Pustaka
Bahasa Indonesia

Terjerat Cinta Calon Ipar

70.0K · Tamat
Ainiileni
54
Bab
168
View
9.0
Rating

Ringkasan

Jatuh cinta memang hal biasa. Semua orang berhak merasakannya. Termasuk Gilang. Namun, satu yang membuat rasa itu salah. Hadir di waktu yang tidak tepat. Dan Gilang merutuki itu. Sialannya kesalahan itu tidak lantas usai di sana, sebab sosok yang Gilang cinta merupakan gadis milik adiknya. Tidak seharusnya Gilang memiliki rasa itu, karena jelas hal tersebut akan menyakiti adiknya. Tapi ternyata Gilang juga tidak bisa mengenyahkan perasaannya begitu saja. Karena nyatanya gadis yang diam-diam Gilang puja memiliki rasa yang serupa dengan miliknya. Membuat Gilang di landa kebingungan hingga bertanya-tanya, haruskah ia menyakiti adiknya? Atau melupakan rasa yang dirinya punya? Tapi, mungkinkah Gilang sanggup melakukannya?

RomansaDewasaPerselingkuhanCinta Pada Pandangan PertamaPengkhianatanKeluargaPernikahanMengandung Diluar NikahCinta Paksa

Bagian satu : Mabuk

Hallo Guys, cerita ini Tentang ketidaksetiaan yang mungkin akan kalian benci. Tapi semoga kalian suka dengan karyaku.

Please, jangan hujat aku dan karyaku. Andai kata kalian memang tak suka dengan apa pun yang berhubungan dengan ketidaksetiaan, di mohon untuk tidak membaca cerita ini, dan cari bacaan yang sekiranya sesuai dengan yang kalian inginkan.

Di sini aku hanya berkarya, tidak berniat menyinggung siapa pun, menjelekkan kaum mana pun. Jadi tolong bijaklah dalam menilai.

Dan tanpa banyak kata lagi ...

Happy Reading !!!

***

Gilang memilih untuk duduk menyendiri di bandingkan harus berbaur dengan keluarganya yang kini tengah asyik bercengkerama setelah acara tukar cincin di langsungkan.

Bukan karena keberadaannya tidak di hiraukan, hanya saja Gilang merasa tak nyaman, terlebih ketika tanya ‘kapan menikah’ di tujukan padanya.

Apalagi sekarang, sang adik telah bertunangan, sementara dirinya belum juga mengenalkan perempuan pada mereka. Semakin saja Gilang terlihat menyedihkan di hadapan keluarganya.

Namun, sebenarnya Gilang tidak begitu peduli. Ia tidak pernah menghiraukan apa yang orang katakan. Tapi ada satu sosok yang membuatnya memilih untuk ke luar.

Ziva Nasturtium Aylin.

Wanita yang diam-diam Gilang sukai sejak pertemuan pertama mereka. Namun tidak mungkin untuknya mengungkapkan perasaan mengingat sang adik adalah pemiliknya.

Mereka baru saja resmi bertunangan dan Gilang merasa dirinya tidak lagi memiliki kesempatan.

Tiga bulan rasa itu Gilang pendam, dan beberapa kali sempat memiliki pemikiran untuk mengungkapkan, tapi selalu Gilang urungkan. Ia terlalu takut mendapat penolakan, mengingat Ziva bukanlah perempuan lajang. Dia kekasih Galen, yang tak lain adalah adik kandungnya sendiri. Namun membayangkan gadis itu akan menjadi iparnya, Gilang tak bisa. Hatinya menolak keras. Tapi sialannya Gilang tak bisa melakukan apa pun.

Satu sisi ia ingin memiliki Ziva, tapi di sisi lain Gilang tak ingin menyakiti adiknya. Galen begitu berharga untuknya. Namun rasanya begitu sulit mengikhlaskan di saat hati benar-benar telah tertawan oleh sang wanita.

Gilang ingin sekali bertindak egois, menyembunyikan Ziva untuk dirinya sendiri. Tapi bukan hanya Galen yang akan terluka, keluarganya pun pastilah kecewa, dan Gilang tidak sanggup melakukan itu. Di tambah ...

Mungkinkah Ziva juga bersedia?

Gilang bukan sosok menyenangkan sebagai mana Galen, meski rupanya tak kalah tampan. Tapi bukan itu yang menjadi kekhawatiran.

Selama ini Gilang berkali-kali pernah pacaran dan semuanya berpaling hanya karena dirinya terlampau serius.

Gilang terlalu pendiam dan tak bisa memahami pasangan. Ketidakpekaannya membuat kekasihnya mencari pengganti yang lebih pengertian, dan Gilang berakhir sendirian.

Gilang tidak pernah keberatan.

Sampai akhirnya ia dipertemukan dengan kekasih adiknya.

Ziva

Wanita itu sukses membuatnya terpesona tanpa sama sekali ada tanda perempuan itu menggoda.

Ziva

Berhasil membuatnya menemukan debaran yang selama ini tidak pernah dirinya punya.

Dan Ziva

Berhasil membuatnya menjadi pecundang yang hanya berani memandang dari kejauhan.

Gilang tak tahu mengapa rasa ini harus dirinya miliki, karena jika boleh Gilang meminta ia ingin perempuan lain saja. Ia tidak ingin milik siapa pun terlebih adiknya.

Namun sialannya, justru Ziva lah yang berhasil membuatnya jatuh cinta. Sepaket dengan luka yang sebenarnya tidak sedikit pun perempuan itu torehkan. Gilang sendiri lah yang membuat luka itu ada dan sudah menjadi resiko jika dia berani menyukai milik adiknya.

Terlalu sesak memikirkan cintanya yang sesat, Gilang memilih menyudahi lamunannya. Ia bangkit dan melangkahkan kaki kembali masuk ke dalam rumah.

Bukan berniat bergabung dengan semua keluarga, Gilang hanya akan pamit dan pergi dari tempat menyesakkan ini.

Gilang tidak ingin semakin menyiksa hatinya dengan berada di rumah yang memperluas intensitas pertemuannya dengan sang pujaan hati yang dirinya tahu tidak akan mungkin menjadi miliknya.

Sebenarnya Gilang tidak tahu ke mana dirinya akan pergi. Ia tidak memiliki tujuan mengingat selama ini waktunya ia habiskan dengan pekerjaan. Tapi di kala patah hati menyerang seperti sekarang Gilang enggan mengurusi pekerjaan. Dan pada akhirnya bar lah yang menjadi tujuan.

Entah mengapa, tapi Gilang merasa bahwa itu adalah tempat yang cocok untuknya saat ini. Gilang perlu mabuk untuk melupakan patah hatinya, meski tahu hal itu tidak akan banyak membantu. Tapi setidaknya, untuk malam ini biarkan Gilang menganggap bahwa apa yang terjadi hanya bagian dari mimpi. Karena besok Gilang janji akan bersikap biasa lagi.

“Aku akan melupakan kamu, Zi,” gumam Gilang seraya kembali meneguk minumannya.

Entah sudah berapa gelas alkohol yang di tegaknya, karena kini Gilang merasakan berat di kepalanya, dan akhirnya ia memutuskan untuk menyudahi, ia masih perlu kesadaran untuk bisa tiba di rumah dengan selamat.

Tapi Gilang tidak segila itu untuk pulang ke rumah orang tuanya dalam keadaan berantakan seperti ini. Maka tempat satu-satunya yang Gilang tuju adalah apartemen. Di sana tidak akan ada siapa pun yang menanyakan keadaannya. Di sana Gilang tidak perlu berpura-pura baik-baik saja. Karena nyatanya di sana dirinya sendiri.

Bukan berarti kedua orang tuanya tidak peduli.

Gilang tidak terlahir dari keluarga berantakan atau minim kasih sayang. Tidak. Gilang justru terlahir dari keluarga yang sempurna. Ayah dan ibunya begitu penuh cinta, begitu pula dengan saudaranya.

Hanya saja, terkadang Gilang memang butuh waktu untuk menyendiri, dan itulah kenapa pada akhirnya Gilang memutuskan membeli apartemen. Gilang butuh tempat yang lebih privasi. Tempat dimana dirinya bisa menyendiri. Dan di saat seperti ini Gilang mensyukuri keputusannya itu. Karena setidaknya ia tidak perlu kebingungan ke mana harus dirinya pulang.

Apartemennya memang tidak besar, tapi Gilang merasa nyaman, apalagi ketika duduk di balkon kamar seperti yang tengah dirinya lakukan sekarang.

Di temani bir kaleng yang sengaja dirinya simpan di kulkas, Gilang melanjutkan acara mabuknya sambil melihat pemandangan kota yang terlihat indah dari ketinggian tempatnya sekarang.

Baru kali ini Gilang merasa begitu berantakan hingga berkaleng-kaleng bir mampu dirinya habiskan dalam waktu beberapa menit saja, padahal biasanya Gilang tidak seperti ini. Ia selalu bisa mengendalikan diri, terlebih tahu jika besok adalah hari sibuk yang mana kerja menjadi tanggung jawabnya.

Sekarang Gilang seakan tidak peduli, Gilang hanya ingin membuat benaknya lupa akan apa yang hari ini terjadi. Tapi sialannya, pertunangan Ziva dan Galen malah menari-nari, seolah mengejek dirinya yang sedang patah hati. Sampai akhirnya umpatan itu Gilang loloskan. Tertuju untuk dirinya sendiri yang tak mampu menerima kenyataan sang pujaan hati tak bisa dirinya miliki.

“Kenapa bukan aku yang bertemu kamu lebih dulu, Zi?” racau Gilang dengan keadaan benar-benar mabuk.

“Kenapa kita harus dipertemukan dalam keadaan seperti ini?” tanyanya pada udara yang jelas tidak akan memberinya jawaban.

“Kenapa harus adikku?”

Karena jika orang lain mungkin Gilang tidak akan semerana ini. Gilang tidak akan jadi pecundang, karena menurutnya sebelum janur kuning melengkung masih ada kesempatan untuk menikung. Tapi karena yang menjadi tunangan sang tercinta adalah adiknya, tega kah Gilang merebutnya?

Menggelengkan kepala, Gilang kembali meneguk sisa minumannya hingga tandas, lalu meremas kaleng bir tersebut hingga tak berbentuk demi melampiaskan sesak di dada. Namun sialannya itu tak berhasil, karena di bandingkan lega, Gilang malah justru semakin di buat tersiksa. Terlebih ketika dirinya tak sengaja membuka pesan di grup keluarga yang berisi potret Ziva dan Galen ketika bertukar cincin.

Rasanya begitu menyesakkan. Tapi Gilang bisa apa? Ia tidak bisa menyalahkan siapa pun untuk sakit hatinya sekarang, karena sejak awal sudah jelas dirinya yang salah telah berani menyukai perempuan milik adiknya.

“Apa aku boleh meminta Tuhan memberiku kesempatan?” tanya Gilang pada layar ponselnya yang menampilkan wajah cantik Ziva. “Aku ingin memilikimu, Zi? Aku ingin berdiri di samping kamu.”

Menggantikan Galen yang telah berhasil menyematkan cincin di jari manis wanita yang dicintainya. Tapi lagi dan lagi tega kah ia menghapus senyum adiknya?

“Aku mencintaimu, Zi. Dan aku tidak tahu bagaimana cara membuang perasaan ini.”

Gilang pernah mencoba, namun ia gagal melakukannya. Perasaannya malah tumbuh semakin dalam, dan kini Gilang semakin kesulitan untuk menyembuhkan patah hatinya.

“Aku harus apa?” tanyanya pada diri sendiri. Lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam kamarnya.

Gilang sudah tidak bisa menahan sakit di kepala, ia butuh membaringkan tubuhnya. Tapi racauannya tidak selesai di sana, karena sambil melihat langit-langit kamar Gilang kembali mengambil suaranya, “Aku harus gimana, Zi?” nadanya begitu lirih dengan tatap sedih. Dan di tengah tipisnya kesadaran, Gilang kembali meraih ponsel yang semula diletakkannya di samping bantal, menekan beberapa angka yang sejak memilikinya sudah Gilang hapalkan di luar kepala.

Menunggu untuk beberapa saat, Gilang yang semula sulit mengukir senyum kini dengan lancarnya menarik kedua sudut bibir ketika akhirnya sebuah suara indah mengalun di pendengarannya.

“Ziva,” nama itu yang pertama kali Gilang lantunkan setelah sekian detik teleponnya tersambung. “Selamat untuk pertunanganmu,” ucap Gilang sambil berusaha menahan sesak di dada.

“Bang Gilang?” dan Gilang tersenyum ketika namanya di gumamkan sosok di seberang.

“Maaf karena tidak mengucapkannya secara langsung,” tadi Gilang langsung pergi setelah pamit kepada orang tuanya, tanpa sama sekali berniat menghampiri sang adik yang tengah bahagia.

Bukan apa-apa, ia hanya merasa tak sanggup melihat langsung kebahagiaan adiknya. Bukan tak suka, tapi jika bukan Ziva wanitanya, Gilang pasti menjadi orang yang paling bahagia karena akhirnya sang adik menyudahi petualangan cintanya.

Tapi, berhubung Ziva dirinya suka, Gilang tak bisa melakukan itu. karena di bandingkan bahagia Gilang justru terluka.

Saking patah hatinya, Gilang sampai tak mengenali dirinya sendiri.

“Bang Gilang? Abang baik-baik aja ‘kan?” nada cemas itu membuat senyum Gilang lagi-lagi terpatri. Tapi secara bersamaan sesak menguasai, hingga tanpa sadar sebuah umpatan Gilang loloskan bersama tangis yang lancang menampakkan diri. Membuat sosok di sebarang bertambah panik. “Abang di mana sekarang? Aku telepon Galen buat jemput Abang, ya?”

Kepalanya tentu saja menggeleng karena bukan Galen yang dirinya inginkan. Melainkan Ziva lah yang Gilang harapkan. Dan bodohnya kalimat itu justru benar-benar mulutnya loloskan. Tidak sampai di sana saja karena kalimat-kalimat konyol lainnya pun ikut Gilang keluarkan. Sampai akhirnya suara Ziva kembali terdengar.

“Abang mabuk?”  tanyanya terdengar memastikan.

Dan Gilang mengangguk.

“Tadi aku pergi. Niatnya mau menenangkan diri, eh malah berakhir mabuk kayak gini,” kekeh Gilang di tengah kesadaran yang nyaris hilang. Tapi dengan jelas Gilang masih dapat mendengar suara Ziva, dan sesekali menanggapinya. Tapi lebih banyak Gilang yang meracau. Sampai akhirnya kalimat itu benar-benar Gilang ucapkan, sebelum kemudian kesadarannya hilang, dan suara Ziva tidak lagi Gilang dengar.

***

Bersambung ...