# BAB 1 RITUAL YANG SALAH?? - 2
Dia adalah sosok yang pendiam, penyendiri yang bergerak di antara keramaian, selalu memakai sweater berlapis seolah ingin menyembunyikan dirinya dari orang lain.
Di kampus, di antara samudra wajah-wajah asing, dia menemukan sebuah pulau bernama Silvia.
Silvia adalah kebalikannya dalam hampir segala hal. Gadis itu rambutnya hitam ikal berkilau, suaranya nyaring dan penuh tawa, dan dia membawa serta cahaya ke mana pun dia pergi.
Bukan cahaya yang menyilaukan, melainkan kehangatan yang menenangkan, seperti matahari di pagi musim semi. Dialah cahaya hangat yang tanpa sengaja menerangi Lila yang suram.
Persahabatan mereka tumbuh, sebuah keseimbangan aneh antara sunyi dan ramai, antara bayangan dan cahaya.
Suatu sore, setelah kuliah, Silvia berkunjung ke apartemen Lila untuk pertama kalinya. Mereka duduk di lantai, dikelilingi bungkusan makanan cepat saji, sementara Silvia bercerita dengan semangat tentang rencana organisasi kampusnya.
Lila hanya mendengarkan, sesekali tersenyum kecil, menikmati normalitas yang ditawarkan oleh kehadiran Silvia.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, pintu kamar Lila yang selalu tertutup rapat pun terbuka. "Lily" berdiri di sana. Penampilannya sempurna, bahkan terlalu sempurna.
Rambut pirangnya terpelihara dengan baik, pakaiannya mahal dan modis, tetapi aura yang dipancarkannya menusuk bagai jarum es.
Damian, yang telah menghuni tubuh Lily selama dua belas tahun, telah belajar banyak tentang dunia fana. Dia menguasai tubuh ini dengan mahir, menjadikannya sebuah wadah yang elegan sekaligus mematikan.
Dia tidak melirik Lila. Pandangan mata hitam legamnya itu langsung tertuju pada Silvia, menembusnya.
Di dalam mata itu, sebuah ketertarikan yang primitif dan lapar mulai menyala. Dia melihat cahaya dalam diri Silvia. Yang lebih terang, lebih murni, lebih berharga dari apapun yang pernah dia jumpai dalam penjelajahannya yang kelam.
Cahaya jiwa yang tak ternoda, sebuah energi yang dia rasakan bisa memperkuat, atau mungkin, bahkan membebaskan sepenuhnya dari sisa-sisa cengkeraman wadah Lily.
Dia menginginkannya. Bukan secara seksual, tapi secara spiritual, dengan nafsu kanibalistik yang lebih dalam dari sekedar fisik.
"Lila, tidak memberitahuku kita ada tamu?" ucap Damian (dengan suara Lily). Lantunannya halus, terukur, seperti beledu yang membungkus pisau. Tapi setiap kata mengandung bahaya yang tersembunyi.
Dan dari dalam penjara tubuhnya sendiri, di sudut kesadaran yang paling gelap dan tak terjangkau, Lily merasakan gelombang emosi yang meluap.
Bukan rasa takutnya untuk Silvia, bukan pula belas kasihan. Tapi sebuah kecemburuan. Kemarahan yang membara dan iri yang mendidih.
Selama dua belas tahun, dia telah menjadi tawanan, dipaksa menyaksikan setiap tindakan Damian, merasakan setiap emosinya yang asing.
Hubungan mereka adalah tarian yang rumit dan beracun. Damian adalah penjajah, tapi Lily adalah arsitek yang mengenal setiap sudut bentengnya.
Lily telah belajar untuk menemukan celah, untuk memanipulasi getaran emosi yang bisa mempengaruhi si iblis. Dan kini, dia melihat bagaimana Damian memandang Silvia.
Itu sebuah ancaman baginya! Jika Damian mendapatkan cahaya itu, jika dia menjadi lebih kuat, maka sisa-sisa kendali Lily, betapa pun kecilnya, akan musnah.
Dia akan tenggelam selamanya dalam kegelapan. Gadis ceria ini, dengan cahayanya yang menjengkelkan, adalah ancaman eksistensinya Lily.
Sebuah rencana mulai terbentuk dalam pikirannya yang terperangkap, sebuah strategi licik dan putus asa untuk menyingkirkan ancaman ini, untuk memanipulasi Damian, atau mungkin, bahkan menggunakan situasi ini untuk keuntungannya sendiri.
---
Sementara itu, di sebuah kantor polisi, diterangi lampu neon yang berkedip-kedip, dua detektif tengah bergelut dengan arsip-arsip lama.
Laras, perempuan dengan mata tajam dan pikiran analitis yang tak kenal lelah, menatap papan tulis yang penuh dengan foto, nama, dan garis penghubung.
Gio, partnernya yang lebih tua dan sinis, menyandarkan kursinya ke belakang dengan skeptisisme yang sudah melekat.
"Lagi, Ras? Kasus anak kembar yang hilang ini sudah mati bertahun-tahun," gumam Gio sambil menyesap kopi hitam pekatnya.
"Terlalu banyak kemiripan, Gio," bantah Laras, menunjuk beberapa titik di peta. "Lima kasus dalam dua puluh tahun. Selalu anak kembar. Satu selalu dilaporkan hilang, atau ditemukan dalam keadaan amnesia total dan trauma psikologis parah. Yang satunya... menghilang dari catatan, seolah-olah tidak pernah ada."
Jari lentik Laras berhenti pada sebuah lokasi terpencil di peta. "Dan semuanya bermuara, atau setidaknya berjarak dekat, dengan daerah tempat tinggal satu keluarga ini bertahun-tahun lalu."
Dia menempelkan sebuah foto lama sebuah rumah kayu di pegunungan. Di bawah foto itu, tertulis sebuah nama, Keluarga Wulandari.
Catatan mereka, yang samar dan tidak lengkap, membawa mereka pada sebuah nama yang muncul dalam dua laporan yang berbeda. Lila.
"Keluarga Wulandari. Bima dan Sari. Mereka pindah tak lama setelah insiden dengan anak kembar mereka. Keluarga itu sangat tertutup," Laras melanjutkan, matanya berbinar dengan keyakinan. "Ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Dan aku yakin anak yang selamat, si Lila ini yang memegang kuncinya."
---
Dan di suatu tempat yang lain, jauh dari keramaian kota dan kesibukan kepolisian, seorang pria sedang duduk bersila di ruangan yang hampir gelap total. Hanya aroma dupa yang mengepul dan cahaya lilin kecil yang menerangi garis-garis tajam wajahnya.
Kai.
Sebagai seorang cenayang, hidupnya adalah sebuah antena yang selalu menyadari getaran-getaran halus alam semesta.
Tiba-tiba, tubuhnya kaku. Nafasnya tercekat. Matanya yang terpejam itu terbuka lebar, memandang sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata biasa.
Dia merasakannya! Gangguan besar, kehadiran sosok iblis kuno, sebuah entitas yang seharusnya tetap terpendam dalam legenda dan mantra kuno, telah bangkit.
Dan bukan hanya bangkit... Dia telah menjadi kuat, berakar di dunia fana, dan kini... Hal ini yang membuat darah Kai membeku. Iblis itu sedang mengincar. Ada satu yang dia cari, sebuah keinginan yang tajam dan spesifik.
Iblis itu mengincar seseorang, dengan cahaya yang bahkan dari kejauhan terasa begitu terang dan rentan.
Kai menghela nafas panjang, rasa sesak di dadanya belum sepenuhnya hilang. Iblis kuno telah bangkit dari tidur panjangnya. Ia tidak lagi hanya berada di loteng rumah tua, tetapi telah menyebar, merambah kota, menyusup ke dalam kehidupan sehari-hari.
Dan dengan bangkitnya sosok kegelapan itu, sebuah permainan yang mematikan, dengan aturan yang tidak diketahui dan taruhannya nyawa, akan segera datang.
Langkah pertama telah diambil oleh sang iblis, Damian. Sekarang, siapa yang akan bergerak selanjutnya?
*
