itu, ia juga tahu—kenangan seindah apa pun tak seharusnya menghentikan langkah.
---
Esoknya, Valesca menghapus semua foto Nicho di galeri utama. Ia simpan satu, di folder tersembunyi, bukan untuk dikenang, tapi sebagai tanda: pernah ada perasaan tulus yang ia berikan dengan penuh keberanian.
Di buku jurnalnya, ia menulis:
“Aku gak menyesal pernah jatuh. Tapi aku ingin belajar berdiri lagi. Kali ini bukan buat siapa-siapa. Cuma buat diriku sendiri.”
---
Hari-hari berikutnya, ia mulai berani membicarakan luka tanpa menangis. Ia mulai bisa menyebut nama Nicho tanpa suara yang bergetar. Dan ia mulai belajar: melepaskan bukan tentang berhenti menyayangi, tapi memberi ruang pada diri sendiri untuk tumbuh.
Ia tahu, mungkin suatu hari nanti ia akan jatuh cinta lagi. Mungkin luka ini akan menjadi cerita usang. Tapi hari ini, ia memilih untuk tetap hadir dalam hidupnya—tanpa perlu ditarik mundur oleh bayangan masa lalu.
Dan itu, baginya, sudah cukup.
