Bab 3: Satu Nama, Dua Hati
Hari Senin datang tanpa permisi, seperti biasa. Tapi langkah Valesca pagi itu lebih pelan dari biasanya. Ia tak terburu-buru masuk kelas. Ia hanya berdiri di depan gerbang sekolah, memandang halaman kosong yang akan segera dipenuhi keramaian. Ada banyak hal di pikirannya—semua tentang Nicho, tentang perubahan yang tak lagi samar, dan tentang rasa yang perlahan kehilangan pijakan.
Di kantin, Rani memanggilnya dengan suara setengah berbisik. “Les, kamu ngelamun mulu sih. Nih, minum dulu.” Ia menyodorkan segelas teh dingin ke arah Valesca.
Valesca tersadar. “Oh… makasih.”
“Dia masih gak ngechat kamu lagi?”
Valesca menggeleng. “Enggak. Tapi dia balas story-ku semalem. Cuma pakai emoji.”
“Emoji apa?”
“Yang senyum tipis itu, yang kayak... nanggung.”
Rani mendesah. “Cowok emang gitu, Les. Giliran udah punya yang baru, tapi masih nyangkut sama yang lama.”
Valesca menatap es teh di hadapannya, tapi yang ia lihat bukanlah air teh. Ia melihat pantulan bayangan dirinya—sedikit lelah, sedikit kehilangan, dan sedikit... menunggu.
---
Di kelas, Nicho kembali jadi dirinya yang dulu. Ceria, tertawa, kadang bercanda kelewat batas. Tapi Valesca tahu, itu bukan keceriaan yang ia kenal. Bukan candaan yang ia rindukan. Ada jeda di antaranya. Seolah semuanya hanya ditampilkan untuk mengalihkan rasa yang belum selesai.
Dan sore itu, saat langit mulai mendung, Valesca mendapati dirinya kembali duduk di taman belakang sekolah. Tempat itu kini seperti rumah kedua—tempat ia bisa berpikir tanpa harus berpura-pura baik.
Tak lama kemudian, suara langkah mendekat. Langkah yang tak asing.
“Nungguin aku?” suara Nicho ringan. Tapi Valesca tahu, ada nada canggung di dalamnya.
“Enggak. Cuma lagi pengen sendiri. Tapi kayaknya gagal.”
Nicho duduk di sebelahnya, menjaga jarak. “Maaf ya, beberapa hari ini aku kayak... ilang. Banyak yang harus dipikirin.”
Valesca menatapnya pelan. “Gak apa-apa. Aku ngerti kok. Kamu sekarang udah punya yang jagain kamu.”
Nicho menunduk. “Les...”
Valesca menoleh. “Apa?”
“Aku gak pernah niat buat nyakitin kamu. Sumpah. Kamu tuh salah satu orang yang paling... aku hargai.”
Valesca mengangguk. Tapi hatinya diam-diam merintih. Karena orang yang paling kita hargai, kadang bukan orang yang kita perjuangkan.
---
Beberapa minggu berlalu.
Waktu berlalu seperti biasanya—matahari tetap terbit, bel sekolah tetap berbunyi, dan guru tetap menerangkan. Tapi tidak untuk hati Valesca. Rasanya seperti ada ruang kosong yang tak bisa diisi, sekalipun hari terus berjalan.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur luar jendela, Valesca membuka kembali percakapannya dengan Nicho. Ia menggulir layar ke atas, membaca kembali pesan-pesan lama. Ada tawa di sana. Ada candaan receh. Ada “jaga diri ya” yang kini tinggal kenangan.
Rasa rindu datang tanpa aba-aba. Ia menulis sesuatu di catatan ponselnya:
“Satu nama bisa menampung dua hati—satu yang menjaga, satu yang menjauh. Dan aku masih berdiri di antara keduanya.”
---
Satu hari sebelum ujian akhir semester, guru Bahasa Indonesia memberikan tugas mendadak: menulis surat kepada seseorang yang “berarti tapi tak bisa dimiliki.”
Satu kalimat itu langsung membuat hati Valesca bergetar. Ia menunduk, menahan napas. Tangannya gemetar ketika pena mulai menyentuh kertas.
Ia menulis:
Untuk kamu yang selalu bisa bikin aku senyum meski hatiku berat,
Terima kasih pernah hadir. Terima kasih sudah sempat membuat hari-hariku terasa lebih ringan. Aku tahu, kamu bukan milikku, dan mungkin gak akan pernah. Tapi ketulusan gak butuh status. Ia cuma butuh diingat… meski pelan-pelan harus dilupakan.
Kalau suatu hari kamu lihat langit sore yang warnanya agak jingga keunguan, ingatlah bahwa pernah ada seseorang yang mendoakanmu diam-diam.
– V
Ia menutup surat itu dengan satu tarikan napas panjang.
---
Hari pengumpulan surat itu, guru memintanya dibacakan secara acak. Dan takdir punya cara lucu bermain—guru memilih surat Valesca.
“Boleh dibacakan ya, Valesca?”
Valesca tersenyum kaku. “Boleh, Bu.”
Dan saat suaranya membaca setiap kalimat dengan pelan dan tenang, seluruh kelas diam. Bahkan Nicho yang duduk dua bangku di belakangnya, tiba-tiba berhenti mengetuk-ngetuk meja. Saat kalimat terakhir selesai, suasana masih hening.
Sampai Rani tepuk tangan pelan. Diikuti beberapa lainnya.
Tapi Valesca hanya menatap kertas itu lama. Karena ia tahu… yang mendengar paling keras adalah orang yang paling diam.
---
Malam harinya, Nicho mengirim pesan:
“Kamu nulis itu buat aku, ya?”
Valesca lama menatap layar. Lalu membalas:
“Kalau kamu merasa itu tentangmu, mungkin memang iya.”
Tak lama, balasan datang:
“Aku gak pantas dapet semua ketulusan itu.”
Dan Valesca membalas:
“Aku gak nulis itu untuk membuatmu merasa pantas. Aku nulis karena perasaanku nyata.”
Malam itu, tidak ada obrolan panjang. Tapi kata-kata mereka cukup untuk menutup luka yang belum sembuh, meski tak sepenuhnya.
Kadang, satu surat lebih jujur dari ribuan percakapan. Dan kadang, melepaskan bukan tentang melupakan… tapi tentang menerima bahwa yang kita jaga, tak selalu tinggal.
