# BAB 6 PERINGATAN
Ruang tamu Kai terasa seperti ruang transisi antara dua dunia. Udara dingin dan aroma dupa yang pekat membuat Laras dan Gio terdiam, mencerna kata-kata sang cenayang.
“Iblis?” Gio akhirnya memecah kesunyian, suaranya sarat keraguan. “Kau yakin kita tidak sedang membicarakan psikopat biasa yang mengira dirinya iblis?”
Kai menatapnya, tatapannya tajam bagai belati. “Korban tumbal terakhir, sebelum Wulandari, ditemukan tergeletak di dalam lingkaran kapur. Tubuhnya… dikosongkan. Tidak ada organ dalam, tapi tidak ada bekas sayatan. Jiwa dan raganya dihisap habis.”
Kai lantas menggeser selembar foto forensik ke arah mereka. Gio langsung memalingkan muka, wajahnya pucat. Laras menatap foto itu dengan tekad baja di matanya. Tapi... Akhirnya dia pun mual.
“Damian sudah bangkit, dan dia semakin kuat,” lanjut Kai. “Dia mengincar Silvia karena cahaya jiwanya murni dan kuat. Sebuah santapan lezat bagi Damian. Tapi ini lebih dari sekedar memakan jiwa. Dia ingin menguasainya, menjadikannya mainan dan sumber kekuatannya.”
Laras mengangguk pelan, naluri detektifnya akhirnya menerima kebenaran supranatural ini. “Apa yang harus kita lakukan?”
“Kita harus menemukan Silvia sebelum Damian benar-benar memilikinya. Dan kita perlu… umpan.” Kai menatap Laras dalam-dalam. “Kita butuh Lila. Dia adalah kunci, satu-satunya yang memiliki ikatan darah dengan wadah Damian. Saudari kembar Lily, sang wadah.”
---
Di apartemen Lila, hal yang mematikan sedang terjadi. Damian, yang mengendalikan tubuh Lily, mendorong Lila hingga membentur dinding. Bercak luka di bibir Lila masih terlihat.
“Ucapkan namaku, Lila,” desis Damian, suara gandanya bergemuruh penuh amarah. “Bilang pada Stevan bahwa kau adalah milikku!”
Lila menggigit bibir, mencoba menahan tangis. Tapi di balik rasa takutnya, ada benih pemberontakan yang mulai tumbuh setelah pertemuannya dengan Juna. “Aku bukan milik siapa-siapa!”
Damian tertawa, suara yang mengerikan keluar dari mulut Lily. “Kita lihat saja nanti.” Dia melepasnya tiba-tiba. “Aku ada urusan. Ada… perlawanan kecil yang harus aku hentikan.”
Begitu Damian pergi, Lila merosot ke lantai, tubuhnya gemetar. Saat itulah, bayangan di sudut ruangan muncul. Stevan datang, wajahnya dipenuhi keprihatinan dan amarah yang tertahan. Dia berlutut di depan Lila.
“Lila… Maafkan aku. Aku tidak seharusnya meninggalkanmu,” bisik Stevan, suaranya lembut dan manusiawi, sangat berbeda dengan Damian.
Lila menatapnya, bingung. “Kau… kau Stevan? Iblis pendamping Damian?”
Stevan mengangguk, matanya yang hijau memancarkan kesedihan yang tulus. “Aku terikat padanya, tapi hatiku… hatiku milikmu.” Dia mengulurkan tangan, ingin menyentuh pipi Lila yang bengkak, tapi kemudian mengurungkan niat. “Dia marah karena aku menjagamu. Tapi aku tidak akan pergi. Aku akan melindungmu, bahkan jika itu berarti aku harus melawannya.”
Pengakuan itu membuat Lila terhenyak. Seorang iblis mencintainya? Itu gila dan menakutkan. Tapi di tengah kesendirian dan ketakutannya, ada sedikit kehangatan yang tak diinginkan.
---
Di dimensi yang dikuasai Damian, Silvia dan Lily duduk berhadapan. Jiwa Lily untuk sesaat berhasil memproyeksikan dirinya keluar dari tubuhnya.
“Kita tidak bisa hanya bertahan,” kata Silvia, matanya berbinar dengan tekad baru. “Kita harus menyerang.”
“Bagaimana?” tanya Lily, putus asa. “Kita tidak punya kekuatan.”
“Kita punya,” bantah Silvia. “Kau mengenalnya lebih baik dari siapa pun. Kau tahu kelemahannya. Dan aku… aku bisa mengganggu konsentrasinya. Dia menginginkanku, itu adalah kelemahan baginya.”
Mereka mulai merencanakan. Sebuah rencana nekat dan hampir mustahil. Silvia akan menggunakan ketertarikan Damian pada dirinya sebagai jebakan, sementara Lily, dari dalam, mencoba merebut kembali kendali atas tubuhnya, bahkan untuk sesaat.
---
Keesokan harinya, Lila menerima telepon dari Juna yang menawarkannya pekerjaan paruh waktu di perusahaannya. Dan itu pelarian yang Lila butuhkan. Tapi saat dia bersiap pergi, dia juga menerima pesan anonim, sebuah peringatan.
“Hati-hati dengan pria bermata hijau. Cintanya sama berbahayanya dengan kebencian yang lain.”
Lila menggigil. Itu pasti peringatan untuk Stevan. Dia terjepit di antara banyak pihak. Damian yang kejam, Stevan yang terobsesi, Juna yang penuh teka-teki, dan sekarang, sebuah pesan peringatan misterius.
---
Sementara itu, di sebuah mobil detektif, Laras dan Gio bersiap mendatangi Lila. “Kita akan wawancarai Lila Wulandari,” ucap Laras, matanya penuh tekad. “Dia adalah kunci untuk menyelamatkan Silvia dan mengungkap semua ini.”
Gio menghela nafas, lalu tersenyum getir pada Laras. “Aku ikuti keputusanmu. Tapi jika kita berhasil di kasus ini, kau harus traktir aku makan malam.”
Laras tersentak, lalu senyum kecil muncul di bibirnya. “Janji.”
Perang antara cahaya dan kegelapan semakin dekat. Dan masing-masing pihak, dengan motivasinya sendiri, mulai bergerak. Takdir mereka segera bertabrakan dalam ledakan yang tak terhindarkan.
---
Gedung kantor "Cahaya Kreatif" berkilau dengan kaca dan chrome, sebuah dunia yang sangat berbeda dengan kemuraman yang mengikuti Lila. Juna mempersilahkannya duduk di sofa kulit di ruang kerjanya yang luas, dengan senyum yang sempurna dan menenangkan.
"Lila, selamat datang. Aku senang kau menerima tawaran ini," ujar Juna sambil menyerahkan secangkir teh herbal. Matanya yang tajam memindai wajah Lila, berhenti sebentar pada bibirnya yang masih sedikit bengkak. "Ada masalah?"
Lila cepat-cepat menggeleng, menunduk. "Tidak, hanya... tidak sengaja menggigit bibirku."
Juna tidak terus bertanya. Dia langsung membahas proyek, menjelaskan dengan sabar. Namun, di tengah penjelasannya, dia tiba-tiba bertanya, "Apa kau punya kerabat, Lila? Kau sering terlihat... sendirian."
Pertanyaan itu seperti pisau yang menusuk relung hatinya. "Aku punya kakak kembar. Lily."
"Lily," ucap Juna, seolah mencicipi nama itu. Senyumnya tidak berubah, tapi ada kilatan pengetahuan singkat di matanya, sesuatu yang dalam dan waspada. "Dia pasti spesial."
Percakapan itu terasa seperti interogasi yang halus. Juna tidak hanya tertarik pada bakat Lila, dia seperti sedang menyusun puzzle, dan Lila adalah salah satu kunci utamanya.
---
Sementara Lila mulai terjun ke dunia kerja, Laras dan Gio tiba di apartemennya. Mereka disambut oleh "Lily", atau lebih tepatnya, Damian yang menyamar dengan sempurna.
"Lila sedang tidak di rumah," ujar Lily dengan suara manis yang dipaksakan, tapi mata hitamnya mengamati kedua detektif itu dengan dingin. "Ada yang bisa kubantu?"
Gio, dengan naluri polisinya, langsung merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang salah dengan gadis ini. Laras, yang sudah diperingatkan Kai, tetap tenang.
"Kami hanya ingin menanyakan beberapa hal tentang masa kecil kalian, Lily. Tentang... Ritual keluarga kalian."
Seketika itu juga, suasana berubah. Senyum Damian pudar, digantikan oleh ketidak-acuhan yang menusuk. "Kami tidak punya ritual. Sekarang, jika tidak ada hal lain, silahkan pergi. Aku punya urusan."
Lily alias Damian mencoba menutup pintu, tapi Laras dengan cepat menyelipkan kakinya.
"Kami tahu tentang Damian," desis Laras, dengan berani.
Mata Damian melebar, lalu menyempit. Sebuah energi gelap yang tak terlihat mendorong kedua detektif itu hingga tersandung mundur ke lorong. Pintu apartemen menjeblak dengan keras.
"Bodoh sekali," geram Damian dari balik pintu. "Manusia yang ingin mati."
---
Malam itu, di dimensi Damian, rencana Silvia dan Lily mulai dijalankan. Saat Damian mendekati Silvia, yang dengan sengaja mengenakan gaun tipis dan duduk di tepi tempat tidurnya, Silvia tidak lari. Dia menatap Damian langsung.
"Kau menginginkanku, bukan?" Tanya Silvia, berusaha menutupi ketakutannya dengan keberanian yang dipaksakan. "Tunjukkan padaku kekuatanmu. Buat aku... menginginkanmu."
Tantangan itu mengejutkan dan membangkitkan gairah Damian. Dia tertarik. Dengan sihirnya, dia memaksakan kenikmatan pada Silvia, membanjiri sarafnya dengan sensasi yang membuatnya lemah. Tapi kali ini, Silvia bersiap. Dia memusatkan pikirannya pada kenangan Lily, pada rasa persaudaraan mereka yang rapuh.
Di dalam, Lily merasakan celah itu. Saat perhatian Damian teralihkan oleh nafsunya sendiri, dia dengan sekuat tenaga mendorong, berusaha merebut kendali.
"Sekarang, Lily!" teriak Silvia dalam pikirannya.
Dengan teriakan bisu yang penuh amarah dan keputus-asaan, Lily berhasil. Untuk sesaat yang singkat, hanya tiga detik, mata Damian itu berubah dari hitam pekat menjadi biru milik Lily yang asli.
"Tolong..." bisik Lily, suaranya lemah dan putus asa sebelum akhirnya Damian dengan brutal mendorongnya kembali ke dalam sangkar.
Tapi itu sudah cukup. Damian menyadari pengkhianatan itu. Amarahnya meledak. Bukan pada Silvia, tapi pada Lily.
"Berani sekali kau, benda tak berguna!" raung Damian. Dia tidak jadi menyentuh Silvia. Sebaliknya, dia mengurung dirinya sendiri, atau lebih tepatnya, mengurung Lily, di dalam ruang kesadaran mereka, dan mulai menyiksanya dengan sengit.
Teriakan mental Lily yang tersiksa bergema di seluruh dimensi. Sebuah suara yang hanya bisa didengar oleh Silvia dan Lila, yang tiba-tiba terbangun dengan jantung berdebar kencang dan rasa sakit yang tak bisa dijelaskan di kepalanya.
Perlawanan mereka malah mempercepat malapetaka. Damian yang terluka dan marah sekarang akan menjadi lebih tak terduga dan lebih kejam. Dan bagi Lily, neraka miliknya mulai panas menyiksa...
*
