# BAB 5 CENAYANG?
Kantor Detektif Laras dan Gio terasa seperti ruang operasi, di mana udara yang stagnan tercampur dengan aroma kopi kental dan ketidak-pastian. Sinar dingin dari proyektor menerangi kegelapan, menyorot foto-foto korban tumbal yang terpampang di dinding, memperlihatkan pola yang mengerikan dan berulang.
Di tengah-tengah papan yang penuh dengan benang merah dan catatan, Laras dengan tegas menancapkan foto baru. Foto seorang pria dengan tatapan tajam yang seolah bisa menembus jiwa dengan aura misterius yang pekat terpancar bahkan melalui selembar kertas foto.
“Ini dia. Namanya Kai,” ujar Laras memberitahu Gio, suaranya datar namun penuh keyakinan, jarinya menunjuk gambar itu tanpa ragu. “Aku sudah melacaknya. Dia tinggal di pinggiran kota. Sebuah tempat yang sepi dan terpencil, jauh dari keramaian. Menurut kabar yang aku kumpulkan dari berbagai sumber, dia bisa ‘merasakan’ gangguan dari dunia lain, mendeteksi getaran-getaran yang tidak bisa ditangkap oleh indra manusia biasa.”
Gio menghela nafas panjang, mengusap lehernya yang pegal karena terlalu banyak membungkuk di atas berkas-berkas laporan. “Laras, kita ini detektif, bukan pemburu hantu. Atasan kita akan menertawakan kita sampai ke ujung karier kita jika kamu datang dengan laporan tentang cenayang dan iblis.”
“Tapi kau tidak tertawa,” balas Laras, menatap Gio dalam-dalam, matanya yang biasanya dingin kini memancarkan intensitas yang hampir membuat Gio tidak nyaman. “Kau juga merasakannya, kan? Ada yang tidak beres dengan kasus kembar Wulandari ini. Lebih… gelap. Lebih dalam dari sekedar penculikan atau pembunuhan biasa. Ini berbau... Sesuatu yang tidak berasal dari dunia manusia.”
Gio terdiam, menelan ludah. Dia ingat betul tatapan kosong para saksi yang seolah-olah jiwa mereka telah disedot, laporan-laporan aneh tentang lingkaran kapur yang ditemukan di TKP, dan yang terakhir, laporan dari rumah sakit jiwa tentang seorang gadis bernama Silvia yang terus-menerus mengigau tentang “pria bermata api” dan “sayap gelap”.
Gio mengangguk pelan, setuju pada Laras, dan menyerah pada naluri detektifnya yang juga berteriak bahwa ada sesuatu yang sangat salah. “Baiklah. Kita temui cenayang ini. Tapi ini beresiko pada karier kita, Ras.”
---
Di sebuah kafe elegan dekat kampus, dengan interior kayu hangat dan aroma biji kopi mahal, Lila duduk berhadapan dengan Juna. CEO itu dengan percaya diri memesan dua kopi spesial, berbincang dengan pelayan seolah-olah dunia adalah kanvas yang sudah dia lukis menurut keinginannya.
Aura kekuasaan dan kendali yang dipancarkan Juna terasa nyata, sebuah kontras yang mencolok dengan kabut ketakutan dan kecemasan yang selalu melingkupi kehidupan Lila.
“Portofoliomu sangat impresif, Lila,” puji Juna sambil menyodorkan secangkir kopi yang harum, matanya yang analitis tak lepas dari wajahnya. “Bukan hanya teknisnya yang bagus, tapi ada kedalaman di dalam karyamu. Sebuah… kesedihan yang indah, sebuah kerinduan akan sesuatu yang hilang.”
Lila tersipu, tangannya yang dingin melingkari cangkir yang hangat, berusaha mencari kenyamanan dalam sentuhan keramik itu. “Terima kasih, Pak Juna.”
“Panggil saja Juna.” Senyumnya hangat dan membius, tapi matanya yang tajam terus mengamati Lila dengan saksama, seolah-olah mencoba memecahkan kode di balik setiap ekspresi Lila. “Kau tampak seperti punya banyak cerita yang belum diceritakan. Kadang, melarikan diri ke dalam pekerjaan adalah obat terbaik untuk luka yang tidak terlihat.” Ucapannya seperti pisau bedah yang tepat dan tajam, membuka luka lama Lila dengan lembut namun tanpa ampun.
Percakapan mereka mengalir dengan lancar, dari desain grafis hingga filosofi seni. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Lila merasa benar-benar didengarkan, bukan dihakimi atau ditakuti.
Juna tidak memancing dengan pertanyaan yang mencurigai, tidak menghakimi dengan pandangan yang menusuk. Dia hanya ada dan hadir sepenuhnya.
Namun, di balik kenyamanan yang ditawarkan oleh pria karismatik ini, Lila merasakan sesuatu yang lain, sebuah arus bawah sadar yang lebih dalam. Sebuah ketertarikan yang intens dari Juna, bukan hanya pada bakat seninya, tapi pada dirinya, pada misteri dan luka yang dia bawa.
Sebuah persaingan tak terlihat mulai terasa. Stevan, dengan pengabdiannya yang gelap dan penuh obsesi, dan Juna, dengan pesona duniawinya yang normal dan menarik, sama-sama mengincarnya dari dua sisi realitas yang berbeda...
---
Malam harinya, di dimensi Damian yang gelap dan terdistorsi, Silvia terbangun dengan jeritan yang tertahan di tenggorokannya. Mimpi buruk itu kembali menyergap. Tapi kali ini, ada yang berbeda.
Di tengah kekerasan dan pelecehan yang dilakukan Damian, dia melihat secercah cahaya harapan. Sepasang mata biru yang penuh air mata dan keputus-asaan, berkedip-kedip di balik mata hitam legam Damian. Mata milik Lily.
“Lawan dia!” teriak suara Lily di dalam kepalanya, lemah tapi penuh keyakinan yang menggelegar. “Aku tidak bisa melawannya dari dalam, tapi kau bisa! Tolong, Silvia, lawan dia!”
Terinspirasi oleh teriakan itu, dalam mimpinya sendiri, Silvia mengumpulkan semua sisa keberaniannya dan menggigit bibir Damian hingga darah iblis yang hitam dan pekat mengalir ke mulutnya.
Damian mendengus, lebih ke terkejut daripada kesakitan. Dia menarik diri, memandang Silvia dengan rasa ingin tahu yang baru, seperti seorang ilmuwan yang melihat reaksi tak terduga dari percobaannya.
“Kau ternyata punya nyali, manusia kecil,” gumam Damian. Dan untuk pertama kalinya, ada nada hormat yang samar dalam suara gandanya yang menyeramkan.
Saat dia menghilang dari mimpinya, Silvia terbangun dengan tersentak. Dia tidak lagi merasa hancur dan tercemar seperti sebelumnya. Sebaliknya, ada api kemarahan yang kecil namun membara di dalam dirinya. Sebuah penolakan pada takdir sebagai korban.
Silvia melihat Lily berdiri di sudut kamarnya, tubuhnya transparan dan bergetar seperti hantu, sebuah penampakan yang hanya bisa dilihat Silvia dalam keadaan antara sadar dan gamang.
“Terima kasih,” bisik Silvia dengan nafasnya yang masih memburu.
Lily tersenyum getir, sebuah ekspresi sedih di wajahnya yang tembus pandang. “Jangan berterima kasih padaku. Aku hanya egois. Aku tidak tahan melihat Damian menginginkanmu… Tapi… Kamu benar. Kita harus berhenti menjadi korban.”
Sebuah rencana gila dan putus asa mulai terbentuk di benak mereka berdua, disatukan oleh penderitaan yang sama. Mungkin, dengan bersatu, dua korban ini bisa melawan sang algojo mereka.
---
Sementara itu, di sebuah rumah tua yang terpencil di pinggiran kota, dikelilingi pagar kayu yang reyot dan pepohonan yang seolah berbisik-bisik, Laras dan Gio mengetuk pintu dengan hati-hati. Pintu itu terbuka sebelum ketukan kedua mereka selesai, seolah-olah penghuninya sudah menunggu.
Seorang pria muda dengan mata yang bisa melihat jauh ke dalam jiwa seseorang. Kai, dia berdiri di sana. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya tajam dan penuh wibawa.
“Aku sudah menunggu kalian,” ucap Kai, suaranya tenang namun penuh otoritas, menyentak kedua detektif itu Matanya menatap tajam pada Laras, seolah-olah bisa membaca setiap keraguan dan tekad di hatinya. “Kalian menyelidiki kasus kembar Wulandari, kan?”
Bukan sebuah pertanyaan yang Kai layangkan, tapi sebuah pernyataan fakta yang tak terbantahkan.
Kai mempersilahkan mereka masuk tanpa basa-basi. Ruang tamunya gelap, dipenuhi oleh cahaya lilin yang menari-nari dan memantulkan bayangan simbol-simbol aneh di dinding. Udara terasa berat oleh aroma dupa dan sesuatu yang kuno.
“Kalian tidak berurusan dengan manusia biasa,” Kai melanjutkan, duduk dengan tegap di kursinya, tangannya bertaut di atas meja. “Kalian berurusan dengan iblis kuno, sosok atau entitas yang sudah ada sejak sebelum peradaban manusia. Namanya Damian. Dan tumbal yang seharusnya mati dalam ritual itu tidak jadi mati. Tumbal itu dirasuki, dijebak di dalam tubuhnya sendiri.”
Laras dan Gio terdiam, hati mereka berdebar kencang. Kata-kata Kai, meski sulit dipercaya, terasa benar dan sesuai dengan semua teka-teki yang mereka kumpulkan.
“Dan sekarang,” Kai menatap mereka bergantian, wajahnya serius seperti membacakan vonis mati, “Damian mengincar yang baru. Seorang gadis bernama Silvia. Jika kita tidak bergerak cepat, dia akan menjadi korban berikutnya. Bukan sebagai tumbal yang mati, tapi sebagai mainan dan budaknya Damian, terjebak dalam penderitaan abadi seperti Lily.”
Kebenaran itu akhirnya terkuak di ruangan yang dipenuhi lilin ini, lebih gelap dan lebih mengerikan dari yang pernah mereka bayangkan.
Apa yang mereka hadapi tidak lagi antara manusia dan manusia, tapi antara dunia nyata yang mereka pahami dan kegelapan kuno yang lapar, yang telah membuka matanya dan mengincar jiwa-jiwa yang murni dan penuh cahaya...
*
