Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

# BAB 3 BAYANG-BAYANG SANG IBLIS

Detektif Laras dan Gio terperangkap dalam ruang kerja yang diselimuti aroma kopi kental dan wajah serius tanpa jeda. Kabut asap rokok Gio berbaur dengan uap dari cangkir kopi Laras yang tak henti-hentinya dia isi ulang, menciptakan atmosfer yang hampir menyesakkan di bawah sorotan lampu neon yang terang.

Laras berdiri tegak di depan papan tulis besar yang dipenuhi foto-foto korban. Wajah-wajah muda yang polos, semuanya anak kembar, dengan pola yang mengerikan, satu selamat dengan trauma mendalam, satu lagi hilang tanpa jejak seolah-olah terhapus dari eksistensi.

Di tengah labirin foto dan garis benang merah itu, dia dengan hati-hati menancapkan foto terbaru. Gambar Lila dan Lily Wulandari yang diambil dari arsip sekolah menengah mereka. Dua wajah yang hampir identik, namun nasib mereka telah terpecah ke arah yang bertolak belakang secara mengerikan.

“Semuanya sama, Gio,” gumam Laras, suaranya serak karena kelelahan dan fokus yang intens.

Jari Laras yang ramping menelusuri garis benang merah yang menghubungkan satu kasus dengan kasus lainnya, membentuk pola labirin yang mengerikan. “Lingkaran yang dibuat dengan kapur. Ritual pengorbanan. Dan dalam setiap kesaksian, selalu ada deskripsi tentang seorang pria dengan mata yang ‘terlalu gelap’, seperti lubang tanpa dasar.”

Laras kemudian menunjuk tiga laporan terpisah dari daerah yang berbeda, menekankan sebuah nama yang muncul berulang kali. “Dan di sini, di tiga kasus yang berbeda ini, muncul nama yang sama. Kai. Seorang cenayang.”

Gio mendekat, menyilangkan tangan di dadanya yang bidang. Kerutan di dahinya semakin dalam. “Cenayang? Kau serius dengan ini, Ras? Dunia nyata sudah cukup rumit. Mungkin dia hanya pemburu hantu sensasional yang kebetulan ada di tempat yang salah dan pada waktu yang salah.”

“Atau,” balas Laras dengan suara tajam dan penuh keyakinan, “dia adalah satu-satunya orang yang tahu tentang sesuatu yang tidak kita ketahui. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh logika kepolisian biasa.”

Mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya dalam kemitraan mereka yang panjang, Gio melihat bukan hanya kegigihan profesional, tetapi sebuah obsesi pribadi di balik ketenangan rekannya Laras. Sebuah percikan pemahaman, sesuatu yang lebih dalam dan lebih personal dari sekedar kemitraan profesional, mulai tumbuh di antara mereka dalam keheningan ruangan yang penuh dengan misteri yang belum terpecahkan.

---

Di apartemen Lila yang sunyi, “Lily”, atau lebih tepatnya, entitas yang kini mendiaminya, sedang berdiri tegak di depan cermin besar di kamarnya. Tapi yang dia lihat bukan hanya pantulan dirinya sendiri yang sempurna. Di balik bayangan fisiknya, terpantul wujud asli Damian.

Sosok siluet pria yang tinggi dan berotot, dengan tanduk kecil yang muncul dari dahinya yang lebar dan mata yang menyala seperti bara api di kegelapan. Tiba-tiba, bayangan itu bergolak, bergetar dengan kekuatan internal yang dahsyat.

Wajah Lily yang asli, penuh ketakutan dan kemarahan yang terpendam selama bertahun-tahun, mendorong ke permukaan cermin. Untuk sesaat yang singkat, mata birunya yang jernih dan penuh air mata menggantikan kegelapan tanpa dasar.

“Aku benci kamu!” teriak suara Lily dari dalam, terdengar samar dan terdistorsi di ruangan yang sunyi, seperti suara dari dalam kubur. “Dia temanku! Jangan kau sentuh Silvia! Dia bukan untukmu!”

Dengan kekuatan kehendak yang kejam dan tanpa ampun, Damian mendorongnya kembali, memaksa jiwa sang gadis untuk kembali masuk ke dalam penjara bawah sadarnya.

“Diam! Kau hanyalah bejana, sebuah wadah yang sudah melayaniku dengan baik, tapi sekarang aku menginginkan sesuatu yang lebih… bersinar.” bentak Damian.

Dengan gerakan kesal, dia mengangkat tangan, dan cermin di depannya retak dengan sendirinya, pecahan-pecahan itu melukai telapak tangan tubuh yang mereka diami bersama, yaitu tubuh Lily. Darah menetes, hitam dan kental seperti aspal, bukan warna darah manusia.

“Jangan pernah lagi mencoba memberontak, atau aku akan membuat penderitaanmu terasa lebih nyata daripada sekedar teriakan dalam kegelapan.” hardik Damian dengan wajah bengisnya.

---

Di tengah hiruk-pikuk kampus dan kehidupan mahasiswa, Lila mencoba mati-matian untuk berkonsentrasi pada kuliah psikologinya. Namun, wajah Silvia yang pucat dan tatapan matanya yang kosong seperti hantu terus mengganggu pikirannya, mengusik konsentrasinya dengan kenangan akan mimpi buruk dan memar aneh di bahu gadis itu.

Saat jam istirahat tiba, dia memberanikan diri mendekati Silvia yang sedang duduk sendirian di sudut kantin yang ramai.

“Kamu baik-baik saja, Sil? Kamu terlihat… sangat lelah,” tanya Lila, suaranya berusaha terdengar normal.

Silvia mengangkat bahunya dengan lemah, wajahnya pucat dengan garis-garis kelelahan terlihat jelas di bawah matanya.

“Aku… cuma mimpi buruk terus-terusan, itu saja.” jawab Silvia lemah.

Tanpa sengaja, saat Silvia memutar bahunya, syal yang melingkari lehernya tersingkap, memperlihatkan jejak memar kehitaman yang jelas berbentuk sidik jari besar di pundaknya.

Lila membeku seketika. Darahnya serasa berhenti mengalir. Dia mengenali pola itu! Itu pola yang sama seperti cakar yang tergores di dinding kamar Lily saat mereka masih kecil, bekas yang ditinggalkan Damian dalam salah satu amukannya. Tanda sang Penguasa Bayangan.

“Apa… apa yang terjadi dengan pundakmu? Kenapa memarnya tambah parah, Sil?” tanya Lila, suaranya bergetar tak tertahankan, dipenuhi oleh rasa bersalah yang sudah lama terpendam.

Silvia cepat-cepat menutupi memar itu, wajahnya memerah karena malu dan kebingungan. “Tidak apa-apa. Aku mungkin terbentur sesuatu di kamar mandi.”

Tapi mata gadis menghindari tatapan Lila. Dia tidak bisa menceritakan mimpi itu. Tentang mimpi di mana pria bermata api dan bersayap gelap itu melakukan hal-hal yang tak senonoh padanya, meninggalkan rasa takut yang mendalam, tetapi juga sebuah kegelapan asing yang sesaat terasa... Sangat memalukan.

Silvia merasa direndahkan, dianiaya dengan rasa nikmat yang mengerikan, dimantrai hingga akhirnya dia menyerah pada kenikmatan yang diberikan oleh sosok pria misterius dalam mimpinya. Dan lama kelamaan, Silvia pun akhirnya... mulai menikmati sensasi yang menyentuh tubuhnya yang tak bisa bergerak.

“Itu Damian,” bisik Lila, hampir tak terdengar, rasa bersalah yang terasa seperti lava panas menyergap norma dirinya. “Dia… dia mengincarmu. Karena cahaya jiwamu.”

Sebelum Silvia bisa memproses atau menanyakan lebih lanjut tentang nama aneh yang barusan diucapkan oleh Lila, seorang pria tampan dan berpenampilan sangat necis mendekati meja mereka. Dia tersenyum hangat, tapi matanya yang tajam seperti elang secara halus menganalisa setiap detail dari kedua gadis tersebut.

“Kamu Lila? Aku Juna. CEO dari ‘Cahaya Kreatif’,” ujar pria itu memperkenalkan diri dengan suara yang halus dan meyakinkan. “Aku kebetulan melihat porto-foliomu di pameran desain grafis minggu lalu. Sungguh mengagumkan. Kami sedang mencari anak muda bertalenta untuk pekerjaan paruh waktu, dan menurutku kamu sangat cocok.”

Lila, yang masih terguncang oleh percakapan dengan Silvia, hanya bisa mengangguk lemah. Kehadiran Juna terasa seperti angin segar di tengah kehidupan pengapnya, sebuah penawaran yang normal dan pelarian. Namun, di balik senyum ramah dan penampilan Juna yang sempurna, ada intensitas, sebuah ketajaman yang tersembunyi yang membuat Lila sedikit ngeri.

“Aku… aku mau,” ucap Lila akhirnya, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya.

Juna tersenyum lebih lebar, namun senyum itu tidak sepenuhnya mencapai matanya. “Bagus! Mari kita bertemu untuk membicarakan detailnya besok sore di kafeteria dekat sini.”

Tatapannya yang penuh selidik berpindah ke Silvia, dan untuk seper-sekian detik yang hampir tak terlihat, senyumnya pudar. Dia seperti bisa melihat, atau merasakan, bayangan gelap yang melingkupi gadis itu, sebuah noda di atas cahaya jiwanya yang terang.

Malam harinya, Lila yang dilanda gelisah dan rasa bersalah yang tak tertahankan, berjalan sendirian menuju bukit kecil di belakang kompleks apartemennya. Dia mendambakan udara segar dan kesendirian untuk menjernihkan pikirannya.

Lila tidak tahu dia diikuti diam-diam. Stevan, iblis pendamping Damian yang penuh obsesi dan mencintainya, mengawasi setiap langkah Lila dari balik rimbun pepohonan. Dia menyaksikan Lila duduk lesu di atas sebuah batu besar, menatap gemerlap cahaya lampu kota di bawahnya, wajahnya yang cantik dipenuhi oleh kesedihan dan rasa bersalah yang dalam, sebuah ekspresi yang membuat hati sang iblis pendamping, yang seharusnya tidak memiliki perasaan, terasa sakit dan perih.

Stevan mendekati Lila diam-diam, wujudnya hampir menyatu dengan bayangan malam. Dia tidak memerlukan wujud fisik untuk mempengaruhi manusia. Dia adalah bayangan, angin yang berbisik. Dengan hati-hati, dia membisikkan mantra hipnotis yang lemah ke dalam pikiran Lila yang rentan, sebuah suara yang menenangkan dan menggoda, menjanjikan pelarian sementara dari segala rasa sakit dan kekacauan dalam hidupnya.

“Tidurlah, Lila yang malang… Lupakan segalanya untuk sementara. Rasakan kedamaian… Tidak ada yang akan menyakitimu di sini…” bisik Stevan.

Lila menguap lebar, kelopak matanya tiba-tiba terasa sangat berat. Pikirannya yang kalut dan dipenuhi ketakutan perlahan-lahan menjadi kosong dan tenang, diterpa oleh sebuah kelegaan yang dipaksakan.

Tubuh Lila lunglai, dan dia berbaring di atas rumput yang dingin, tertidur lelap di bawah sinar bintang-bintang yang berkelap-kelip, tidak menyadari sama sekali bahwa Stevan kini duduk di sampingnya. Jari-jari halusnya yang tak terlihat membelai rambut Lila dengan penuh kasih sayang, melindunginya untuk malam ini, bukan sebagai monster yang mengerikan, tapi sebagai penjaga yang terobsesi dengan rasa cinta yang menyimpang dalam kegelapan yang melingkupi takdir mereka.

Dalam tidurnya, Lila bermimpi tentang tangan yang tak terlihat dan menahan dirinya jatuh ke jurang tanpa dasar, sebuah ilusi kenyamanan yang beracun yang diberikan oleh makhluk yang seharusnya dia takuti.

*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel