BAB 7: Paket dari Sosok Misterius
Renata
“Kita tidak akan bertemu lagi setelah ini, Re. Sekali lagi terima kasih atas apa yang telah kamu lakukan. Aku tidak akan pernah melupakannya.”
Kalimat tersebut yang terakhir diucapkan oleh Prasetya beberapa detik sebelum benar-benar meninggalkan ruang kunjungan. Hati Renata hancur lebur mendengar semua perkataannya. Pengorbanan yang telah dilakukan demi kekasih tercinta malah menimbulkan luka teramat dalam.
Sejak tadi malam, wanita itu tidak tidur sedikitpun. Hingga siang menjelang matanya masih saja meneteskan bulir bening yang diproduksi oleh kelenjar air mata.
“Hei kamu!” teriak salah seorang narapidana yang tinggal satu sel dengan Renata.
Wanita itu menaikkan pandangan yang sedikit kabur, karena masih digenangi air. Dia langsung menyeka cairan di pipi.
“Dari tadi malam kamu paling berisik.” Wanita itu menyentuh daun telinga sendiri, lalu menariknya kasar. “Kupingku mulai muak dengar tangisanmu itu!”
“Sudah biarkan saja. Mungkin dia menyesal karena telah membunuh orang,” tanggap narapidana satunya lagi yang sedang berada di posisi tidur.
“Aku tidak bisa tidur nyenyak gara-gara dia, Mbak,” balas perempuan berambut pendek yang berusia sekitar tiga puluhan tersebut.
Terdengar embusan napas singkat dari wanita yang sedang berbaring. Tubuh gempalnya terangkat ke atas, kemudian menatap malas narapidana satunya lagi. Pandangan netra kecilnya berpindah kepada Renata yang tampak ketakutan.
“Lain kali kalau mau menangis harus ke sana!” katanya menunjuk ruangan yang hanya disekat plastik. Tempat itu digunakan untuk membersihkan diri dan membuang hajat.
“Maaf,” ucap Renata terdengar lirih. Tenaganya sudah habis memikirkan apa yang terjadi kemarin.
Andai saja Pras tidak datang menjenguk, barangkali ia masih bisa berpikiran positif dan menganggap lelaki itu sibuk dengan pekerjaan. Atau bisa jadi, karena tidak ingin diketahui oleh media sehingga bisa menimbulkan pemberitaan miring tentangnya.
“Tahanan 5010,” panggil seorang petugas dari celah kecil yang ada di pintu.
Kepala Renata kembali tegak mendengar nomor yang tertera di baju seragamnya dipanggil. Dengan sedikit meringis, ia berdiri dan beranjak menuju pintu. Kepala terasa berat, karena tidak tidur semalaman dan terlalu banyak berpikir.
“Ada apa, Bu?”
“Ikut saya sebentar.” Petugas tersebut membuka pintu, agar Renata bisa keluar.
Setelahnya, Renata berjalan pelan di belakang mengikuti petugas wanita yang terlebih dahulu berjalan di depan. Di dalam perjalan, kepalanya kembali berdenyut. Kurang tidur di usia kehamilan yang memasuki trimester ketiga, membuat tubuhnya merasa tidak nyaman. Pandangan mulai meredup, seiringan dengan bumi terasa bergoyang.
Bruuuk!
Tubuh kurus itu terkulai lemah di lantai.
“Bu, ada yang pingsan,” teriak salah satu narapidana dari balik sel. Ternyata ada yang melihat Renata pingsan.
Hal itu sontak membuat petugas melihat ke belakang. Benar saja, Renata telah berbaring tak sadarkan diri di lantai lorong menuju ruang petugas. Wanita dengan rambut disanggul kecil itu langsung meraih handy talky (HT) dari samping pinggang.
“Tolong kirim bantuan ke depan sel 410, ada yang pingsan!” serunya kepada rekan kerja.
“5010, bangun,” panggil sipir tersebut berusaha membangunkan Renata. Hasilnya nihil. Wanita itu masih memejamkan mata.
Tidak sampai lima menit kemudian, dua orang sipir lain datang membawa tandu. Mereka memindahkan Renata ke atas tandu, lalu membawanya ke ruang kesehatan untuk diperiksa.
“Pasien kenapa?” tanya tenaga kesehatan seraya melihat petugas penjara bergantian.
“Tiba-tiba pingsan waktu saya panggil, Dok,” jawab sipir yang memanggil Renata tadi.
Dokter langsung memasangkan stetoskop di telinga, kemudian menempelkan ujungnya di dada Renata. Perempuan berkerudung itu membuka kelopak mata hitam lebar tersebut dan melihatnya bergantian.
“Pasien kekurangan cairan, kelelahan dan stres. Dia harus dirawat di sini terlebih dahulu,” kata dokter setelah memeriksa keadaan Renata. Dia memasangkan infus di tangan kiri wanita itu.
“Setelah ini, pasien bisa dipindahkan ke ruang sebelah untuk perawatan,” sambung dokter lagi.
Petugas yang tadi memanggil Renata hanya bisa melihat sedih ke arahnya.
Dua orang petugas datang lagi untuk memindahkan Renata ke ruangan khusus yang ada di sebelah. Sipir yang sejak tadi menemani wanita itu, ikut beranjak mengikuti brankar yang membawanya ke ruang perawatan.
Setelah memastikan Renata sampai di ruang perawatan, sipir tersebut pergi ke luar ruangan untuk mengambil sesuatu. Selang sepuluh menit kemudian, ia kembali lagi membawa bingkisan berisi tiga kaleng susu, beraneka buah-buahan dan satu kantong vitamin.
Seorang pria tampak berjalan di belakang petugas tersebut dan berdiri di sela pintu ruang perawatan.
“Bagaimana keadaannya?” tanya suara bariton milik pria tersebut.
“Kekurangan cairan dan kelelahan. Terlalu banyak pikiran juga menjadi salah satu penyebabnya, Pak,” jelas petugas sipir.
“Janinnya?”
“Tidak ada masalah dengan janinnya. Saya sudah periksa, masih ada gerakan menandakan janin masih aktif di dalam.” Kali ini dokter yang menanggapi, sebelum meninggalkan ruang perawatan.
Anggara memfokuskan pandangan ke perut Renata yang buncit. Dia ingat dengan Viona yang sangat bahagia setiap kali merasakan gerakan kecil di dalam perut.
“Apa yang terjadi, Pak Anggara?” Pria lainnya bertubuh besar datang menghampiri.
Anggara menoleh ke kanan, sebelum mengalihkan lagi pandangan ke tempat Renata tidur. “Wanita itu pingsan.”
Tilikan netra sayu Anggara berpindah ke petugas sipir. “Apa ada yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini?”
Petugas mengangkat bahu, karena tidak tahu persis apa yang dipikirkan Renata. “Mungkin ada kaitan dengan orang yang datang berkunjung kemarin, Pak. Setelah orang itu datang, tahanan 5010 jadi murung.”
Kening Anggara berkerut bingung seraya melirik ke arah Renata yang masih belum sadarkan diri. “Siapa?”
“Persisnya saya kurang tahu, Pak. Hanya petugas bagian pemeriksaan yang tahu siapa orang itu.”
Anggara bergumam sebentar, sebelum mengangguk. Dia kembali melihat kepala lapas.
“Tolong pastikan tidak ada masalah dengan janinnya. Jika memerlukan obat-obatan, langsung telepon saya,” ujar Anggara menepuk pundak kepala lapas.
“Baik, Pak. Saya akan lakukan sesuai dengan instruksi yang diberikan.” Kepala lapas tersenyum yakin.
“Oya, pisahkan dia dengan tahanan berbahaya. Ingat, jangan sampai janin yang dikandung bermasalah.” Anggara kembali berbicara, lebih tepatnya memberikan perintah.
“Siap, Pak.” Kepala lapas menundukkan kepala sembari tersenyum.
“Ternyata Bapak sangat baik. Bahkan kepada orang yang telah menabrak istri Anda. Sungguh mulia hati Bapak,” puji kepala lapas sudah pasti mencari perhatian Anggara. Lebih tepatnya menjilat orang kaya.
“Saya hanya peduli dengan janin yang ada di dalam kandungannya, Pak.” Anggara menirukan bunyi orang meludah sebelum melanjutkan perkataannya. “Persetan dengan wanita itu.”
Anggara langsung beranjak dari sela pintu menuju lorong yang menghubungkan ke arah pintu keluar. Kepala lapas dan dua orang petugas lainnya menyusul di belakang.
Sementara di dalam ruang perawatan, jari-jari lentik Renata mulai bergerak seiringan dengan mata yang mengerjap pelan. Kepala terasa berat ketika ia mengangkat tubuh. Pandangan yang masih samar berpindah kepada petugas sipir yang berdiri di dekat pintu.
“Bu,” panggilnya pelan berusaha menaikkan tangan yang lemah. Kening Renata berkerut melihat jarum infus berada di tangan kiri.
“Oh kamu sudah sadar,” sahut petugas penjara menghampiri Renata.
“Saya kenapa, Bu?” Renata menatap petugas dengan penuh tanya ketika penglihatannya sudah jernih.
“Kamu pingsan dalam perjalanan tadi,” balas petugas penjara.
Manik hitam Renata bergerak melihat kantong transparan berisikan kaleng susu dan buah-buahan. “Itu apa, Bu?”
“Paket yang dikirimkan seseorang untuk kamu,” kata petugas tersebut.
“Paket? Dari siapa?”
“Seseorang yang tidak menyebutkan identitasnya.”
Siapa? Apakah Pak Hadi atau mungkin Pras? batin Renata menduga siapa sosok misterius yang telah memberikan paket tersebut kepadanya.
Bersambung....
