Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4: Kalau Saja Tak Pernah Ada Kita

Hari demi hari berganti, tapi bagi Valesca, waktu terasa seperti lingkaran yang berputar di tempat. Pagi datang, malam pergi, tapi perasaan tetap diam di titik yang sama—antara menunggu dan melupakan.

Suatu siang, saat sedang beres-beres buku perpustakaan sebagai bagian dari piket kelas, Valesca menemukan sebuah catatan kecil terselip di sela novel favoritnya. Bukan surat cinta. Hanya secarik kertas dengan tulisan tangan yang familiar:

“Terkadang, yang paling sulit bukan mengikhlaskan, tapi pura-pura tidak berharap.”

Valesca mengenali tulisan itu. Dan jantungnya berdetak lebih cepat.

“Nicho…” gumamnya pelan.

Ia menatap tulisan itu lama, seolah mencoba membaca lebih dari sekadar kata. Ia tahu, itu bukan permintaan untuk kembali, tapi semacam jejak—bekas dari seseorang yang pernah tinggal, lalu pergi.

---

Beberapa hari kemudian, sekolah mengadakan acara perpisahan angkatan kelas 12. Meski Valesca belum lulus tahun ini, seluruh siswa diundang untuk ikut menyambut dan merayakan.

Acara itu penuh dengan tawa, nostalgia, dan momen-momen haru. Tapi bagi Valesca, suasananya sedikit kabur. Karena di antara ratusan siswa dan guru, matanya hanya mencari satu sosok: Nicho.

Ia menemukannya akhirnya. Di bawah lampu gantung aula sekolah, sedang tertawa bersama teman-temannya. Ia tampak bahagia. Atau mungkin hanya terlihat begitu dari jauh.

Valesca menahan langkah, ingin mendekat tapi juga takut. Ia berdiri beberapa meter dari Nicho, lalu membalikkan badan, memilih berjalan ke taman sekolah.

Tak lama, langkah lain mengikuti.

“Valesca?”

Ia menoleh pelan. “Iya?”

Nicho berdiri di sana, senyumnya samar. “Kamu nyari aku, ya?”

Valesca ragu, lalu menjawab jujur, “Mungkin.”

Mereka duduk di bangku yang sama seperti dulu, di taman yang kini dihiasi lampu-lampu kecil dari acara perpisahan. Hening. Tapi bukan hening yang canggung. Hening yang penuh perasaan yang tak sempat diucap.

“Aku baca surat kamu yang dulu lagi,” kata Nicho.

“Oh ya?”

“Aku simpen. Di antara kertas ulangan yang udah nggak kepake.”

Valesca tertawa kecil. “Kamu nggak pernah berubah. Selalu nyelipin hal penting di tempat yang gak penting.”

Nicho ikut tertawa. “Tapi tetap aku simpen, kan?”

Mereka terdiam sebentar.

“Aku mau jujur, Les…”

Valesca menoleh. “Apa?”

“Kadang aku nyesel karena gak nyoba lebih lama bertahan. Tapi mungkin... aku cuma takut.”

“Takut apa?”

“Takut gak bisa bahagiain kamu. Takut jadi beban. Takut kamu jadi kecewa.”

Valesca menatap langit. “Kita semua takut. Tapi kalau semua orang menyerah karena takut, gak akan ada yang namanya hubungan.”

Nicho menggigit bibir bawahnya. “Kamu bener.”

Setelah itu, mereka tak banyak bicara. Hanya duduk berdampingan, membiarkan waktu berjalan seperti biasa—pelan, tak tergesa, tapi tetap tak bisa dihentikan.

Ketika lampu-lampu aula mulai padam satu per satu, tanda acara akan segera usai, Nicho berdiri.

“Kalau suatu hari nanti kamu lihat aku lagi… mungkin aku sudah bersama orang lain. Tapi di satu bagian hati aku, kamu tetap ada.”

Valesca tersenyum. “Aku gak minta kamu milikiku, Cho. Aku cuma pengen kamu bahagia.”

Dan dengan itu, mereka berpisah.

Kali ini benar-benar berpisah.

---

Malam itu, Valesca menulis satu kalimat di buku hariannya:

“Kalau saja tak pernah ada kita, mungkin aku tak akan sebegini patah. Tapi kalau tak ada kita, mungkin aku juga tak pernah tahu seberapa dalam aku bisa mencinta.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel