Bab 6 BEBAN
Gavinka hendak masuk ke kamar Ars yang baru saja memanggilnya lewat telpon, namun Levin malah mencegah tangannya dan membuat Gavinka membulatkan matanya penuh, ia takut sekali jika Levin ada disampingnya, ia merasa tak aman jika Levin ada dihadapannya.
“Lepaskan aku!” Gavinka mencoba melepaskan diri, namun Levin makin mempererat genggaman tangannya.
Levin menarik paksa Gavinka dan membawanya masuk ke kamarnya. Levin menatap wajah Gavinka penuh marah, dan mata segelap malam itu membuat Gavinka bergidik ngeri.
“Aku sudah bilang padamu, jangan hanya menjadi pelayan Ars, tapi juga menjadi pelayanku,” kata Levin.
“Aku bukan pelayanmu, Tuan Muda Levin, aku hanya ditugaskan menjadi pelayan Ars.”
“Mau ku adukan pada Laure?”
“Adukan saja,” jawab Gavinka menundukkan kepala agar tak sampai beradu tatapan dengan lelaki yang selalu semena-mena padanya.
“Sepertinya kau sudah tak takut lagi kehilangan pekerjaan ini, apa karena Ars menyukaimu?”
“Sudahlah. Aku mau pergi,” kata Gavinka, hendak melangkah meninggalkan kamar Levin, namun Levin malah menggenggam erat tangannya, dan membalikkan tubuhnya. Levin menghambur mencium dan memagut bibir Gavinka terus memaksa dengan cara memagut sendiri tanpa ada balasan. “Lepaskan aku!”
Levin terus melakukannya, ia tak pernah mau mendengarkan apa yang dikatakan Gavinka, membuat Gavinka makin takut pada sosok Levin yang sudah mengambil keperawanannya.
“Aku mohon hemphh lepaskan aku,” lirih Gavinka, membuat Levin terus menyusuri bagian lehernya, Gavinka bergegas memukul junior Levin menggunakan lututnya, Levin melupakan satu hal, jika dengan berdiri, Gavinka pasti akan bisa melawannya. Levin kesakitan dan meringis menggenggam juniornya, terpaksa melepaskan diri dari pagutannya pada Gavinka.
“Apa kamu sudah gila? Kenapa selalu menggangguku? Aku bukan istrimu, dan aku bukan orang yang bisa kau perintah begitu saja! Ya perempuan manapun mungkin dengan rela memberikan hidupnya padamu, bahkan mereka siap meninggalkan segalanya demi dirimu, namun aku bukan perempuan yang bisa menerima perlakuanmu ini.” Gavinka menunjuk Levin dan melangkah keluar kamar.
Levin begitu geram, namun rasa sakit masih menguasainya, ia tidak bisa menyusul Gavinka saat ini, karena rasa sakit yang ia rasakan.
“Aku akan membuatmu menjadi milikku, lihat saja!” gumam Levin, lalu berbaring diatas ranjang.
“Dasar pria gila!” gumam Gavinka mengelus dadanya ketika sudah jauh dari kamar Levin.
“Siapa yang gila, Gavinka?” tanya Naen, membuat Gavinka terkejut, hampir saja ia melompat karena keterkejutannya pada Naen yang entah datang darimana.
“Tidak ada yang gila!” jawab Gavinka, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Aku tadi jelas mendengarmu mengumpat seseorang. Siapa yang gila?” tanya Naen, lagi, membuat Gavinka menggelengkan kepala dan melintasi asisten Laure.
Gavinka berjalan menuruni tangga belakang yang sering digunakan para maid untuk naik ke lantai atas, Gavinka tak menyangka diperlakukan tak adil oleh Levin, yang selalu menginginkan tubuhnya. Karena ia sudah mengurusi Ars, saatnya Gavinka beristirahat.
Gavinka masuk ke kamar dan membaringkan tubuhnya diatas ranjang mininya. Ia masih sangat tak menyangka dan tak percaya harus terjebak oleh Tuan Muda Levin, Tuan Muda yang hanya menyukai tubuhnya. Suara ponselnya terdengar, membuat Gavinka menoleh dan melihat nama ayahnya Rehold. Gavinka terkejut dan langsun mengangkatnya, karena ia tahun terjadi apa-apa pada adiknya—Gaston.
‘Dad?’
‘Nak, bagaimana ini?'
‘Ada apa, Dad? Gaston baik-baik saja, ‘kan? Gelina? Guhan? Dad? Baik-baik saja?’ Pertanyaan terus terlontar dari mulut Gavinka, ia takut keluarganya tak baik-baik saja.
‘Biaya perawatan Gaston harus di bayar besok sore, mereka tak bisa lagi memberikan keringanan pada Gaston, Nak, bagaimana ini? Apa Dad jual saja rumah kita?’ tanya Rehold, membuat Gavinka membulatkan matanya penuh. ‘Jika kita tak membayar besok, terpaksa Gaston tak akan melakukan perawatan lagi, Nak.’
Gavinka terdiam, ia tak mungkin meminta gajinya sedangkan ia bekerja baru seminggu, ia tidak mungkin meminta kasbon, dan gajinya pun tak akan cukup untuk membiayai rumah sakit Gaston, kecuali Gavinka mengumpul selama 7 bulan gajinya, baru ia bisa membayar biaya rumah sakit Gaston.
‘Nak, kamu dengar, ‘kan? Apa Dad jual saja rumah kita?’
‘Jangan, Dad, kalau Dad jual, kita mau tinggal dimana lagi?’
‘Tapi, Nak, bagaimana dengan Gaston? Merawatnya di rumah saja tidak mungkin.’
‘Coba aku minta kasbon dulu pada bosku.’
‘Batasnya hanya sampai sore besok, Nak.’
‘Iya, Dad. Aku akan menghubungi Daddy lagi.’
‘Baiklah. Dad tunggu, Dad sudah gajian, namun dari biaya rumah sakit, Dad hanya bisa membayar 3%, itu pun sudah semua gaji Dad. Kamu tahu Guhan kan sedang sekolah.’
Gavinka menghela napas panjang. ‘Baiklah, Dad.’
‘Ya sudah. Akan aku hubungi jika aku sudah mendapatkan uang.’
Gavinka mengakhiri telponnya, dan menghela napas panjang, segeralah ia bangun dari tidurnya dan berpikir kemana ia akan mendapatkan uang. Gavinka lalu beranjak dan keluar dari kamarnya, ia memiliki cara untuk meminta tolong kepada Laure. Gavinka menyusuri kamar maid yang kini berjejer dan berhadapan, ia segera menemui Laure yang tengah didapur memberitahukan para koki apa yang akan menjadi menu untuk makan malam.
“Nyonya, apa saya bisa bertanya?” tanya Gavinka pada Laure.
Laure menoleh melihat Gavinka, lalu kembali memerintahkan kepada para koki yang kini sedang bekerja.
“Apa yang ingin kamu tanyakan, Gavinka?” tanya Laure.
Gavinka menoleh sesaat menatap para maid yang kini sedang menunggu apa yang ingin Gavinka katakan, namun Laure mengerti dan menarik Gavinka ketempat dimana tak ada seorang pun yang bisa mendengarkan perkataan Gavinka.
“Apa yang ingin kamu tanyakan?” tanya Laure.
“Nyonya, saya—“
“Ada apa?”
“Ada yang ingin saya tanyakan, apakah saya bisa meminta gaji saya setengah?”
“Kamu baru bekerja seminggu di sini, dan kamu meminta gajimu? Memangnya untuk apa?”
“Adik saya sedang di rawat di rumah sakit, dan saya membutuhkan uang untuk biaya rumah sakitnya.” Gavinka menundukkan kepala, hanya itu yang bisa ia lakukan, kepada siapa lagi ia akan meminta tolong jika bukan pada Laure, sang kepala maid di mansion ini, dimana semua yang ada di mansion ini ia yang memegang kendali.
“Wah. Saya tidak bisa membantumu, Gavinka, Nyonya akan memberikanku uang jika sudah pertengahan bulan, dan ini baru seminggu, jadi saya belum mendapatkan uang dari Nyonya. Memakai uang pribadi saya, tidak mungkin, karena saya sudah mengirim uang saya kepada keluarga saya.”
Gavinka menganggukkan kepala. Ia mengerti, ia tidak mungkin meminta tolong kepada Laure jika Laure bilang tidak bisa.
“Baiklah, Nyonya,” jawab Gavinka, lalu menganggukkan kepala.
“Maaf, ya, Gavinka, saya tidak bisa menolongmu.”
“Tidak apa-apa, Nyonya,” jawab Gavinka.
“Kalau Nyonya memberikan uangnya kepada saya, saya akan langsung memberikan gajimu, meski belum waktunya,” kata Laure, membuat Gavinka mendongak dengan mata berbinar.
Gavinka mengambil tangan Laure. “Terima kasih, Nyonya, saya sangat berterima kasih.”
“Baiklah. Saya harus kembali bekerja. Bagaimana pekerjaanmu?”
“Sudah selesai, Nyonya,” jawab Gavinka.
“Gavinka, kamu di sini? Tuan Muda Ars memanggilmu,” kata salah satu maid, yang membuat Gavinka dan Laure saling bertukar pandangan.
“Bajklah. Saya akan ke sana,” jawab Gavinka, menganggukkan kepala.
“Ya sudah. Kamu bisa ke sana,” kata Laure.
Gavinka lalu melangkah meninggalkan Laure. Ia segera menemui Ars, ia tak mungkin meminta tolong pada Ars, ia tidak mau pertemanannya dengan Ars ada kesalahpahaman.
Ia harus tersenyum meski kepalanya dipenuhi dengan adiknya, ia tidak tahu mendapatkan uang darimana lagi. Dan, itu mengecewakan dirinya dan keluarganya.
.
.
Bersambung❤️
