BAB 6: Demi Rasa Kemanusiaan
Anggara
“Mbak Renata hamil enam bulan, Pak. Baru diketahui setelah ditahan di rutan,” ujar Tony, asisten Anggara, ketika melihat bosnya kebingungan dua hari lalu.
Anggara tidak pernah menyangka kalau wanita yang telah menabrak istrinya kini hamil. Kenangan masa-masa awal kehamilan Viona kembali melintas di dalam pikiran. Dia ingat betul bagaimana lelahnya wanita itu ketika menjalani trimester pertama.
Seperti ibu-ibu hamil pada umumnya, Viona juga mengalami yang mereka sebut dengan fase mengidam. Ada banyak hal yang ia inginkan kala itu. Seperti makan sate Padang, makan rujak di malam hari, hingga ingin makan jambu air yang langsung dipetik dari pohon.
“Ayah dari bayi yang dikandungnya tidak pernah sekalipun datang menjenguk.” Perkataan Tony kembali singgah dalam ingatan Anggara.
“Menurut informasi dari tetangga tempat tinggal Mbak Renata, tidak ada yang tahu persis siapa pria yang dipacarinya. Setiap datang ke sana, wajahnya selalu ditutupi masker dan topi.” Penggalan kalimat berikutnya terngiang.
Bibir bagian atas yang berukuran kecil itu terangkat sedikit ke atas. Sebelah alis tebal di atas mata hitam sayunya ikut naik.
“Renata. Ternyata Tuhan begitu murka dengan kelakuanmu. Di saat hamil pun kamu sendirian,” gumam Anggara menyeringai licik.
Perlahan tawa bahagia meluncur begitu saja, membuat air mata menggenangi manik hitam yang memancarkan kesedihan. Ternyata Anggara tidak sepenuhnya senang dengan penderitaan Renata. Sisi manusiawi dalam diri muncul mengingat janin tak berdosa yang kini bersemayam di dalam kandungan wanita tersebut.
Tarikan napas berat terdengar dari sela hidung mancung nan lebar milik Anggara. Bulir bening menetes di pipi ketika ingat dengan janin yang pernah dilihatnya di layar USG (Ultrasonografi) satu bulan sebelum kematian Viona. Naluri seorang ayah menghadirkan rasa kasihan di hati saat membayangkan bagaimana bayi yang dikandung Renata lahir nanti.
Apakah bayi itu bisa lahir dengan normal jika Renata kekurangan gizi? Ataukah ia bisa keguguran, karena kurang vitamin? Apalagi makanan di penjara kurang bagus untuk perkembangan bayi yang ada di dalam kandungan.
Tubuh Anggara yang tadi bersandar nyaman di punggung kursi, kini langsung tegak. Dia meraih ponsel dari atas meja kerja, lalu menghubungi Tony.
“Siapkan mobil. Kita ke lapas sekarang,” perintah Anggara setelah mendapatkan jawaban dari asisten pribadinya.
Dia segera meraih jas yang tadi dilepaskan, kemudian dikenakan di tubuh atletisnya. Kaki melangkah ke luar dengan ringan.
“Batalkan semua pertemuan hari ini. Termasuk pembahasan film terbaru yang dibintangi Prasetya,” titah pria itu kepada sekretarisnya.
“Reschedule ke hari apa, Pak?” tanya perempuan berparas ayu tersebut.
“Besok,” jawab Anggara singkat seraya berlalu dari hadapannya.
Pria itu melihat layar ponsel, lantas mencari supermarket terdekat dengan kantor. Setelah menemukannya, dia segera memasuki lift yang akan mengantarkan ke basemen parkir.
“Buah-buahan yang mengandung asam folat, bagus untuk kandungan. Kacang-kacangan, susu hamil, vitamin. Apalagi?” gumam Anggara ketika mengingat makanan yang dikonsumsi oleh Viona dulu.
“Astaga! Apa yang aku pikirkan? Kenapa jadi khawatir dengan anak yang ada di dalam kandungan wanita itu?” racaunya lagi terlihat uring-uringan.
Dia mendesah pelan ketika ingin menekan lagi tombol sepuluh, agar bisa kembali ke ruangan. Sesaat kemudian kepala yang dihiasi rambut model quiff tersebut bergerak ke kiri dan kanan.
“Ini hanya rasa kemanusiaan saja. Hanya ingin mengamalkan sila kedua. Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Anggara mengusap wajah sendiri, seraya mengangguk tanpa ragu.
“Anak itu tidak bersalah. Tidak seharusnya dia lahir dalam kondisi memprihatinkan,” sambungnya lagi terdengar pelan.
Begitu pintu lift terbuka, Anggara segera bergerak menuju tempat mobil berada. Tony telah menanti di dalam kendaraan berjenis sedan tersebut.
“Kita ke supermarket dua blok dari sini, Ton,” ujar Anggara setelah duduk di kursi belakang.
“Oke, Pak. Segera meluncur,” sahut Tony dengan raut wajah bingung.
Selama mengenal Anggara, tidak pernah sekalipun ia mengantarkannya ke supermarket. Baru kali ini pria itu pergi ke pusat perbelanjaan barang harian. Sebagai bawahan, ia tidak berani mengajukan pertanyaan hanya untuk pelepas dahaga penasaran.
Beberapa menit kemudian, mobil berhenti pelan di tempat parkiran supermarket.
“Ikut saya, Ton.” Anggara menepuk pelan pundak asisten pribadinya.
Tony langsung turun dengan semangat, karena rasa penasaran akan terjawab setelah tahu apa yang ingin dibeli oleh Anggara. Seperti biasa pria itu berjalan pelan di belakang bosnya. Tiba di dekat pintu masuk, ia mengambil sebuah troli yang bisa menampung banyak barang. Jika atasannya ingin berbelanja banyak.
Pandangan mata Anggara beredar mencari keberadaan rak susu. Kakinya terus melangkah menyusuri lorong di antara rak barang harian.
“Itu dia!” serunya setelah melihat rak khusus susu kotak dan kaleng.
“Mana yang paling bagus?” Anggara menoleh ke tempat Tony berdiri.
Pria berusia akhir dua puluhan tersebut menunjuk ke arah produk susu untuk tulang yang terkenal.
“Bukan itu yang saya cari, tapi susu hamil,” kata Anggara memerankan suara ketika mengucapkan kata terakhir. Tilikan matanya bergerak awas ke sekeliling.
“Susu hamil, Pak?” Tony benar-benar dibuat bingung oleh atasannya. Dia mulai berpikir kalau Anggara tertekan, sehingga berhalusinasi dan menganggap Viona masih hidup.
“Iya,” risik Anggara seraya menggerakkan kepala sedikit ke atas, “mana yang bagus?”
Sumpah demi apapun, Tony mulai khawatir dengan kondisi kejiwaan Anggara sekarang. Bisa jadi bosnya merasa bersalah, karena tidak pernah membelikan langsung susu hamil untuk almarhumah sang Istri semasa hidup.
“Sepertinya itu, Pak. Saya lihat di iklan, katanya bagus.” Tony menunjuk susu kotak dengan merek terkenal yang iklannya sering lalu lalang di televisi.
“Bagus?”
Pria muda itu mengangguk ragu sembari menggaruk kepala walau tidak yakin.
Tangan Anggara terangkat ke atas, meraih susu kaleng dengan merek serupa. Dia mengambil tiga kaleng, kemudian meletakkannya di dalam troli.
Kali ini kaki panjang miliknya melangkah menuju tempat buah berada. Anggara mengambil empat kantong plastik yang akan digunakan sebagai tempat buah. Jari tangannya bergerak lincah mengambil apel, pisang, jeruk dan stroberi. Mata juga bergerak awas mencari buah yang masih segar.
“Timbang di sana dulu, Pak,” desis Tony ketika Anggara ingin memasukkan semua buah itu ke troli.
“Gitu ya?” Anggara kebingungan karena tidak pernah berbelanja ke supermarket. Dia beranjak lagi menuju tempat penimbangan buah.
Setelah meletakkan buah yang ditimbang, ia terus bergerak ke sisi lain area dalam supermarket. Kali ini Anggara mencari keberadaan tempat obat-obatan.
Tony yang sejak tadi mengamati barang belanjaan, semakin dibuat bingung dengan sikap aneh Anggara. Sekarang bosnya membeli vitamin yang biasa dikonsumsi ibu hamil. Pria itu menatap sedih atasannya, karena masih beranggapan ada masalah kejiwaan yang dialami si bos.
Mereka berdua segera mengantre di dekat kasir. Beruntung hanya dua orang yang ada di depan, sehingga tidak perlu lagi menunggu lama untuk membayar semua barang belanja.
Anggara melirik ke arah asistennya yang tampak menjepit bibir dengan rapat. Perhatian teralih ketika kasir mempersilakan pria itu maju ke depan, agar bisa melakukan pembayaran.
“Totalnya menjadi satu juta seratus lima puluh ribu rupiah, Pak.” Kasir memberi senyum terbaik kepada Anggara.
Pria itu mengeluarkan kartu debit untuk membayar semua tagihan belanja. Jangan heran dengan total uang yang dihabiskan oleh Anggara. Dia membeli produk terbaik, termasuk dengan kualitas buah dan vitamin.
“Terima kasih telah berbelanja di supermarket kami, Pak,” ucap kasir setelah menyerahkan kartu debit milik Anggara beserta struk belanja.
Dua orang pria itu langsung melangkah menuju tempat parkir. Begitu tiba di dekat mobil, Anggara segera duduk di kursi belakang seperti biasa. Sementara Tony harus memasukkan barang belanjaan ke bagasi belakang.
“Sekarang kita ke mana, Pak?” Tony menoleh ke belakang sebentar, setelah duduk di kursi kemudi.
“Lapas wanita, Ton.”
Mata sipit Tony semakin mengecil mendengar perkataan bosnya. “Lapas wanita, Pak?”
Anggara mengangguk singkat sembari merapikan jas. “Semuanya untuk wanita itu.”
Bersambung....
