Bab 4 Lepaskan, Tuan Muda.
Gavinka mengetuk pintu Levin, dan membuka pintu itu dengan pelan, Gavinka masuk dan melihat Levin tengah duduk disofa dekat dinding kaca yang memperlihatkan hamparan perkebunan yang luas, Gavinka menaruh nampan itu di atas meja, dan menyuguhkannya pada Levin yang tengah menatap wajahnya.
“Ini, Tuan Muda, silahkan,” kata Gavinka, duduk berlutut memperlihatkan lekukan didalam sana karena Gavinka mengenakan rok pendek, membuat Levin disergah gairah secepat kilat, namun ia masih berusaha tak tergoda atau apa pun semacamnya. “Kalau begitu saya permisi.” Gavinka hendak melangkah meninggalkan Levin.
“Apa yang kau katakan kepada saudaraku?” tanya Levin, membuat langkah kaki Gavinka terhenti dan berbalik menatap Levin yang kini menatapnya. “Apa yang kau katakan padanya sehingga dia nyaman terhadapmu?”
“Saya tidak mengatakan apa-apa, Tuan, hanya kami memiliki hobby yang sama, jadi obrolan kami mengalir begitu saja,” jawab Gavinka.
“Kamu mau merayu saudaraku?” tanya Levin lagi dengan seringai mengerikan.
“Merayu? Saya tidak mungkin melakukannya,” jawab Gavinka.
“Ars tidak mudah diluluhkan oleh siapa pun, dan baru kamu yang ia ajak bicara, apa itu juga termaksud rencanamu?” tanya Levin, menatap wajah Gavinka yang penuh tanya apa maksud tuannya mengatakan itu.
Levin beranjak dari duduknya menghampiri Gavinka yang kini berdiri tegap ditempatnya. Ketika melihat Levin semakin dekat, Gavinka berjalan mundur dan terjebak nakas dibelakang sana.
“Apa yang akan Anda lakukan?” tanya Gavinka, masih ramah.
“Kamu sudah berani merayu saudaraku, coba perhatikan baik-baik apa yang akan aku lakukan,” kata Levin kini berada di hadapan Gavinka, wajah mereka hanya beberapa centi saja. Hembusan napas Gavinka begitu terasa di indera penciuman Levin. Gavinka begitu wangi membuat Levin terpana seketika namun cepat sadarkan diri. Bahwa Gavinka bukan perempuan yang pantas untuk membuatnya terlena dan terpana.
“Apa yang Anda lakukan? Saya tidak merayu adik Anda, namun perbincangan kami mengalir begitu saja,” kata Gavinka mencoba meloloskan diri.
“Kamu maid baru di sini?” tanya Levin.
“Ya. Saya baru bekerja di sini hari ini,” jawab Gavinka.
Levin memgangukkan kepala, dan menumpuh kedua tangannya di atas meja nakas, mengunci tubuh Gavinka yang kini diserang dengan tatapan Levin yang penuh nafsu.
“Bagus. Aku akan memberimu uang jika kau mau menjadi pelayan dan pelacurku,” bisik Levin, membuat Gavinka tak sadar menampar Levin dengan tangannya. Gavinka membulatkan matanya penuh ketika tanpa sadar telah melakukan hal yang tak biasa ia lakukan. Namun, sikap Levin menyinggung perasaanya.
“Kau berani menamparku?” tanya Levin, menggenggam dua tangan Gavinka dengan cepat, membuat Gavinka makin tak bisa bergerak. Levin begitu menginginkan Gavinka sekarang, meski ia baru pertama kali bertemu Gavinka. Tak ada maid yang seseksi Gavinka, hal itu membuat Levin menjadi lebih brengsek.
Gavinka meludahi wajah Levin, namun tak membuat Levin tak mengendalikan dirinya, dan melempar tubuh Gavinka diatas ranjang, menindih perempuan itu yang kini bergerak gelisah, Gavinka sudah membaut nafsunya bangkit dan itu tak bisa di tahan lagi.
“Apa yang akan Tuan lakukan, mohon lepaskan aku!” pintah Gavinka makin bergerak semaunya.
Levin menumpu kedua tangan Gavinka dengan kedua tangannya, dan menjepit paha Gavinka dengan lututnya, Levin benar-benar brengsek.
“Aku mohon lepaskan aku!” pintah Gavinka namun tak membuat Levin menghentikan aksinya.
“Aku akan memberimu uang dan segalanya, jika kau memuaskanku hari ini,” pintah Levin.
“Kau brengsek! Bajingan!” teriak Gavinka, untungnya kamar Levin sudah terkunci dan kamar di mansion ini kedap suara jadi tak akan ada yang mendengar raungan Gavinka. “Tolong!”
“Semaumu berteriak, tak akan ada yang mendengarmu meski pita suaramu rusak!” kata Levin.
“Apa yang Anda lakukan? Apa? Kenapa melakukan ini padaku? Ha?” Gavinka terus meludahi Levin, namun Levin terus membuka baju Gavinka, meninggalkan bra berwarna coklat susu yang senada dengan CD miliknya, Gavinka begitu malu dan terus bergerak gelisah, namun tak ada yang bisa ia lakukan ketika Levin mengikat tangannya dengan seprei putih, lalu kakinya ditahan oleh kedua lutut Levin, apalah dayanya yang hanya seorang perempuan yang memiliki keterbatasan tenaga, ia tak bisa melawan perlakuan Levin saat ini.
“Aku mohon lepaskan aku! Aku akan melakukan apa pun, asalkan jangan berbuat seperti ini,” pintah Gavinka, membuat Levin menyeringai mengerikan. “Aku … aku masih perawan, aku akan memberikan tubuhku pada lelaki yang akan menikahiku, jadi jangan pernah melakukan ini. Aku mohon.” Gavinka terus memohon namun tak pernah membuat Levin ibah padanya, Levin masih terus menenggelamkan wajahnya di dua gundukan milik Gavinka, yang terus bergerak gelisah, dan terus berusaha melepaskan diri, meski usahanya sia-sia.
Levin terus mencumbu Gavinka, ia pun merasa gila ketika harus tergoda dengan tubuh perempuan yang kini berbaring dibawah tindihannya, Levin tak pernah menyangka bisa berbuat seperti ini, bahkan ia tak pernah membayangkan bagaimana jadinya nanti ketika ia terus melihat Gavinka.
“Lepaskan aku! Tolong!” teriak Gavinka, membuat Levin semakin kalap, dan sesekali mendesah tak karuan, Gavinka berusaha tak terjebak apa pun, ia biarkan Levin menjamah tubuhnya tanpa perlawanan darinya atau wajah yang sudah berpeluh menikmati.
***
Beberapa hari telah berlalu, Gavinka terus meringis sakit, V miliknya terus berkedut karena perih yang tak bisa ia tahan, bahkan ketika ia berjalan, ia terus merapatkan pahanya, entah bagaimana bisa menyembunyikan ketidak berdayaannya pada semua orang yang melihatnya. Ia tak mungkin memberitahukan kepada maid lainnya bahwa ia habis bercinta dengan Levin dan meninggalkan bekas kissmark dilehernya.
“Gav, apa yang ada dilehermu itu?” tanya Naen, membuat Gavinka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Di perkosa brengsek dan bajingan. Gavinka membatin.
“Aku tadi salah cakar, pas menggaruk,,” jawab Gavinka, berbohong, meski sebagian maid sudah mengetahui bekas merah apa dilehernya.
“Sudah. Jangan bercerita, kalian berpencar untuk bekerja,” kata Laure, ketika mendapati para maid yang bekerja dibawahnya sedang mengobrol. “Dan seperti biasa, Gavinka membawa sarapan juga teh untuk Tuan Muda Ars,” sambung Laure.
Gavinka tak tahan jika terus diperlakukan tak adil oleh Levin, lelaki itu sudah merebut keperawanannya dan meninggalkan bekas luka dibawah sana. Gavinka merasa mati ketika masuk ke kamar Levin, dan merasa hidup ketika bersama Ars, lelaki yang tak berdaya dan hanya duduk di kursi rodanya itu memberikan kenyamanan pada Gavinka. Perempuan yang sudah tak suci lagi, yang sudah di bobol Levin.
“Gavinka, kenapa diam saja? Apa kau tak mau membawa nampan itu ke kamar Tuan Muda Ars?” tanya Laure, membuat Gavinka mengangguk dan mengambil nampan yang kini dipegang Ciona.
Andai saja Gavinka bisa pergi dari sini, dia sudah lama meninggalkan tempat ini. Namun, langkahnya harus terhenti ketika mengingat Gaston yang kini dirawat di rumah sakit dan membutuhkan biaya yang tak sedikit untuk kesembuhannya. Dan, hanya dengan pekerjaan ini ia bisa lebih hemat dalam kesehariannya.
Lift terbuka, seketika ia terkejut ketika mendapati Levin berdiri disamping lift menunggunya. Gavinka berusaha tak menanggapi dan menghindari Levin, namun Levin malah terus mengikuti langkah kakinya.
“Apa lagi maumu?” tanya Gavinka. “Tolong jangan menggangguku, aku sudah tidak tahan dengan kamu. Dan, semoga kamu sadar bahwa yang kamu lakukan salah,” celetuk Gavinka.
“Aku mau memberikan ini,” kata Levin, memberikan obat tablet di kantung celemek Gavinka membuat Gavinka menoleh menatap lelaki yang sudah sering memperkosanya, Levin memberikan obat tablet untuk dibawah sana yang begitu perih jika dipaksa berjalan dan Gavinka sering meringis menitikkan air mata karena terlalu sakit. “Aku sengaja menunggumu. Karena aku tahu jam begini kamu pasti mengantarkan sarapan untuk adikku.”
“Jangan menggangguku. Aku mohon,” pintah Gavinka.
“Namun tubuhmu terlalu menggoda jika aku terus mengabaikannya, bahkan tubuhmu mengejekku,” bisik Levin membuat Gavinka bergidik tak percaya.
.
.
Bersambung.
Jangan lupa votmment ya.
