Bab 3 Pelayan Dua Tuan Muda
“Dari semua buku ini aku sudah memilikinya,” kata Ars.
“Wah. Sampai seri ke 7?”
“Benar. Tapi saya baru membaca seri ke 2, aku dengar seri ke 8 akan terbit minggu depan,” jawab Ars, lagi, membuat Gavinka senang akhirnya mendapatkan teman. “Kamu membacanya dimana?"
“Aku membeli bukunya sampai seri ke 3 karena aku tidak mampu membelinya, aku jadi meminjam punya temanku dan membacanya sampai selesai,” seru Gavinka.
“Kamu bisa meminjam bukuku nanti,” kata Ars.
“Benarkah? Wah. Aku akan sangat senang hati menerimanya,” seru Gavinka, lalu menuangkan teh yang ada di dalam teko ke cangkir yang sengaja di kosongkan. “Silahkan minum.”
“Bagaimana kisah didalam buku ini?” tanya Ars.
“Jika aku bertemu penulisnya aku akan sangat berterima kasih padanya, karena dia sudah membuat buku inspiratif seperti judul ‘The Wound’ ini, karena semua yang membacanya akan sangat bahagia dan senang, bahwa tak semua yang terjadi di dunia ini akan terus menyulitkan, karena akan ada bahagia yang menunggu mereka, dan hanya waktu yang bisa menjawab semuanya. Aku suka seri buku ini dari awal membacanya aku sadar bahwa aku manusia yang terlalu banyak mengeluh, sedangkan tokoh Aliand Wesden dia hidup dalam luka yang ditorehkan seseorang, Aliand kehilangan segalanya, masa depan dan kekokohan dirinya, dan berusaha menjalani hidup, karena luka tak akan selamanya menjadi luka,” terang Gavinka, menitikkan air mata, membuat Ars senang mendengarnya. “Di seri keempat aku selalu menangis mendengar isi hati Aliand selama ini, ia hidup dalam kedukaan dan luka, namun ia ingin menunjukkan pada semua orang, bahwa ia bisa, meski terkadang sulit sekali melakukannya.”
Gavinka menyeka air matanya, lalu tak sadar jika majikannya itu menatap dan mendengarnya dengan baik.
“Apalagi yang kau tahu dari buku seri ini?”
“Aku sudah membuang banyak waktu, aku di cari nanti,” kata Gavinka.
“Bisakah kau ceritakan padaku tentang semua yang kau ketahui buku ‘The Wound’ ini?”
Gavinka menganggukkan kepala.
“Aku suka pada sosok Aliand, dia tegar, meski seluruh hidupnya hancur, ia mengalami kecelakaan bersama kekasihnya, dan kekasih yang harusnya ada disampingnya malah mengkhianatinya dan meninggalkan luka yang teramat dalam, sedangkan Aliand sudah berusaha menolongnya dari maut, andai Aliand tak menyelamatkan Kyila, bukan Aliand yang akan mengalami cacat seumur hidup, namun Kyila. Aku benci sosok yang lebih mengejar kesempurnaan hidup dibandingkan bertahan untuk orang yang dicintai.”
“Pada sosok Kyila?” tanya Ars.
“Benar. Andai perempuan itu benar ada, aku akan mencekiknya karena telah melukai Aliand,” jawab Gavinka.
“Kamu memang memiliki imajinasi yang kuat,” puji Ars.
Gavinka menganggukkan kepala. “Namun, aku bahagia di cuplikan seri ke lima, diseri itu menceritakan tentang Aliand yang mulai bangkit dari keterpurukan, dan berusaha mencari jati dirinya dengan caranya. Aku meminjam bukumu nanti.”
Ars kagum pada sosok Gavinka, Ars tak pernah senyaman ini pada seseorang, bahkan ia lebih nyaman ada didekat Gavinka dibandingkan keluarganya.
Sejak tadi, seorang lelaki yang dilihat Gavinka keluar dari mobil lamborgini berwarna kuning ada didepan pintu kamar Ars yang terbuka lebar dan mendengar semua percakapan Ars juga Gavinka. Levin Maxeil—namanya—saudara kandung dari Arslen Maxeil yang berusia 29 tahun.
Ketika mendengar Gavinka menceritakan sebagian inti dari buku yang dibaca Ars, Levin sedih sekali, ia tak pernah menyangka bisa mendengar isi buku itu dari perempuan sederhana yang kini duduk disamping Ars, hobby yang sama membuat keduanya menjalin pertemanan.
Sesaat kemudian, Ciona membungkukkan badan pada Levin yang bersandar ditembok dengan kedua tangan ia masukkan kesaku celananya, Ciona lalu mengetuk pintu kamar Ars dan melihat Gavinka tengah duduk disamping Ars dengan santai.
“Tuan Muda Ars, maafkan saya karena saya menyuruh—“
“Stop. Kau jangan banyak bicara,” kata Ars menunjuk Ciona. “Saya mau kamu pergi dari sini, dan tugas Gavinka mulai hari ini akan bekerja sebagai pelayanku.”
“Tapi, Tuan—“
“Stop! Ini perintah, beritahu Nyonya Laure untuk membiarkan Gavinka bekerja sebagai pelayanku.”
“Baik, Tuan, akan saya sampaikan,” jawab Ciona membungkukkan badannya lalu meninggalkan kamar Ars.
“Jangan melakukan itu pada Ciona, dia hanya takut aku melakukan kesalahan,” kata Gavinka membuat Ars menghela napas panjang.
“Baiklah. Aku minta maaf,” jawab Ars, membuat Levin menggelengkan kepala karena Ars mendengar perkataan Gavinka. “Siapa namamu?” tanya Ars lagi.
“Aku Gavinka,” jawabnya.
“Aku Arslen, panggil Ars saja,” seru Ars.
“Hem. Baiklah. Aku akan kembali nanti,” kata Gavinka, beranjak dari duduknya.
“Kamu sudah mau pergi?” tanya Ars mendongak menatap Gavinka yang kini berdiri disampingnya.
“Hem. Tugasku bukan hanya menjadi pelayanmu, tapi juga menjadi pelayan di mansion ini, aku akan kemari ketika aku senggang, dan aku akan datang mengambil bukumu nanti,” kata Gavinka, hendak melangkah namun genggaman tangan Ars menghentikan langkah kakinya.
“Apa kamu mau pergi sekarang?”
“Iya. Aku akan kembali, aku janji,” kata Gavinka, yang juga nyaman berada disamping Ars.
“Baiklah. Kamu janji akan kembali, dan jangan membuatku menunggu kamu.”
Gavinka menganggukkan kepala, lalu berjalan meninggalkan Ars, ia menutup pintu rapat dan ketika hendak berjalan ia terkejut melihat lelaki yang ia lihat turun dari mobil lamborgini berwarna kuning, Gavinka membungkukkan badan melihat Levin.
“Tuan,” kata Gavinka menundukkan wajahnya.
“Nama kamu … Gavinka?” tanya Levin.
“Benar, Tuan,” jawab Gavinka.
“Namaku Levin, biasa maid memanggilku dengan sebutan Tuan Muda Levin,” seru Levin.
“Iya, Tuan Muda Levin,” ucap Gavinka. “Kalau begitu saya permisi.”
“Baiklah. Bawakan saya teh dan cemilan, tanyakan saja pada Laure, apa cemilan kesukaanku,” perintah Levin.
“Baik, Tuan Muda Levin,” jawab Gavinka.
“Kamu bisa pergi,” kata Levin.
Gavinka lalu berjalan memunggungi Levin yang kini masih menatap punggungnya, ada yang aneh pada Levin, meski tadinya ia ingin membuat Gavinka bertekuk lutut padanya, ternyata pas menatap wajah Gavinka, ia mengurungkan niatnya.
Gavinka sampai didapur dan digenggam erat oleh Ciona. “Apa yang kamu lakukan pada Tuan Muda Ars?”
“Lepaskan aku!” kata Gavinka meringis sakit.
“Ciona, lepaskan dia!” kata Laure, membuat Ciona melepaskan genggaman tangannya pada lengan Gavinka.
“Nyonya, dia sudah berani mengobrol dengan Tuan Muda Ars, dan itu pelanggaran namanya,” sergah Ciona.
“Apa yang kau lakukan di kamar Tuan Muda Ars?” tanya Laure, membuat Gavinka menundukkan kepala.
“Tuan Muda Ars membutuhkan teman mengobrol, ia juga yang menyuruhku duduk disampingnya dan bercerita tentang novel yang beliau baca, hanya itu,” terang Gavinka membuat Laure mengangguk.
“Baiklah. Kalau begitu, tugasmu akan menjadi pelayan Tuan Muda Ars,” jawab Laure.
Gavinka menundukkan kepala.
“Dia juga akan menjadi pelayanku,” sergah sebuah suara, membuat semua maid membungkukkan badannya. “Mana teh yang aku suruh?” tanya Levin.
“Saya akan menyiapkannya, Tuan Muda Levin,” kata Ciona.
“Tidak perlu. Saya mau Gavinka yang menyiapkan semuanya kebutuhanku,” sergah Levin, membuat Ciona menoleh menatap Gavinka yang hanya menundukkan kepala.
“Baik, Tuan Muda,” kata Laure.
“Ya sudah. Aku tunggu di kamar, dan pastikan Gavinka yang mengantarkan teh untukku.” Levin melangkah meninggalkan semua maid yang kini masih membungkukkan badan.
“Apa yang kau lakukan pada Tuan Muda Levin dan Tuan Muda Ars? Mengapa mereka mau kamu menjadi pelayan mereka?” tanya Ciona, menatap tajam ke arah Gavinka.
“Aku juga tidak tahu, mereka yang menginginkan itu, aku juga tidak mau melakukannya.” Gavinka menghela napas.
“Wah. Kamu sudah berani berbicara santai dan melawanku, awas kamu, ya,” kata Ciona, hendak menampar Gavinka, namun Laure mencegah tangan Ciona.
“Ciona, apa yang kamu lakukan? Jangan melakukan hal diluar wewenangmu!” tegas Laure.
“Baik, Nyonya,” jawab Ciona, iri pada Gavinka yang mendapatkan perhatian Ars dan Levin bersamaan.
.
.
Bersambung.
Jangan lupa vottment
