Pustaka
Bahasa Indonesia

Terlalu Tulus untuk Tidak Terluka

9.0K · Tamat
Valesca Larenza
15
Bab
44
View
9.0
Rating

Ringkasan

Valesca Larenza, gadis yang tumbuh dengan hati penuh ketulusan, tak pernah benar-benar paham mengapa mencintai selalu berujung pada kehilangan. Dari cinta pertama yang hanya bisa dipandang diam-diam, hingga seseorang yang pernah ia peluk dalam harapan namun harus ia lepas demi kenyataan. Di antara candaan, luka, dan tawa yang hanya bisa dipahami diam-diam, Valesca belajar bahwa melepaskan bukan berarti berhenti mencinta. Ini bukan sekadar kisah cinta, tapi kisah tentang belajar ikhlas, tentang bagaimana perasaan bisa tumbuh, patah, dan tetap hidup meski tak pernah benar-benar dimiliki.

TeenfictionDewasaMenyedihkanCLBKTuan MudaKehidupan SosialTeman Masa KecilCinta PertamaDrama

Bab 1: Hujan dan Hari yang Biasa

Langit sore itu kelabu. Hujan turun tipis di atas atap sekolah, menciptakan irama lembut yang terdengar di balik jendela ruang kelas yang setengah terbuka. Di bangku ketiga dari belakang, dekat jendela, duduklah seorang gadis bernama Valesca Larenza.

Valesca bukan tipe yang mencolok. Ia bukan bintang kelas, bukan juga pusat perhatian. Tapi ada sesuatu yang hangat dari caranya tersenyum, dari tatapannya yang lembut saat bicara dengan siapa pun. Ia selalu menjadi tempat bercerita, tempat pulang bagi orang-orang yang merasa kehilangan arah. Meskipun begitu, tak banyak yang tahu isi pikirannya. Ia pandai menyimpan.

Hari itu, seperti biasa, ia duduk sendirian sambil mencatat sesuatu di buku hariannya. Tulisannya rapi, teratur, seakan setiap huruf adalah perasaannya yang tak sempat diucapkan. Di balik halaman-halaman itu, tersembunyi banyak kisah yang tak pernah sampai pada siapa pun.

"Valesca," suara teman sebangkunya, Rani, memanggil pelan. "Kamu gak pulang? Udah jam tiga, loh."

Valesca menoleh dan tersenyum tipis. "Nanti aja, aku masih mau nunggu hujan reda."

Rani menatapnya sebentar, lalu mengangguk. Ia tahu, Valesca memang sering seperti ini. Diam-diam menunggu sesuatu—atau mungkin seseorang. Tapi Rani tidak bertanya lebih jauh. Beberapa hal lebih baik tidak dipaksa keluar dari mulut yang memilih diam.

Di luar sana, suara tawa dan langkah kaki mulai menjauh. Anak-anak pulang satu per satu, tapi Valesca tetap di tempatnya. Ia menatap ke luar, ke arah taman sekolah yang basah oleh hujan. Suara air yang menetes dari talang menjadi semacam pelipur lara. Hujan seperti mengerti apa yang tak bisa ia jelaskan.

Matanya menangkap sosok itu—seseorang yang sejak beberapa bulan lalu secara perlahan mencuri perhatiannya. Bukan karena sikap manis atau kata-kata romantis, tapi karena kehadirannya yang sederhana, yang tanpa sadar jadi berarti.

Nicho. Cowok yang duduk di barisan depan, tidak terlalu menonjol, tapi entah kenapa matanya sering mengarah ke Valesca saat guru menjelaskan. Ia sering membuat lelucon kecil, bukan yang meledakkan tawa, tapi cukup untuk membuat Valesca tersenyum sendiri. Ia pernah bilang, “Kalau kamu gak ada di kelas, kayaknya kelas jadi sepi.”

Kalimat itu masih sering berputar di kepala Valesca.

Mereka tidak dekat, tapi tidak juga asing. Kadang mereka pulang bareng. Kadang saling kirim chat ringan soal tugas. Tapi ada jeda yang tidak bisa ditentukan jaraknya. Seolah mereka berdiri di garis yang tidak pasti—bukan teman, bukan juga lebih.

Satu kali, Nicho pernah sakit. Ia datang ke sekolah dengan bekas luka kecil di pelipis, dan Valesca dengan refleks mengeluarkan plester dari tasnya. “Pakai ini,” katanya. Ia tidak menunggu jawaban, hanya menyodorkan. Nicho menerimanya dengan tatapan yang agak kaget, tapi juga... hangat.

Sejak saat itu, ada hal kecil yang berubah.

Bukan jadi pacar. Bukan juga sahabat.

Tapi ada obrolan larut malam yang muncul sesekali. Ada emoji dan yang dibalas dengan atau . Ada rasa lega saat namanya muncul di notifikasi.

Valesca tahu, ia sedang jatuh hati. Tapi ia juga tahu, ia harus berhati-hati.

Karena di hidupnya yang lalu, pernah ada hati yang ia jaga baik-baik, hanya untuk akhirnya diabaikan. Pernah ada seseorang yang ia beri segalanya, tapi memilih pergi. Dan luka itu masih ada, meski tak terlihat.

Ia menunduk. Tangannya menulis sesuatu di buku harian:

“Jatuh hati adalah hal paling diam yang bisa aku lakukan. Bahkan saat semua orang tertawa, aku hanya ingin diam-diam tahu kamu bahagia.”

Hujan mulai reda. Langit menguning perlahan.

Suara langkah mendekat. Bukan Rani. Bukan guru. Tapi suara yang entah kenapa bisa dikenali oleh telinga Valesca.

“Nunggu jemputan?” suara itu datang dari belakangnya.

Valesca menoleh. Nicho berdiri di ambang pintu kelas, rambutnya sedikit basah, jaketnya kebesaran. Ia mengusap lehernya yang agak lembap. “Atau nunggu hujan selesai nangisin kamu?”

Valesca tertawa kecil. “Kamu lucu ya.”

Nicho duduk di kursi sebaris dengannya, beberapa bangku di samping. “Lucu karena kamu ketawa.”

Ada diam yang nyaman. Bukan kikuk. Bukan canggung.

“Eh... kalau kamu ada waktu... nanti malam... mau bantu aku bikin tugas gak?” tanya Nicho, pura-pura santai.

Valesca mengangguk tanpa pikir panjang. “Boleh. Kirim aja filenya.”

Nicho tersenyum, lalu berdiri lagi. “Oke. Makasih ya. Aku duluan ya.”

“Jangan lupa payung,” sahut Valesca.

“Aku lebih suka hujan,” jawabnya, melangkah pergi.

Valesca menatap punggungnya sampai hilang di balik koridor. Tangannya kembali ke buku harian.

“Terkadang, yang membuatku bertahan adalah hal kecil—seperti caramu menanyakan hal yang tidak penting... tapi hangat.”

Ia menutup bukunya. Lalu berdiri. Langkahnya pelan, tapi pasti.

Karena sore itu, ia tahu... hatinya sedang menaruh harap lagi. Dan meski belum tahu bagaimana akhirnya—ia tetap memilih merasakannya.