Bab 5 Takdir Tak Bisa di Ubah
“Jangan menggangguku. Aku mohon,” pintah Gavinka.
“Namun tubuhmu terlalu menggoda jika aku terus mengabaikannya, bahkan tubuhmu mengejekku,” bisik Levin membuat Gavinka bergidik tak percaya.
Gavinka bergeser, agar tak sampai membuat Levin menariknya ke kamar dan kembali melakukan aksinya yang akan membuat dibawah sana makin sakit.
“Jangan takut. Aku sedang banyak kerjaan hari ini, aku hanya minta kamu minum obat itu, agar kamu tak menjadi bisik-bisik orang,” kata Levin. “Bye.” Levin lalu berjalan menuju lift khusus yang akan membawanya kelantai bawah.
Sepeninggalan Levin, Gavinka menghela napas panjang, ia tak menyangka bisa berurusan dengan Levin, yang tak bisa ia lawan meski ia mengerahkan seluruh tenaganya. Levin terlalu kuat menjadi lawannya.
Gavinka menghampiri kamar Ars dan mengetuknya. Seperti biasa … Ars tidak akan menyahutinya, dan Gavinka memutari gagang pintu, memperlihatkan Ars yang tengah mencari sesuatu di dalam laci nakas. Ars memiliki kursi roda yang bisa membawanya kemanapun, kendali yang ada disamping kiri bisa mengendalikan kursi roda Ars.
“Kamu cari apa, Ars?” tanya Gavinka menaruh sarapan diatas meja.
“Aku sedang mencari ponsel lamaku,” jawab Ars, masih terus mencari ponselnya di laci nakas.
“Aku akan bantu mencarikannya,” kata Gavinka.
“Nggak usah. Aku akan mencarinya sendiri nanti,” jawab Ars, lalu mengendalikan kursi rodanya menuju meja dimana sarapan sudah tersaji di sana.
“Ini juga obatmu yang sudah disediakan Nyonya Laure untukmu.”
“Wah. Aku sampai lupa hari ini ternyata jadwalku minum obat ini,” kata Ars.
Gavinka duduk di sofa, dan mengambilkan sepiring roti bakar yang sudah dipersiapkan Laure untuk majikannya, untuk anak majikannya yang sedang sakit.
“Nah makanlah,” kata Gavinka.
“Baiklah. Terima kasih,” jawab Ars.
“Kenapa setiap pagi kamu sarapan roti bakar? Kenapa bukan makanan-makanan berat?”
“Lambungku tak bisa memproduksi makanan terlalu berat setiap pagi,” jawab Ars. “Aku disarankan makan roti saja.”
“Kenapa kamu seperti ini?” tanya Gavinka, membuat Ars terdiam dan menundukkan kepala. Ia takut jika harus terluka lagi jika mengingat mengapa ia bisa berakhir seperti ini, mengapa ia harus ada dikursi roda selamanya, ia tak ingin mengingatnya. “Aku minta maaf, Ars, kamu tidak perlu menjawabnya jika itu melukai hatimu.”
“Aku akan menceritakannya nanti jika sudah siap berbagi,” jawab Ars, membuat Gavinka menganggukkan kepala, Ars memperlakukannya dengan baik, dan Ars terus berbuat baik membuat Gavinka lama kelamaan menjadi lebih nyaman disamping Ars, sedangkan kenyamanannya didekat Ars harus diganggu oleh Levin.
“Kemana kedua orangtuamu? Aku tidak pernah melihat mereka,” tanya Gavinka.
“Ayah dan ibuku selalu keluar negeri untuk mengurus pekerjaan, mungkin akan pulang malam nanti,” jawab Ars. Kedua orangtuanya pun sibuk dengan pekerjaan yang bisa membuat Ars terluka batinnya karena tak ada yang menemaninya, Levin pun terkadang lebih sibuk dari biasanya. “Apa kamu tahu mengapa sesakit ini rasanya meski hanya kaki yang tak bisa berjalan?”
“Sesakit bagaimana?”
“Aku merasa lebih sakit ketika tak ada yang perduli padaku,” jawab Ars, membuat Gavinka menatap lelaki tampan itu, lelaki yang selalu memberikannya kenyamanan meski terkadang untuk melindunginya Ars tak bisa.
“Ars, terkadang apa yang kamu rasakan tak seperti itu kejadiannya, mereka perduli padamu, namun kesibukan membuat mereka lupa bahwa ada kamu yang menunggu,” kata Gavinka. “Kamu yang seperti ini memang terluka, namun keluargamu lebih terluka lagi.”
Ars menundukkan kepala.
“Seperti sosok tokoh Aliand, dia bisa melawan segalanya, sepi dan sakit yang datang bersamaan,” sambung Gavinka, membuat Ars mengangguk. “Aku ada di sini. Aku akan menemanimu dan menjadi temanmu.”
“Gav, terima kasih,” ucap Ars.
“Sama-sama. Kamu tidak usah berterima kasih padaku, anggap saja aku melakukan ini karena sebagian dari tugasku menjadi pelayanmu,” jawab Gavinka, membuat Ars tersenyum. Semenjak kehadiran Gavinka di mansion ini, Ars lebih semangat menjalani hari, lebih semangat dari sebelumnya, kebersamaan yang ia habiskan dengan Gavinka membuat lelaki itu malah menaruh hati pada Gavinka, perempuan sederhana dan kuat dimatanya, mampu menggantikan Quenza dihatinya.
“Kamu sudah punya pacar?” tanya Ars, membuat Gavinka mendongak.
“Belum,” jawab Gavinka.
“Wah. Wanita secantik kamu, belum punya pacar?”
Gavinka menggelengkan kepala, dan mengatakan, “Aku cantik? Kamu salah.” Gavinka menggelengkan kepala mendengar pujian Ars yang terdengar menghina ditelinganya, begitulah Gavinka yang menjalani hidup, hidup yang terkadang tak sesuai keinginannya.
“Benar. Kamu cantik, bahkan lebih cantik dari siapa pun,” jawab Ars, memperjelas, membuat Gavinka merasakan rona pipinya. Gavinka senang dipuji oleh Ars, bahkan tawa mereka sesekali memenuhi kamar mewah ini. Semuanya berjalan dan mengalir begitu saja, bahkan dengan perasaan mereka saat ini.
“Jangan terus memujiku, Ars, aku tak sebaik dan secantik dimatamu,” kata Gavinka. “Kamu harus sarapan, jangan terus memandangku.”
Ars tertawa kecil dan menikmati roti bakar yang diberikan Gavinka untuknya.
***
“Bagaimana kabarmu, Nak?” tanya seorang perempuan tua yang terlihat masih cantik, Renata—Ibu kandung Levin dan Ars. Sampai di mansion, Renata langsung ke kamar Ars dan menengok keadaan putra bungsunya.
“Aku baik, Mom, bahkan lebih baik dari sebelumnya,” jawab Ars, membuat alis Renata saling bertaut. Ia tak pernah melihat putranya tersenyum bahagia seperti itu, biasanya Ars akan merutuki dirinya, sedangkan Renata melihat perubahan sikap Ars yang menunjukkan kestabilan dalam diri putra bungsunya itu.
“Apakah sesuatu yang menarik terjadi?” tanya Renata, mengelus punggung Ars.
“Hem. Aku memiliki teman baru,” jawab Ars, manja pada Renata.
“Teman baru? Siapakah dia?” tanya Renata penasaran. “Apakah Mom bisa mengetahui siapa teman barumu yang membuat wajahmu berseri-seri. Apakah dia seorang wanita?”
Ars menganggukkan kepala.
“Wah. Siapa dia? Kenalkan pada Mommy,” seru Renata, menatap wajah rona putranya.
“Dia salah satu maid di mansion ini, Mom, dia baru bekerja seminggu,” jawab Ars.
“Maid? Siapa namanya?”
“Gavinka, Mom, dia baik sekali pada Ars, bahkan kami mengobrol banyak.”
“Wah. Jadi, Gavinka yang membuatmu lebih baik?”
Ars menganggukkan kepala, sikapnya memang lebih baik dari sebelumnya, bahkan ia tak pernah lagi mengamuk dan meminta keadilan Tuhan, semenjak kehadiran Gavinka, semua hal yang pernah Ars lakukan tidak pernah lagi ia lakukan.
“Mom akan berterima kasih pada Gavinka nanti,” kata Renata, tidak mempermasalahkan tentang Gavinka yang hanya bekerja sebagai seorang maid, melihat Ars lebih baik, itu sudah cukup membuat Renata bahagia.
“Mom jangan melarangku berteman dengan Gavinka,” kata Ars.
“Tidak mungkin, Sayang, Mom malah akan menyuruhnya disampingmu terus menerus, dan menjadi teman yang baik. Agar kamu ada teman cerita.”
“Gavinka suka baca novel, Mom,” seru Ars.
“Wah. Sama dengan kamu. Kamu juga suka baca novel,” seru Renata mendengarkan cerita putra bungsungnya.
Ars menganggukkan kepala.
“Baiklah. Mommy akan kembali nanti ya, Mommy harus mengganti baju dan membersihkan tubuh,” kata Renata, membuat Ars menganggukkan kepala.
“Dad mana?”
“Ayahmu mampir ke kantor karena harus mengurus sesuatu,” jawab Renata. “Dia akan kembali nanti.”
“Baiklah, Mom,” jawab Ars.
“Karena anak mommy sudah memiliki teman yang baik, anak mommy ini harus rajin minum obat dan harus yakin kamu bisa jalan lagi nanti, jangan pernah putus asa dengan kehidupan yang kamu jalani saat ini, karena kamu memiliki keluarga yang perduli dan menyayangimu,” kata Renata, membelai rambut putranya. “Mommy akan sangat bahagia jika kamu tidak lagi mempermasalahkan apa yang Tuhan takdirkan.”
Ars hanya mengangguk.
“Kata Gavinka … sikap masih bisa dirubah, namun takdir tak akan pernah bisa di ubah,” sambung Ars.
“Dengarkan apa yang Gavinka katakan, dia benar sepenuhnya.” Renata mengecup puncak kepala putra bungsunya yang kini masih duduk dikursi roda. “Mommy akan menyuruh Levin memindahkanmu ke ranjang.”
