Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2: Luka yang Tak Tampak

Langit sudah cerah esok harinya, tapi hati Valesca belum. Kadang, langit dan hati tak pernah benar-benar selaras.

Hari itu Sabtu, dan sekolah masih buka untuk kegiatan ekstrakurikuler. Valesca datang lebih awal, bukan karena semangat, tapi karena tak ingin rumah terlalu sepi. Kadang, kesendirian di kamar lebih sunyi daripada ruang kelas yang kosong.

Ia berjalan ke taman belakang sekolah, tempat yang jarang dikunjungi orang. Tempat itu tenang, rindang, dan punya bangku panjang dari kayu tua yang sudah mulai lapuk di ujungnya. Di sanalah, biasanya, ia menenangkan pikirannya.

Tapi hari itu berbeda.

Ada seseorang di sana. Duduk membelakangi matahari pagi, menunduk, dan menatap lantai tanah. Rambutnya sedikit berantakan. Dan luka di tangannya... masih belum sembuh sepenuhnya.

"Nicho?"

Cowok itu menoleh pelan. Tidak terkejut. Seolah sudah menduga akan bertemu seseorang, dan ternyata orang itu adalah Valesca.

"Hey," sapanya ringan, seperti biasa. Tapi sorot matanya tak bisa menyembunyikan lelah.

"Kamu nggak ikut latihan basket?"

"Lagi nggak pengen. Capek."

Valesca ragu sejenak, lalu duduk di bangku yang sama, menjaga jarak yang wajar. Ada angin pelan menyapu dedaunan.

"Kamu lagi kenapa?"

Nicho menatap lurus ke depan. Diam sebentar, lalu menjawab lirih, "Kadang... semua hal datang bersamaan. Orang tua berantem lagi, nilai turun, temen makin asing. Aku cuma... pengen diem dulu."

Valesca menggigit bibir bawahnya. Ada rasa ingin memeluk, tapi ia tahu batas. Maka yang bisa ia lakukan hanya menyodorkan sebungkus kecil plester dari tasnya.

"Masih simpen ini ya?" tanya Nicho, senyum tipis.

"Masih. Kamu suka ceroboh soalnya."

Mereka tertawa kecil.

Hening lagi. Tapi hening yang nyaman.

"Kamu tahu, Les... kadang aku iri sama kamu."

Valesca mengernyit. "Iri? Sama aku? Yang apa adanya ini?"

"Iya. Kamu... bisa tetap tenang. Bisa tetap senyum. Bisa kuat tanpa harus teriak-teriak. Aku nggak bisa kayak gitu."

Valesca menatapnya. "Bukan berarti aku nggak hancur di dalam, Cho. Aku cuma... belajar untuk gak selalu nunjukin."

Nicho memalingkan wajah. "Pantes kamu selalu jadi tempat orang cerita."

Valesca menghela napas. "Tapi kadang aku juga pengen jadi orang yang bisa cerita ke siapa aja... tanpa takut diremehkan."

Mereka terdiam cukup lama. Angin mulai membawa aroma bunga yang baru mekar. Suasana tenang, tapi juga mengandung banyak perasaan yang belum diucap.

"Valesca... kalau suatu hari aku pergi, kamu bakal tetap inget aku?"

Pertanyaan itu seperti angin dingin yang menerpa dada.

Valesca menoleh perlahan. "Pergi ke mana?"

"Entah. Mungkin kuliah jauh, mungkin pindah. Mungkin... ninggalin semuanya."

Valesca menghela napas. Lama. Lalu menjawab, "Aku akan ingat kamu... bahkan kalau kamu nggak ingat aku sekalipun."

Nicho menatapnya. Mata mereka bertemu. Lama.

"Kamu selalu aneh," ucapnya akhirnya, sambil tertawa kecil.

"Dan kamu selalu butuh dijaga," balas Valesca, pelan.

Setelah itu, mereka duduk dalam diam, menatap langit yang mulai terang. Angin membelai rambut mereka, dan suara burung pagi sesekali menyelinap di antara heningnya suasana.

Nicho lalu bangkit, menatap Valesca sejenak. “Makasih, ya. Udah ada di sini.”

Valesca mengangguk. “Kamu gak sendirian, Cho. Meski kadang kamu ngerasa sendiri.”

Sebelum pergi, Nicho menoleh sekali lagi. “Kalau aku bisa jadi orang yang baik... itu karena pernah ketemu kamu.”

Valesca tersenyum. Tapi dalam senyum itu, terselip sesuatu yang berat. Karena ia tahu, orang yang paling sering ia jaga... adalah orang yang paling sering ia relakan.

---

Hari-hari setelahnya berjalan pelan tapi penuh beban. Valesca mulai merasa perubahan yang tak lagi samar. Nicho tetap ada, tapi tidak lagi seintens dulu. Pesan-pesan mulai jarang. Candaan yang biasanya muncul tiba-tiba, kini hanya sunyi.

Di kelas, Nicho duduk seperti biasa, tapi matanya sering tak benar-benar hadir. Tatapannya kosong, dan senyumnya... seperti dipaksakan. Rani pernah bilang, “Kayaknya Nicho berubah ya?” Valesca hanya mengangguk kecil.

Ia tahu.

Tapi tidak tahu harus bagaimana.

Suatu sore, ketika semua sudah pulang, Valesca duduk di sudut perpustakaan, menatap jendela yang disapu cahaya senja. Ia menulis di buku harian yang mulai penuh:

“Kalau suatu hari dia memilih pergi, aku harap dia tetap bahagia. Meski bukan denganku.”

Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Sebuah pesan dari Nicho:

“Makasih udah selalu baik ya.”

Itu saja. Tapi bagi Valesca, itu cukup membuat dadanya sesak. Seolah kalimat itu adalah pamit dalam diam.

Ia menatap layar lama sekali. Jari-jarinya ingin membalas, ingin bertanya, “Kenapa kamu berubah?” tapi yang akhirnya ia ketik hanya:

“Sama-sama. Aku doain kamu baik-baik aja.”

Setelah itu, tak ada lagi balasan.

Malamnya, Valesca membuka Instagram. Ia mendapati Nicho mengganti foto profil. Bukan hal besar, tapi yang membuatnya terdiam adalah sosok perempuan dalam foto itu. Wajah yang asing. Tapi ada kehangatan dalam foto itu. Dan hanya satu mutual—akun perempuan itu hanya diikuti oleh Nicho.

Jantung Valesca berdetak lebih cepat. Ada rasa yang sulit dijelaskan. Antara cemburu, kehilangan, dan pasrah.

Ia menutup ponselnya dan menghela napas panjang. Di dalam dadanya, sesuatu runtuh pelan-pelan. Tapi tidak sepenuhnya hancur. Karena ia tahu, ia harus kuat.

“Aku gak marah kamu bahagia dengan orang lain. Aku cuma belajar lagi... gimana caranya jadi asing setelah terbiasa saling.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel