Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian Lima : Keputusan Berengsek

Happy Reading !!!

***

“Apa pun langkah yang kita ambil, kita tetap menjadi penjahat itu ‘kan, Bang? Jadi, kenapa harus tanggung-tanggung? Toh pada akhirnya Galen akan tetap terluka juga saat sadar aku tidak bisa mencintainya. Abang juga terluka melihatku bersama Galen. Begitu pula dengan aku. Bahagiaku tidak akan pernah ada karena nyatanya bukan Galen yang aku inginkan. Kita bertiga akan sama-sama terluka. Dan selama ada yang bisa di selamatkan, kenapa kita harus menenggelamkan semuanya?”

“Bukankah itu berarti kita egois?”

“Dalam hidup nyatanya kita tidak pernah bisa mendapatkan semua yang kita inginkan. Selalu ada yang harus di korbankan. Contohnya uang, kita mengorbankan waktu untuk bekerja demi mendapatkan kertas-kertas bernilai itu. Ponsel, kita perlu mengorbankan uang demi bisa memiliki benda itu. Dan ketika kita ingin memiliki kebahagiaan, maka kebahagiaan lain kadang kala harus kita korbankan. Ketika kita ingin menjadi juara, kita harus menyingkirkan lawan kita. Itu membuat mereka tak terima, tapi pada akhirnya tak bisa apa-apa saat juri memberi keputusan. Sama seperti kita bertiga, Bang. Aku sudah memilih Abang, dan keputusan, Abang yang akan menentukan. Mengalah untuk membiarkan Galen menang, atau maju untuk menjadi pemenang.”

Empat hari terlewati sejak dirinya dan Ziva membicarakan perasaan yang mereka miliki, Gilang masih belum juga bisa memutuskan. Semuanya masih begitu membingungkan untuknya.

Memilih antara saudara dan cinta jelas bukan hal yang mudah karena nyatanya Gilang tak ingin mengecewakan keduanya. Tapi Gilang jelas tidak bisa memiliki keduanya. Mau tak mau Gilang memang harus mengorbankan salah satunya. Dan itu amat berpengaruh untuk kehidupan selanjutnya.

Andai Galen yang Gilang selamatkan, maka ia harus siap menyakiti Ziva. Merelakan cintanya, dan mengubur segala harapannya. Sementara jika dirinya memilih Ziva, itu artinya ia menodai darah yang mengalir sama di tubuhnya. Dan ia harus rela di benci oleh adiknya.

Empat hari ini Gilang benar-benar di buat berpikir keras, belum lagi pekerjaan yang menumpuk membuatnya merasa begitu lelah. Harinya sungguh berat dan dengan tidak adanya kabar dari Ziva membuat Gilang benar-benar merasa gila. Padahal sebelumnya pun mereka tidak pernah saling bertukar kabar. Tapi setelah mendengar pengakuan Ziva, rasanya jadi berbeda. Gilang semakin frustrasi dengan rindu yang dirinya punya.

Gilang bukannya tidak ingin menghubungi Ziva lebih dulu, ia begitu ingin. Tapi dengan keadaan mereka yang seperti ini Gilang tidak mau semakin memberi harapan di saat dirinya sendiri masih tidak bisa mengambil keputusan. Gilang takut jika pada akhirnya ia harus menyakiti Ziva. Tapi dengan sikapnya yang tak bisa mengambil keputusan ini Gilang malah semakin di buat tersiksa. Gilang butuh Ziva untuk mengobati rindunya. Ia butuh Ziva untuk meredakan sakit kepalanya.

Dan sepertinya semesta memang sedang berpihak padanya, karena di tengah rasa frustrasinya mengharap bertemu dengan sang pujaan hati, semesta memberinya angin segar. Sosok itu berada di sana, sedang bercengkerama dengan keluarganya. Meski Gilang sadar betul bukan dirinya yang membawa Ziva datang. Tapi melihat tatapan itu mengarah padanya ketika sadar kedatangannya, Gilang merasa kupu-kupu sedang mengelilinginya, menggelitik hatinya yang tiba-tiba merasa berbunga. Membuat langkahnya ringan menghampiri keluarganya. Padahal niat awalnya langsung merebahkan tubuh di ranjang kamar. Dan bisa saja Gilang kembali nekad dengan menghubungi Ziva.

“Kamu kurusan deh kayaknya, Bang?” Veronica meneliti putra sulungnya yang terlihat cukup berantakan, dengan lingkaran hitam di bawah mata dan gurat lelah yang tampak nyata.

“Mama ngaco! Kurus apaan? Ini badan aku masih besar loh, Mam. Lihat, di bandingkan sama tangan mama aja, tanganku masih lebih besar,” katanya sembari membandingkan tangannya dengan tangan sang mama. “Aku juga masih berat. Mama mau coba gendong aku?” tawarnya yang tentu saja hanya becanda. Dan itu membuat Veronica mendengus seraya melayangkan cubitan panas di perutnya. Namun Gilang malah justru tertawa, lalu beringsut memeluk ibunya, menyandarkan kepalanya di bahu sempit Veronica demi mendapatkan sedikit ketenangan untuk gemuruh jiwanya yang di landa permasalahan hati yang meresahkan. Terlebih sekarang sang pujaan hati ada di hadapannya, duduk bersisian dengan Galen yang terlihat begitu perhatian. Membuat setitik iri menyinggahi hati.

Gilang ingin berada di posisi adiknya saat ini, bisa merengkuh Ziva dan melabuhkan kecupan di pelipis gadis itu. Gilang ingin memiliki Ziva untuk dirinya sendiri, karena nyatanya begitu sakit melihat sang tercinta berada dalam dekapan orang lain, sekali pun Gilang tahu itu merupakan tunangannya. Tapi justru kenyataan itulah yang membuat Gilang semakin merana.

Adiknya memiliki status yang bisa di pamerkan pada sekitar, sedangkan Gilang? Ia memang memiliki hati Ziva, tapi tak lantas membuatnya bisa merengkuh wanita itu. Gilang hanya harus puas dengan menatapnya dalam diam, mengutarakan kecemburuan hanya dalam hati, dan melontarkan makian pada dirinya sendiri.

Gilang tidak bisa melarang Galen berada di samping Ziva, dan Gilang pun tidak bisa menarik wanita itu ke sisinya. Pada akhirnya Ziva benar, bahwa untuk meraih apa yang kita mau harus ada sesuatu yang kita korbankan. Dan membiarkan keadaan tetap seperti ini artinya Gilang mengorbankan cinta dan kebahagiaannya sendiri untuk melihat sang adik menikmati apa yang seharusnya bisa dirinya raih. Ziva. Dan rasanya Gilang tak rela.

Bahkan kini Gilang sudah tak tahan ingin segera menjauhkan adiknya dari sisi Ziva. Ia benar-benar kepanasan melihat Galen yang terus-terusan melayangkan godaannya kepada Ziva, dan semakin panas ketika sebuah senyum malu-malu menghiasi wajah cantik Ziva.

Keadaan ini benar-benar terasa menyebalkan untuknya.

Sialan! umpatnya di dalam hati.

Gilang memilih untuk bangkit dari duduknya. “Gilang ke kamar dulu, ya. Pengen mandi. Gerah!” pamitnya sambil membuka dua kancing teratas kemejanya seraya melangkah meninggalkan living room, namun sebelum itu Gilang sempatkan melirik ke arah Ziva untuk memberikan tatapan tajamnya yang sarat akan kecemburuan. Berharap Ziva paham perasaannya.

“Jangan lama-lama mandinya, Bang, Mama siapin kamu makan malam.”

Gilang hanya menanggapi lewat deheman sebelum menghilang di balik pintu kamarnya yang ada di lantai dua. Gilang benar-benar mandi demi menyegarkan tubuhnya yang lelah, juga mendinginkan kepala serta hati yang di buat panas oleh Galen dan juga Ziva, yang sesungguhnya Gilang tahu bahwa adiknya tidak bermaksud melakukan itu, karena sama sekali Galen tidak mengetahui perasaannya kepada Ziva. Di sini Gilang yang salah sepenuhnya. Andai rasa itu tak ada, ia pasti baik-baik saja.

Dalam keadaan lebih segar Gilang kembali turun dari kamar untuk mengisi perutnya yang memang kelaparan mengingat sejak siang ia tak memasukan apa pun kecuali kopi. Gilang tak sempat makan. Selain karena pekerjaan yang banyak, memikirkan Ziva menambah kesibukannya. Dan sekarang ia kelaparan.

“Makan sekarang, Bang?” Gilang mengangguk ketika mendapat tanya sang mama, dan wanita paruh baya itu segera bangkit dari duduknya, mengajak Gilang ke dapur, meninggalkan tiga sosok lain yang masih bercengkerama di living room.

Sejenak Gilang melirik Ziva, dan kebetulan perempuan itu pun sedang menatap ke arahnya, membuat degup jantungnya kembali menggila. Namun kali ini Gilang tak hanya diam saja karena sebuah kedipan ia berikan untuk menggoda Ziva.

Benar. Gilang sudah mengambil keputusan, dan itu adalah keputusan paling berengsek yang pernah Gilang ambil. Tapi tak apa-apa ‘kan? Sesekali Gilang ingin egois untuk dirinya sendiri.

***

Bersambung ...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel