Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bagian Tiga : Sedikit Kecewa

Happy Reading !!!

***

“Abang di mana?” Ziva langsung bertanya ketika teleponnya di terima oleh sosok yang sejak beberapa menit lalu dirinya coba hubungi, tapi baru sekarang Gilang menyahutinya.

“Kantor. Ada apa?”

Ziva meringis mendapati tanya seperti itu, karena nyatanya ia juga tidak tahu kenapa menghubungi pria itu. Ziva hanya merasa perlu memastikan. “Apa Abang baik-baik aja?” tanyanya sembari menggigit bibir bawah demi menahan rasa gugupnya.

Jam makan siang sedang berlangsung dan Ziva memilih tetap di kantor dari pada ikut teman-temannya mencari makanan. Ziva sedang tak memiliki selera untuk mengisi perutnya, karena sepanjang hari yang dipikirkannya adalah Gilang dan keadaannya. Hingga kemudian Ziva memutuskan untuk menghubungi nomor Gilang.

Sialannya pria itu tidak langsung merespons panggilannya. Entah karena sedang sibuk atau sengaja mengabaikan, yang jelas Gilang berhasil membuatnya semakin tak karuan. Dan sekarang, ketika suara dingin itu terdengar Ziva tidak tahu apa yang ingin dirinya katakan.

“Ma- maksudku … abang semalam telepon aku. Abang bilang, abang mabuk. A—abang baik-baik aja ‘kan?” Ziva tak tahu kenapa dirinya harus segugup ini berbicara dengan Gilang, padahal mereka hanya melakukan panggilan, bukan bicara secara langsung.

“Kenapa? Kamu khawatir?”

Dan Ziva refleks menganggukkan kepalanya. Sampai akhirnya Ziva tersadar bahwa Gilang tidak dapat melihat anggukannya, mengingat mereka terhubung dalam panggilan biasa, bukan video.

“Semalam Abang pulang gimana? Gak nyetir sendiri ‘kan?” Ziva tak sama sekali bisa menyembunyikan rasa khawatirnya, membuat sosok di seberang sana meloloskan kekehannya.

“Kamu kenapa sih, Zi? Gak lagi salah hubungin orang ‘kan?”

Ziva meringis mendengar tanya bernada serius Gilang. Ia sadar bahwa apa yang dilakukannya amatlah janggal. Mereka tidak memiliki kedekatan apa pun, dan rasanya aneh ketika tiba-tiba memberi perhatian. Jadi wajar Gilang mempertanyakan.

“Jangan sampai setelah aku kegeeran kamu bilang salah sambung, Zi,” kekehan itu kembali Ziva dengar, dan entah kenapa ia jadi ikut melakukannya. Rasanya ia jadi ringan, dan gelisah yang sejak tadi ada hilang begitu saja, digantikan dengan bahagia yang terasa nyata.

“Aku akan tanggung jawab, kok, Bang,” tidak sama sekali Ziva bergurau, karena nyatanya ia benar-benar tak salah menghubungi. Gilang memang menjadi tujuannya.

Tidak ada tanggapan dari Gilang, membuat Ziva mengira bahwa sambungannya terputus, tapi ketika ia pastikan, detik di layar masih terus berjalan, menandakan bahwa sambungan masih berlangsung. Namun suara Gilang sama sekali tidak terdengar.

“Bang?” panggilnya pelan. “Abang masih di sana ‘kan?” Ziva memastikan. Dan Ziva bernapas lega ketika sebuah deheman di berikan pria itu.

“Kamu ada apa telepon Abang? Galen gak ada di sini,” nadanya kembali dingin, dan itu membuat Ziva meringis pelan.

“Aku gak nyari Galen,” ucapnya jujur. “Aku pengen bicara sama Abang,”

“Bicara apa?” sela laki-laki itu cepat.

“Aku gak mau bicara di telepon. Bisa kita ketemu?” tanya Ziva penuh harap. Ia memang belum tahu dari mana akan memulai pembicaraan, tapi setidaknya Ziva harus bertemu lebih dulu dengan Gilang, agar ia tahu langkah apa yang harus dirinya ambil.

“Aku sibuk.”

Sekuat mungkin Ziva tahan kekecewaannya, karena ia tahu alasan Gilang sebenarnya menolak pertemuan yang Ziva minta. Bukan hanya Gilang, Ziva pun tentu memikirkan hal yang sama, tapi ia tidak ingin berdiam diri dan menyesal di kemudian hari.

Ziva ingin menyelesaikan semuanya. Tentang pengakuan Gilang semalam juga tentang perasaannya yang seolah di beri makan harapan. Ziva ingin memastikan ke mana akhirnya perasaan mereka akan bermuara. Ziva tak ingin larut dalam pemikirannya sendiri.

“Aku akan tunggu sampai Abang gak sibuk lagi.” Ziva bertekad.

“Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan?”

“Nanti Abang akan tahu. Aku tunggu kabar Abang memiliki waktu.” Dan setelah itu Ziva memilih mematikan sambungan, karena teman-temannya telah kembali dari makan siang. Di tambah dengan jam istirahat yang sebentar lagi akan usai, dan Ziva tentulah harus kembali melanjutkan pekerjaan agar cepat selesai. Siapa tahu Gilang akan berubah pikiran dan mengajaknya bertemu sepulang kantor.

Dan entah kebetulan atau memang semesta sedang berpihak padanya, karena lima menit sebelum Ziva membereskan barang-barangnya, sebuah pesan singkat masuk dari Gilang.

Pria itu mengatakan sudah menunggunya di parkiran, dan itu sukses membuat Ziva tersenyum lebar dan bergegas pergi meninggalkan meja kerjanya, mengabaikan sang teman yang berteriak memanggilnya.

Ziva tak percaya bahwa ini benar-benar nyata, keberadaan Gilang yang tak pernah dirinya bayangkan kini nyata berada di depannya, menggantikan kendaraan Galen yang biasa menjemputnya.

Tapi, beruntung karena hari ini Galen berhalangan menjemputnya. Setidaknya ia memiliki kesempatan untuk memperjelas perasaannya dengan Gilang.

“Maaf lama,” kata Ziva begitu duduk di kursi penumpang di samping Gilang.

Gilang hanya menanggapi lewat anggukan singkat, lalu segera melajukan kendaraannya meninggalkan parkiran tanpa sama sekali menengok ke arah sampingnya.

Tidak ada obrolan yang tercipta karena baik Ziva maupun Gilang terlihat fokus pada pikiran masing-masing. Ziva kebingungan memikirkan awal yang harus dirinya sampaikan, sementara Gilang sibuk bertanya-tanya mengenai apa yang akan Ziva bahas. Yang jelas keduanya kini merasakan luapan tak biasa dengan debar jantung yang menggila.

Gilang benci situasi ini, tapi ia juga bahagia karena bisa duduk berdua dengan perempuan yang diam-diam dicintainya. Namun kabar buruknya, Gilang jadi ingin memiliki Ziva untuk dirinya sendiri. Gilang ingin berada di posisi ini bukan hanya sekali. Ia ingin ada esok dan seterusnya. Namun apakah bisa?

Melirik sekilas pada sosok di sampingnya, Gilang segera di landa menyesal karena ternyata menatap Ziva sesingkat itu tetap mampu memberi efek yang luar biasa untuk hatinya.

Gilang sepertinya benar-benar sudah tak bisa lagi menahan diri. Perasaannya yang berniat dihilangkan malah justru terbentuk semakin besar, terlebih sekarang sosok cantik yang biasanya hanya Gilang pandang dari kejauhan kini berada disampingnya. Entah ini namanya cobaan atau berkah dari Tuhan. Yang jelas Gilang merasa takdir begitu sialan. Meski harus dirinya akui ada bahagia yang terselip di sudut hati.

“Aku gak tahu kalau ternyata Abang suka mabuk-mabukan,” Ziva membuka suara seraya melirik ke arah Gilang yang fokus pada jalanan di depan yang cukup padat hingga mengakibatkan kemacetan. Namun untuk pertama kalinya Ziva suka hambatan ini, karena itu artinya banyak waktu yang bisa dirinya habiskan dengan Gilang. Walaupun gugup itu Ziva rasakan.

“Kalau lagi suntuk dan banyak pikiran aja,” jawab Gilang seadanya.

Ziva mengangguk-anggukan kepalanya seraya kembali meluruskan pandangan ke depan dengan senyum terukir tipis di bibirnya. “Dan semalam apa yang akhirnya buat Abang mabuk?”

“Lagi ke pengen aja. Di kantor lagi banyak kerjaan,” Gilang menjawab dengan nada acuhnya. Namun tiba-tiba saja jantungnya malah semakin berulah, seolah melarang Gilang mengutarakan kebohongan. Dan sialannya, tiba-tiba saja ia merasa malu mengingat kejadian semalam. Gilang merutuki dirinya yang malah menghubungi Ziva, dan sialannya Gilang tak ingat mengenai apa saja yang diucapkannya pada perempuan itu.

Seharian Gilang berusaha mengingat, tapi tidak berhasil. Yang terakhir kali Gilang ingat dia menghubungi Ziva dan mendengar nada khawatir wanita itu, selanjutnya Gilang tak lagi mengingat. Bahkan jika saja pagi tadi dirinya tidak berniat melihat jam di ponselnya, Gilang tidak akan tahu bahwa semalaman panggilannya terus terhubung dengan Ziva.

Hal yang kemudian membuat Gilang bertanya-tanya, adakah kalimat aneh yang dirinya ucapkan pada perempuan itu? Dan dugaannya semakin diperkuat ketika mendapati telepon Ziva siang tadi. Sampai sekarang Gilang masih deg-degan, takut apa yang dicemaskannya benar-benar terjadi.

“Aku kira karena pertunanganku dan Galen,” cicit Ziva sedikit kecewa. Dan itu berhasil membuat Gilang menolehkan kepala, menatap Ziva dengan sorot horornya.

Ziva hanya menanggapi tatapan Gilang dengan seulas senyum singkat, lalu kembali meluruskan pandangannya. “Maaf udah kegeeran.” Sekarang Ziva merasa malu.

“Semalam aku sempat dengar Abang bilang cinta aku, dan aku mengira itu sungguhan, mengingat orang mabuk biasanya akan bicara jujur. Tapi sepertinya aku salah dengar karena kebetulan sewaktu Abang telepon aku udah tidur.” Ziva tak sepenuhnya berbohong, ia memang sudah tidur ketika Gilang menghubunginya, tapi segera terjaga ketika mendengar suara Gilang yang terdengar sedih di telinganya.

“Abang ternyata lucu juga ya, ketika mabuk? Bicaranya ke mana-mana,” kekeh Ziva, menyembunyikan kecewa hatinya. “Jangan mabuk lagi, ya, Bang? Karena selain tidak baik untuk kesehatan, mabuknya Abang juga bahaya,”

“Bahaya kenapa?” sela Gilang sarat akan rasa penasaran.

“Abang sukses bikin aku salah paham,”

“Salah paham?” ulangnya memastikan. Dan Ziva menganggukkan kepalanya sembari menatap Gilang dalam.

“Aku suka Abang,” akunya kemudian. “Entah kapan tepatnya. Yang jelas sejak pertama kali aku bertemu Abang, aku merasakan sesuatu yang lain. Jantungku selalunya berdebar kencang dan seperti ada sebuah magnet yang menarikku untuk terus melirik Abang. Awalnya aku kira itu kekaguman, tapi lama-lama aku menyadari bahwa ternyata aku memang menyukai Abang. Dan apa yang Abang ucapkan semalam seakan meniupkan sebuah harapan. Tapi kemudian aku sadar … semua itu hanyalah angan.”

Miris, namun sebisa mungkin Ziva sembunyikan kesedihannya.

***

See you next part ya,

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel