
Ringkasan
Hidup Gavinka harus penuh dengan masalah ketika Gaston masuk ke rumah sakit, dan Gavinka harus bekerja di sebuah mansion keluarga Maxeil.Hidup yang harus ia jalani, berat , namun di saat itu lah hatinya terbuka.
Bab 1 Prolog
Gavinka Allerd seorang gadis biasa berusia 22 tahun yang memiliki banyak beban hidup, salah satunya harus menjadi tulang punggung keluarga. Ia harus mengubur impiannya menjadi staf di perusahaan besar andaikan saja waktu itu ia melanjutkan kuliah, andai saja adiknya tak sakit keras, semua itu bisa ia gapai dengan mudah, apalagi kepintarannya di atas rata-rata. Gavinka pasti akan mendapatkan beasiswa melanjutkan kuliah setinggi langit andaikan saja ia berasal dari keluarga kaya raya.
Gavinka memiliki tiga adik, anak pertama dirinya, anak kedua Gaston Allerd usia 15 tahun, anak ketiga Guhan Allerd usia 13 tahun, dan anak terakhir Gilena Allerd berusia 9 tahun. Gaston lah yang kini mengidap penyakit mematikan, ia mengidap penyakit kanker hati. Andai saja itu tidak terjadi Gavinka pasti akan menjadi kebanggaan keluarga dengan kepintarannya.
Rehold Allerd—Sang Ayah yang kini hidup sendirian ditinggal istrinya yang entah kemana. Rehold adalah Ayah sekaligus Ibu mereka, yang kini menjadi satu-satunya tempatnya dan adik-adiknya menangis. Ia harus berbuat apa andai hidup ini keras. Gavinka harus mengalah demi adik-adiknya yang kini masih sekolah. Kuliahnya harus berhenti demi menafkahi semuanya. Ayahnya sudah terlalu tua dan pekerjaannya tidak akan bisa membayar biaya rumah sakit Gaston—Sang Adik. Rehold bekerja sebagai jasa cuci mobil panggilan.
Gavinka menghela napas, ia harus mendapatkan uang darimana, ia tak mungkin menjual dirinya. Ia tidak mungkin menyerahkan dirinya kepada lelaki yang hanya akan menikmati tubuhnya dan membuangnya.
Gavinka kini duduk di taman belakang rumah sakit, ia berjaga setiap pagi. Akan di lanjutkan Guhan menjaga Gaston, dan Gavinka pulang ke rumah menjaga Gilena. Semua ini menjenuhkan, namun apalagi yang bisa dilakukan Gavinka selain menjalani kehidupan ini, banyak impian yang harus ia kubur, andai saja ia melanjutkan kuliahnya sampai akhir itu akan mengangkat derajat ayahnya yang selalu menjadi nyinyiran keluarga.
Suara deheman membuat Gavinka mendongak. Ya dia lah penyemangatnya—Temmy—sahabat serta lelaki satu-satunya yang terus berada disampingnya dan memberikannya kekuatan lewat tepukannya. Temmy selalu menyempatkan hadir di rumah sakit ini hanya demi menengok kondisi Gaston dan dirinya yang kini banyak pikiran.
"Kamu kenapa di sini? Aku dari bertemu Gaston, dan dia masih tidur," kata Temmy, duduk disamping Gavinka, mengelus rambut sahabatnya.
"Dan ... apa yang kamu lakukan di sini? Harusnya kamu kerja, bukan kemari, Tem," sergah Gavinka memperbaiki cara duduknya dan bersandar di kepala kursi besi yang disiapkan rumah sakit untuk para pasien dan pengunjung jika butuh kesejukan juga udara bebas.
"Aku kemari karena senggang, Gav, jangan menghakimiku," jawab Temmy.
"Ya. Baiklah. Aku tidak mau kau menjadi sibuk karenaku, aku sudah katakan kemari saja jika memang senggang."
"Aku memang sedang senggang, Gav. Sudahlah jangan bahas itu. Kamu kenapa di sini? Dan, apa yang sedang kamu pikirkan? Sulitkah itu?" tanya Temmy, menepuk pundak sahabatnya. Meski tak ada sahabat diantara pria dan wanita, namun itulah yang terjadi pada Gavinka dan Temmy, mereka sudah lama berteman, hampir 7 tahun mereka bersama, ketika mereka sama-sama meniti sekolah di sekolah menengah atas.
"Aku sedang memikirkan dimana mendapatkan pekerjaan, Tem," jawab Gavinka.
"Pekerjaan?"
"Hem."
"Aku akan coba menanyakan kepada bossku tentang lowongan pekerjaan."
"Tidak perlu. Aku tahu perusahaan tempatmu bekerja, mereka membutuhkan seseorang yang lulus sarjana, sedangkan aku tidak. Tidak perlu, Tem," kata Gavinka, membuat Temmy tersenyum.
"Bukankah kamu membutuhkan pekerjaan? Apakah tak sarjana salah?" tanya Temmy.
"Tidak salah, Tem, hanya saja—"
"Lagian kamu pintar," sergah Temmy.
"Pintar saja tidak cukup, Tem, kita harus memiliki sekolah yang tinggi."
"Lalu?" tanya Temmy. "Kamu mau seperti ini terus?"
"Aku—"
Suara ponsel Gavinka terdengar di saku celananya, ia pun bergegas mengambil ponselnya karena itu pasti perawat jaga yang menjaga Gaston. Namun dilayar ponselnya terdapat nama—Natasya—teman kuliah.
"Siapa?" tanya Temmy.
"Nata," jawab Gavinka.
"Nata?"
"Natasya, teman kuliahku," jawab Gavinka. "Aku angkat telpon dia dulu."
Gavinka menghela napas panjang. Memperbaiki suaranya, ia takut jika Natasya mau memberitahunya tentang jadwal kuliah.
"Helo, Nata," jawab Gavinka, memegang gagang ponselnya dan menaruhnya ditelinga.
"Helo, Gav, kamu dimana?" tanya Natasya.
"Aku di rumah sakit," jawab Gavinka.
"Benar kamu meminta cuti?"
"Benar. Memangnya ada apa?"
"Kenapa tidak memberitahuku?"
"Aku minta maaf, Nat, aku tidak memiliki waktu untuk memberitahumu, karena kamu sibuk mengerjakan tugas-tugasmu."
"Apa yang penting dari tugas-tugasku? Kita harus ketemu, aku mau mendengar penjelasanmu, kebetulan pagi ini jadwal kuliah tidak ada. Jadi aku akan ke rumah sakit dan menemuimu," seru Natasya diseberang telpon dan langsung mengakhiri telpon tanpa memberi kesempatan pada Gavinka untuk berbicara.
"Nata mau ke sini," kata Gavinka, pada Temmy yang kini penasaran apa yang dibicarakan Nata dan Gavinka.
"Baiklah. Kamu bisa tunggu dia di sini, aku akan menjaga Gaston di dalam," kata Temmy.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Ya ampun, Gav, jangan menganggapku seperti orang lain," kata Temmy. "Aku pergi dulu." Temmy berjalan meninggalkannya.
***
"Jadi ... benar kamu cuti?" tanya Nata dengan mata yang membulat dan mulut yang menganga ketika mendengar penjelasan Gavinka.
"Hem. Benar."
"Tapi kenapa? Kamu 'kan pintar, Gav, sayang banget donk kalau kamu berhenti kuliah, disaat semester-semester akhir seperti ini. Kamu sendiri yang mengatakan bahwa kamu ingin membuat adik-adikmu dan ayahmu bangga, lalu apa ini?"
"Aku terpaksa melakukan ini, Nat, aku harus kerja dan fokus mencari uang. Kamu tahu 'kan tanggung jawab yang sedang aku hadapi, jadi kamu pasti mengerti mengapa aku cuti kuliah dan memilih jalan ini," jawab Gavinka, ia pun tak menerima ini, namun apalagi yang bisa ia lakukan. Keluarganya menggantungkan harapan padanya.
"Baiklah. Lalu sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanya Natasya.
"Aku akan mencari pekerjaan," jawab Gavinka.
"Pekerjaan? Pekerjaan seperti apa?"
"Seperti apa saja, asalkan pekerjaan yang bisa memberi upah yang sesuai dengan apa yang aku kerjakan."
"Baiklah. Aku akan coba menghubungi teman ibuku, siapatahu dia ada pekerjaan untuk kamu."
Gavinka menoleh dan berbinar. "Benarkah?"
"Benar. Aku coba hubungi sekarang," kata Natasya, mendial nomor seseorang di ponselnya. "Sebentar, ya."
Gavinka lalu menunggu kabar dari Natasya yang kini sedang menelpon seseorang. Sesaat kemudian setelah selesai menelpon, Natasya kembali duduk disamping Gavinka yang menunggu kabar darinya. Natasya menghela napas panjang.
"Aku sudah menelpon teman ibuku," kata Natasya.
"Lalu? Apa ada pekerjaan untukku?"
"Ada sih. Tapi—"
"Tapi apa, Nat? Aku akan kerja apa pun itu," sergah Gavinka dengan mata berbinar.
"Ada satu pekerjaan. Namun, hanya sebagai maid di rumah Tuan Maxeil," jawab Natasya."Kamu tidak mungkin bekerja sebagai maid, apalagi harus meninggalkan Gaston yang sedang sakit, karena syarat bekerja di sana, kamu harus tinggal, namun semua kebutuhan ditanggung. Kamu menerima gaji bersih tanpa ada potongan. Kamu hanya harus menemui Nyonya Laure, yang bekerja sebagai kepala maid, kebetulan dia teman dari teman ibuku."
Gavinka sejenak berpikir, bukan saatnya memilih pekerjaan, ia harus bekerja dan mendapatkan uang, Gavinka takut biaya rumah sakit yang ia deposit akan melebihi apa yang ia bayangkan. Sebelum itu terjadi, Gavinka harus bekerja.
"Bagaimana? Apa aku tolak saja?" tanya Natasya.
Natasya juga ibah pada kehidupan Gavinka saat ini, sebagai teman apa yang bisa ia lakukan selain membantu teman yang kesusahan.
"Baiklah. Aku mau," jawab Gavinka. "Kapan aku berangkat?"
"Serius?"
"Serius. Bukan saatnya memilih pekerjaan. Aku harus cepat bekerja sebelum biaya rumah sakit jauh dari apa yang aku bayangkan."
Tbc.
