Pustaka
Bahasa Indonesia

Terjerat Pesona Iblis Tampan

77.0K · Baru update
Young Daddy
68
Bab
112
View
9.0
Rating

Ringkasan

WARNING!! HANYA UNTUK 21+ sosok iblis tampan bernama Damian, datang ke dunia manusia karena ritual yang salah. Damian tak mengenal belas kasihan. Dan suatu ketika, dia menemukan Silvia. Gadis polos yang kemudian menjadi obsesinya...

DewasabadboyCinta PaksaTersesat/Obsesif

# BAB 1 RITUAL YANG SALAH?? - 1

Dinginnya malam di pegunungan itu bukan hanya rasa. Tapi menyusup lewat celah-celah papan kayu rumah tua, merayap melewati bawah pintu, dan akhirnya menetap di dalam sumsum tulang setiap penghuninya.

Dunia seolah membeku, biru tua langit malam, abu-abu kabut yang menyelimuti puncak pohon, dan hitam pekat bayang-bayang yang menari-nari di dinding kayu yang lapuk.

Di loteng rumah yang berderit dalam kesunyian, dua titik cahaya lilin mengobarkan perlawanan kecil pada kegelapan yang hendak menelannya.

Cahaya itu bergetar di atas wajah dua anak kembar berusia tujuh tahun, Lila dan Lily, yang berdiri saling berhadapan di dalam sebuah lingkaran sempurna yang digambar dengan kapur putih di lantai kayu yang berdebu.

Lily, gadis dengan rambut pirangnya yang secerah matahari musim panas, menggigil.

Namun, gemetar yang mengalir di tubuh mungilnya bukan berasal dari ketakutan buta, melainkan dari sebuah antisipasi yang telah ditanamkan sejak ia bisa memahami kata-kata.

Antisipasi akan sebuah ‘tugas’, sebuah ‘takdir’ yang konon mulia.

Kain putih sederhana yang menyelubunginya menyerap kelembapan udara yang menusuk.

Di seberangnya, Lila, saudari kembarnya, bagai bayangan pucat dari kakaknya. Rambut cokelatnya yang biasanya terurai kini terasa lembap dan kusut.

Wajahnya, yang sering kali menyimpan senyum kecil dan malu-malu, kini pucat pasi, bagai lilin yang kehilangan biasnya.

Matanya yang sebiru danau tenang, berkaca-kaca, berusaha mencerna kata-kata aneh yang meluncur dari mulut orang tuanya, yang seharusnya memberi mereka rasa aman.

"Damian, Penguasa Kegelapan, yang berkuasa di balik tirai dunia fana, kami hamba-hambamu yang rendah, mempersembahkan jiwa yang murni dan kuat ini untukmu," suara ayah mereka, Bima, menggema di ruang sempit, hampa dan datar bagai sebuah mantera yang telah dihapal tanpa jiwa.

Ia memegang sebuah pisau ritual dengan gagang berukir simbol-simbol yang tak bisa dibaca oleh anak-anaknya.

Ibu mereka, Sari, berdiri di belakangnya, tangannya terkepal erat di samping tubuh, matanya terpejam rapat, bibirnya komat-kamit membisikkan mantra atau mungkin kutukan, bahkan dirinya sendiri tak lagi bisa membedakannya.

Lily menatap Lila. Di balik lapisan antisipasi dan penerimaan akan takdirnya sebagai anak yang "kuat", ada secercah kepedihan.

Sebuah senyum getir, terlalu dewasa untuk seorang gadis berusia tujuh tahun, menyembul di sudut bibirnya. Itu adalah isyarat perpisahan diam-diam, sebuah janji tanpa suara bahwa dia melakukan ini untuk melindungi Lila, jiwa yang lebih lembut yang takkan sanggup menanggung beban ini.

Lila membalas tatapan itu, matanya membesar, ketakutan yang paralitik menjalar di seluruh sarafnya. Dia ingin berteriak, ingin menarik kakaknya keluar dari lingkaran itu, tetapi kakinya bagai tertambat di lantai.

Namun, ketika ujung pisau ritual itu menyentuh kulit lembut lengan Lily, mengukir garis tipis yang segera meneteskan darah berwarna rubi di bawah cahaya lilin, bukan kematian yang datang menjemput.

Alam semesta seolah menarik nafas, lalu menghembuskannya dalam bentuk kekacauan. Sebuah kekuatan gelap, kuno, dan lapar menyembur dari pusat lingkaran kapur itu. Bukan dari lantai, tapi dari sebuah celah dimensi yang terbuka seketika.

Energi itu bukan menelan nyawa Lily, tapi menyerapnya, menyedot esensi keberadaannya seperti spon yang menghisap air, namun berhenti sebelum titik akhir.

Jiwa Lily tidak dihancurkan, tapi dipadatkan, dikuliti, dan dikurung...

Cahaya lilin padam seketika, digantikan oleh cahaya yang bukan cahaya. Sebuah sinar hitam pekat yang menyerap semua warna dan harapan di sekitarnya. Sinarnya berdenyut, memekakkan telinga dalam kesunyian yang lebih dalam dari sunyi.

Tubuh kecil Lily terangkat, melayang di udara, anggota tubuhnya menegang lalu lunglai. Asap hitam membentuk ulir-ulir yang memadat, menyelubunginya bagai kepompong iblis.

Dari dalam kepompong itu terdengar suara tulang yang meregang dan otot yang berubah bentuk, sebuah simfoni yang mengerikan. Lila memejamkan mata, tapi tak sanggup menutup telinga dari suara itu.

Ketika sinar hitam itu mereda, perlahan-lahan, sesuatu, atau seseorang, mulai membuka matanya. Warna biru lembut mata Lily telah berubah menjadi hitam legam, tanpa selapis pun putihnya, bagai dua lubang yang menembus langsung ke dalam kegelapan abadi.

Senyum polos dan cerahnya telah berubah permanen menjadi senyum sinis, penuh dengan kesadaran akan kuasa dan kelicikan.

Damian telah datang. Tapi tumbalnya gagal, dia tidak mendapatkan tubuh kosong yang dia harapkan. Dia harus berbagi ruang dengan sang jiwa asli, sebuah ketidak-nyamanan yang tak terduga.

Dia, atau mahkluk itu, memandang ke sekeliling ruangan. Matanya yang gelap itu menyapu wajah Bima dan Sari yang kini keriput oleh ketakutan dan kengerian yang tak terperi.

Mereka mendapatkan apa yang mereka puja, tetapi kini mereka menyadari bahwa memanggil badai berbeda dengan sanggup menahan badai itu sendiri.

Lalu, pandangan iblis itu beralih, menembus bayangan, menemukan Lila yang gemetar dan bersembunyi di balik tirai tua yang berdebu.

"Kesalahan kecil," bisik Damian. Suara yang keluar dari mulut mungil Lily bukan lagi suara anak-anak. Suara itu suara serak, beresonansi rendah, dan yang paling mengerikan, berdawai ganda, seolah-olah ada dua suara, satu serak jantan dan satu lagi jeritan perempuan yang tertahan, bicara dalam satu tarikan nafas.

Dia melangkah, gerakannya anggun namun tidak wajar, seperti boneka yang talinya ditarik oleh dalang yang kejam. Jari-jari mungilnya kini dihiasi ujung-ujung yang runcing dan gelap bagai cakar.

Dia menyentuh pipi Lila yang basah oleh air mata. Sentuhannya dingin, seperti logam di musim salju. "Jangan takut, saudariku... Kita akan bersenang-senang."

Lila hanya bisa menatap, nafasnya tertahan, terpaku pada dua mata hitam yang dulu adalah mata biru yang indah. Di kedalaman mata itu, jauh di baliknya, dia merasakan... Sebuah teriakan. Sebuah kepedihan yang tak terucapkan.

Jiwa Lily masih ada di sana, terperangkap, berjuang, berteriak dalam diam, sebuah nyala lilin yang nyaris padam dalam badai. Tetapi yang mendominasi, yang mengendalikan setiap otot dan setiap kata, adalah kehadiran iblis yang dingin, menguasai, dan penuh dengan nafsu yang tak terpuaskan.

---

Dua belas tahun kemudian...

Sang waktu terus berlalu. Lila sekarang seorang mahasiswi berusia sembilan belas tahun, telah berhasil melarikan diri dari cengkeraman rumah keluarganya yang suram dan penuh kepalsuan.

Kabut pegunungan telah digantikan oleh asap knalpot kota metropolitan. Dia menyewa sebuah apartemen kecil di lantai tiga sebuah bangunan tua yang catnya sudah banyak mengelupas.

Ruangannya berantakan, penuh dengan tumpukan buku psikologi dan sastra, seolah-olah dengan membaca dan memahami pikiran orang lain, dia bisa memahami kekacauan dalam dirinya sendiri.