Bagian Empat : Pengakuan
Happy Reading !!!
***
Terkejut. Itu yang Gilang rasakan ketika Ziva mengutarakan pengakuan.
Bahagia, jelas ada. Namun lebih banyak rasa tak percaya.
Gilang benar-benar tidak menyangka bahwa Ziva memiliki rasa yang sama dengannya. Lebih tak menyangka perempuan itu mengakuinya di saat statusnya yang telah memiliki tunangan.
Gilanya adik dari Gilang lah yang menjadi pasangannya. Membuat Gilang tak habis pikir dan bertanya, tidakkah perempuan itu takut Gilang mengadukannya pada Galen? Tapi cepat-cepat Gilang menggeleng, itu tak mungkin. Gilang tidak mungkin akan mengadukan pengakuan Ziva barusan, karena nyatanya ia pun sama saja. Namun, apa yang sekarang harus dirinya lakukan? Apa yang harus dirinya beri sebagai tanggapan?
Melihat Ziva kecewa seperti ini membuat Gilang tak tega, tapi untuk menjadi gila, Gilang tidak yakin bisa. Galen adalah adiknya. Tega kah ia mengkhianatinya?
Tapi, mungkinkah ia pun rela melepaskan Ziva begitu saja di saat pengakuan cinta gadis itu dirinya dengar sendiri?
Perempuan itu mencintainya, dan rasanya pun sama. Gilang ingin Ziva. Tiga bulan dirinya mendambakan kekasih adiknya itu. Sekarang haruskah Gilang sia-siakan? Tapi bagaimana dengan Galen? Hubungan mereka sudah masuk ke jenjang yang lebih serius. Dan pertunangan itu baru terjadi belum genap dua puluh empat jam. Tega kah Gilang menghancurkannya? Tega kah ia menyakiti perasaan adik dan keluarganya?
Tapi, siapkah ia merelakan gadis tercintanya?
Selama ini Gilang tidak pernah mencintai seseorang sebesar ini. Selama ini ia tidak pernah begitu ingin memiliki seseorang dalam hidupnya. Tapi semenjak bertemu Ziva, keinginan itu hadir dalam hatinya, dan benaknya mendukung untuk ia mendapatkannya.
Sekarang di saat Ziva bahkan berani mengutarakan rasanya, bisakah Gilang menolaknya?
Melirik sosok yang duduk di sampingnya, Gilang dapat melihat wajah sendu Ziva yang membuatnya semakin lantang memaki diri sendiri di dalam hati. Gilang sukses melukai cintanya di saat dirinya bahkan tidak berniat melakukan itu.
Gilang tidak tahu Ziva mengharapkannya, hingga akhirnya ia memilih melontarkan kebohongan. Karena nyatanya benar apa yang Ziva bilang, ia mabuk karena pertunangan perempuan itu bersama adiknya. Dan sebelum-sebelumnya pun selalu Ziva yang menjadi alasan dirinya mabuk-mabukan meskipun tidak sampai separah semalam.
“Apa saja yang aku bicarakan di telepon semalam?” Gilang ingin tahu seberapa gilanya efek mabuknya semalam, sampai akhirnya Ziva berani mengutarakan perasaannya seperti ini.
Gilang ingin lebih memastikan sebelum akhirnya mengambil keputusan.
“Gak banyak, Abang cuma beri selamat dan meminta maaf karena gak bisa ngucapin langsung. Abang lebih banyak bicara gak jelas,” jawab Ziva dengan senyum tipis yang di paksakan.
“Lalu?” karena Gilang merasa bahwa masih ada yang dirinya ucapkan kepada perempuan itu.
Ziva menggeleng seraya melirik Gilang sekilas. “Abang tidur, dan kayaknya aku juga ketiduran sampai lupa matiin panggilan.” Bukan tanpa alasan Ziva memilih berbohong. Ia hanya tak ingin semakin malu di depan Gilang. Tidak ingin pula hatinya semakin berdarah karena anggapannya yang salah.
“Kamu yakin?” Gilang masih merasa tak yakin, tapi sepertinya Ziva tidak ingin membahas lebih lanjut, karena perempuan itu malah justru mengedikkan bahunya dengan tatap yang lurus ke depan, seolah tengah menghindari tatapan Gilang.
Mencoba untuk percaya, Gila memilih tidak melanjutkan bertanya, membuat suasana di dalam mobil kembali sunyi untuk waktu yang lebih panjang dari sebelumnya.
Di saat sesekali Gilang menoleh demi memastikan Ziva tak tertidur, perempuan itu malah justru asyik dalam diamnya, membuat Gilang gatal ingin membuat Ziva bersuara atau sekadar meliriknya. Tapi Gilang terlalu bingung memulai obrolan, sampai pada akhirnya mereka tetap bungkam hingga mobil yang Gilang kendarai tiba di sebuah kawasan yang tidak begitu Ziva kenal. Membuatnya menoleh dan mengerutkan kening menatap Gilang.
“Kok ke sini?” karena sebelumnya Ziva mengira bahwa Gilang akan mengantarnya pulang.
“Ikut aku sebentar. Kita butuh bicara,” pada akhirnya Gilang mengajak Ziva ke apartemennya. Mereka butuh tempat untuk membahas tuntas masalah yang ada. Dan berhubung apartemennya berada paling dekat dari posisi awal mereka, Gilang memilih langsung membelokan kendaraannya tanpa sama sekali meminta kesetujuan Ziva. Toh pada akhirnya perempuan itu pun mengikutinya.
“Mau minum apa?” tanyanya begitu mempersilahkan Ziva duduk di living room apartemennya.
“Air putih dingin.”
Dan Gilang mengangguki lalu berjalan menuju dapur, meninggalkan Ziva yang kini sibuk melarikan matanya ke segala arah demi mengamati hunian Gilang. Dan harus Ziva akui bahwa selera Gilang dalam memilih tempat tinggal tidak buruk. Tempat yang disinggahinya ini begitu nyaman, tidak memiliki banyak sekat juga barang-barang yang kurang fungsional hingga membuat ruangannya terlihat lebih luas.
Sebelumnya Ziva tidak tahu kalau Gilang memiliki apartemen, karena selama tiga bulan mengenal keluarga Galen dan sering bertandang ke rumahnya, Ziva selalu mendapati Gilang pulang ke rumah orang tuanya. Sama halnya seperti Galen yang menjadikan rumah orang tuanya sebagai rumahnya. Tunangannya itu tidak memiliki keinginan tinggal terpisah selama itu belum menikah. Dan Ziva kira Gilang pun memiliki pemikiran yang sama. Tak menyangka bahwa ternyata pikirannya salah. Dan sepertinya tempat ini pun sering pria itu datangi, melihat adanya persediaan makanan di sana.
Meskipun sesungguhnya Ziva tidak tahu isi lemari es Gilang. Tapi cukup dengan fakta Gilang mengeluarkan beberapa camilan demi menemani air putih yang di suguhkan untuknya, membuat Ziva menyimpulkan bahwa Gilang memang sering berada di apartemennya.
“Di minum, Zi,” ucapnya mempersilahkan, dan Ziva mengangguk seraya meraih gelas berisi air putih dinginnya. Meneguknya hingga habis setengah, kemudian kembali meletakkannya di atas meja.
“Semalam aku di sini,” mulai Gilang sembari menyandarkan punggung pada kepala sofa. “Awalnya memang pergi ke bar, setelah minum beberapa gelas aku pulang, mengingat aku datang sendiri dan harus menyetir. Bagaimanapun aku gak mau celaka dan mati konyol,” kekehnya kemudian, membuat Ziva yang sejak awal menyimak seakan terhipnotis oleh kekehan Gilang yang baru pertama kali dirinya lihat. Gilang terlihat semakin tampan, dan Ziva berhasil makin terpesona.
“Kalau udah mabuk di bar biasanya aku gak pernah minum lagi. Tapi semalam aku malah melanjutkannya di sini,” katanya melanjutkan, dan Ziva masih setia mendengarkan, meski belum tahu tujuan Gilang menjelaskan semua itu.
“Kamu benar, Zi, aku mabuk karena pertunangan kamu dengan Galen. Aku benar-benar patah hati,” Gilang memilih mengakui, karena ternyata begitu sesak terus dirinya simpan sendiri perasaan itu. “Apa yang mungkin semalam kamu dengar di telepon itu memang benar, aku mencintai kamu. Selama tiga bulan ini, aku diam-diam memikirkan kamu, menatapmu dari kejauhan, kemudian berandai berada di posisi Galen saat itu,” senyum Gilang tersungging miris.
“Bukan hanya sekali aku memiliki keinginan memberitahu kamu tentang perasaan ini. Sudah sering, Zi. Tapi aku tidak memiliki keberanian sebesar itu. Mungkin jika bukan Galen pria itu, aku tidak akan keberatan. Aku akan melakukan apa pun demi membuat kamu berpaling padaku. Tapi kenyataannya adikku yang menjadi pemilik kamu. Aku tidak setega itu menyakitinya. Aku sayang Galen,” itu kenyataan, selayaknya kakak, Gilang begitu menyayangi adiknya. “Tapi aku juga menginginkan kamu, Zi,” tambahnya melanjutkan, dan tatapannya kali ini lebih serius lagi. Membuat Ziva bisa melihat sebesar apa rasa yang pria itu punya untuknya.
“Aku gak bisa mengecewakan adikku. Tapi aku juga tidak bisa merelakan kamu. Aku harus apa, Zi?” tanya Gilang dengan sorot frustrasi. “Kenapa bukan kita yang lebih dulu bertemu, Zi? Kenapa harus Galen?”
Ziva hanya bisa menggeleng dengan air mata yang tak lagi bisa dirinya sembunyikan. Sama seperti Gilang, Ziva pun nyatanya mempertanyakan semua itu. Dan sampai saat ini tidak juga Ziva temukan jawabannya.
“Semalam pertunangan kamu dan adikku dilangsungkan, membuatku tahu tidak ada lagi kesempatan untuk aku memiliki kamu. Tapi kemudian aku melakukan kebodohan dengan mengutarakan perasaanku, dan sialannya kamu malah memiliki hal serupa!” Gilang kesal, meski tidak tahu harus dirinya tujukan pada siapa. “Coba bilang sama aku, Zi, aku harus gimana sekarang?” tuntut Gilang di tengah rasa frustrasinya.
“Aku harus apa?” tanyanya lirih, sembari menatap Ziva yang terisak di depannya. Gilang sebenarnya tak tega, ia ingin menarik wanita itu masuk ke dalam pelukannya, tapi Gilang takut. Takut dirinya tak rela melepaskan Ziva setelahnya. Gilang takut menjadi egois dan berakhir menyakiti adiknya. Tapi Gilang juga tak rela jika harus dirinya yang merana.
Jadi, apa yang seharusnya Gilang lakukan?
***
Bersambung ...
