Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

# BAB 2 DIA MILIKKU (21+)

Suasana gelap di lorong apartemen Lila itu terasa hidup dan bernafas. Damian, yang mendiami tubuh Lily, tidak bergeming sedikit pun dari ambang pintu. Senyum tipisnya tak kunjung hilang, dan matanya, menyapu tubuh Silvia dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan lapar dan penuh hasrat yang tak tersamar.

“Aku… Lily,” ujar Damian alias Lily akhirnya. Suara Lily yang ceria kini berubah menjadi semacam intonasi yang dalam dan beresonansi ganda, seperti dua suara yang menyatu. Suara milik Lily dan Damian. “Aku kakak kembarnya Lila.”

Silvia, yang biasanya percaya diri, merasakan telapak tangannya mulai berkeringat. Gugup. Entahlah... Dan itu ANEH! Dia memaksakan senyum ramah. “Hai, Lily! Aku sering mendengar tentang kamu lewat Lila.”

Lila, yang berdiri membeku di antara keduanya, merasa tenggorokannya kering. Dia bisa merasakan energi gelap yang memancar dari ‘kakaknya’. Energi itu menyelimuti ruangan apartemen Lila yang sempit.

“Lily, kami sedang sibuk,” kata Lila dengan suara sedikit bergetar.

Damian alias Lily mengabaikannya. Dia hanya melirik Lila dengan sinis sesaat. Dia mulai melangkah masuk, gerakannya anggun namun penuh ancaman, seperti seekor leopard yang melenggang cantik menuju kancil, mangsanya.

Dia berhenti sangat dekat dengan Silvia, menghirup udara di dekat leher gadis itu dengan halus. “Kamu wangi,” bisiknya, dan untuk sepersekian detik, mata hitam itu seakan berkilat merah. “Seperti aroma matahari yang menyegarkan dan sesuatu yang… manis.”

Dari dalam sangkar tubuhnya sendiri, Lily menjerit histeris. Dia bisa merasakan ketertarikan Damian pada Silvia, keinginan mentah yang bukan ditujukan padanya, melainkan pada gadis lain.

Rasa cemburu yang menghancurkan membara dan mengamuk dalam batinnya. "Damian milikku! Aku yang membawanya kembali! Tubuhku yang dia tinggali!"

“Kita harus minum kopi kapan-kapan, mau?” Lily alias Damian berkata pada Silvia lalu akhirnya mundur selangkah. Dia takut, dia akan menakuti Silvia jika dia tak menahan diri, semisal dia tak mengontrol 'keinginannya' dan Rrrrr! Dia tiba-tiba berubah dan menerkam Silvia, ooops!

Tapi tatapan matanya masih membelenggu. “Berempat. Aku yakin… kita akan menjadi teman baik.” ucap Lily sambil tersenyum semanis mungkin.

Ucapan ‘teman baik’ terdengar seperti ancaman bagi Lila. Matanya melebar, dan dia menggeleng pelan ketakutan. Damian alias Lily mana peduli! Yang terpenting untuknya... Silvia... Silvia... Silvia harus jadi miliknya... Silvia harus dalam genggamannya...

Setelahnya Silvia pergi dengan perasaan tak enak dan dengan janji yang diiyakan walau pun terpaksa. Raut wajahnya masih sedikit bingung ketika suasana di apartemen berubah menjadi beku. Lila menghela nafas, bersandar di pintu.

“Kenapa kau harus melakukan itu?” tanya Lila, lelah.

Lily memutar balik tubuhnya, senyum sinisnya lenyap, digantikan oleh ekspresi dingin dan ingin menguasai. “Karena AKU menginginkannya.”

“Dia temanku!” bentak Lila.

“Dan dia akan menjadi milikku,” ucap Lily datar tapi suaranya terdengar ganda. Dia mendekati Lila, menatapnya dengan intensitas yang membuat Lila ingin menghilang. “Kau dan Lily sudah membosankan bagiku. Aku butuh sesuatu yang… baru. Sesuatu yang segar.”

---

Malam itu, di kamar tidurnya yang sederhana, Silvia terbangun oleh rasa panas yang aneh di sekujur tubuhnya. Dia atas ranjangnya, dia tidak bisa bergerak, diikat oleh sebuah mimpi yang terasa terlalu nyata.

Damian berdiri di ujung ranjangnya, bukan dalam wujud Lily, tetapi dalam wujud aslinya. Sosoknya tinggi, berotot, dengan tatapan semerah api yang membara dan dua sayap gelap yang membentang samar seperti bayangan.

“Jangan takut, Silvia,” bisik Damian, suaranya manis seperti madu yang beracun, langsung di dalam pikiran Silvia. Dia berlutut di atas tempat tidur, tangan dinginnya menelusuri kaki Silvia yang telanjang. “Aku hanya ingin memperlihatkan padamu… Kenikmatan yang bisa kuberikan.”

Di dunia nyata, tubuh Silvia bergerak-gerak, nafasnya memburu. Dalam mimpinya, dia berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar. Damian membalikkan tubuhnya dengan kasar, wajah cantiknya terhimpit ke bantal. Dia merasakan berat tubuh iblis itu menindihnya, cakarnya yang tajam mencengkeram pinggulnya.

“Kau akan jadi milikku,” desis Damian di telinganya, sebelum rasa sakit yang tajam dan memekakkan menyergap intinya. Mimpi itu berubah menjadi kekerasan yang sensual dan mengerikan, sebuah pelanggaran yang meninggalkan bekas di jiwa bahkan sebelum terjadi di dunia nyata, di fisiknya yang rentan.

Keesokan paginya, Silvia terbangun dengan perasaan hancur dan tubuh yang sakit semua. Dia mengingat mimpinya dengan jelas, setiap detail, setiap sentuhan, setiap bisikan. Dan ketika dia bercermin, di pundaknya yang mulus, tercetak lima bekas memar kehitaman berbentuk sidik jari yang bukan milik manusia.

---

Sementara itu, di kantor detektif, Laras menatap papan tulis yang penuh dengan foto dan garis benang merah. “Gio, lihat ini. Semua kasus ini… mereka melakukan ritual yang sama. Dan ada seorang cenayang yang namanya muncul di tiga laporan saksi berbeda. Namanya Kai.”

Detektif Gio menghela nafas, mengosongkan sisa kopi pahit di cangkirnya. "Kai? Lagi-lagi soal cenayang? Laras, kita butuh bukti nyata, bukan dongeng pengantar tidur."

Namun, Laras tidak goyah. Jarinya menunjuk ke foto-foto korban yang masih anak-anak. "Ini bukan dongeng, Gio. Polanya terlalu sama persis. Seorang anak selamat dengan trauma mendalam, yang lainnya hilang begitu saja dari catatan, seolah dihapus dari eksistensi mereka. Dan cenayang ini... Dia seperti penjaga yang mengetahui sesuatu yang kita tidak ketahui."

Laras kemudian membuka laporan lama yang halamannya sudah menguning. "Di sini, dia memperingatkan keluarga Henderson seminggu sebelum anak kembar mereka hilang. Dia bilang, 'jangan biarkan kegelapan memisahkan darah dagingmu'."

Gio mengerutkan kening, skeptisismenya mulai retak. "Lalu kenapa kita tidak menemui pria bernama Kai ini?"

Laras menatapnya, matanya berbinar dengan tekad. "Karena mungkin dia bukan orang yang mudah ditemui. Atau mungkin, dia hanya muncul ketika kegelapan itu sendiri sudah terlalu dekat."

Mereka tidak tahu bahwa nama "Kai" yang mereka cari adalah kunci yang bisa menghubungkan titik-titik yang tersebar, seorang penjaga perbatasan antara dunia nyata dan dimensi kegelapan yang sedang mereka selidiki.

Damian mulai mengejar mangsa lagi, dan korban pertamanya sudah ternoda. Tanda cakarnya telah tercetak, baik di kulit Silvia, maupun di dalam jiwa Lila yang bermimpi mendengar teriakan Lily dari balik tirai yang tak terlihat.

---

Di apartemennya yang gelap, Lila terbangun dan terisak. Rasa bersalah dan ketakutan mencekiknya. Dia melihat pesan dari Silvia di ponselnya, yang mengeluh tentang mimpi buruk dan badannya yang pegal, disertai pertanyaannya, "Apa kamu baik-baik saja? Kakakmu... Maaf, dia agak sedikit menyeramkan."

Lila memandangi pesan itu, air matanya menetes. Dia ingin memperingatkan Silvia, menjauhkannya dari mara bahaya, tetapi bagaimana caranya menjelaskan sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak sepenuhnya paham?

Dan rasa takut itu telah membuatnya lumpuh selama bertahun-tahun. Kini, ancaman itu tidak lagi hanya mengintai di rumah masa kecilnya yang usang, tetapi telah merambah ke satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Silvia.

Lila merasa seperti kembali menjadi gadis kecil berusia tujuh tahun yang ketakutan, bersembunyi di balik tirai, menyaksikan kakaknya direnggut darinya.

Sekarang, Lila harus memutuskan, tetap menyerah dalam ketakutan, atau akhirnya berdiri dan melawan kegelapan yang telah mengobsesi keluarganya?

Apalagi, sekarang... Sang Penguasa Kegelapan, mengincar sahabatnya.

*

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel