BAB 5: Perubahan Sikap Prasetya
Renata
Dua hari kemudian
Panas terasa terik di sebuah lapangan yang tidak terlalu besar ketika matahari menampakkan diri di seperempat langit. Cuaca cerah menjelang siang mampu membuat keringat keluar dari sela pori-pori kulit kuning langsat milik Renata. Dia baru saja ikut membersihkan pekarangan lapas bersama dengan puluhan narapidana lainnya.
“Astaga. Sebaiknya lo istirahat dulu.”
Seorang narapidana berusia sekitar empat puluh tahun datang menghampiri Renata. Sorot matanya menatap iba wanita yang sedang hamil enam bulan tersebut.
Ya, ternyata Renata mengandung buah cintanya dengan Prasetya. Dia baru mengetahui kehamilan ini tepat satu bulan setelah menyerahkan diri kepada pihak berwajib. Andai tahu sedang hamil, tentu saja ia akan berpikir panjang untuk menggantikan posisi sang Kekasih.
Nasi sudah menjadi bubur. Berkas telah dilimpahkan kepada kejaksaan. Renata tidak bisa lagi menarik pengakuannya. Lagi pula, jika mengatakan yang sebenarnya kepada polisi, apakah ia bisa melihat Pras mendekam di penjara? Tentu saja hal ini bisa berdampak buruk terhadap karir pria tersebut.
Ah, Pras. Dia bahkan tidak lagi menampakkan batang hidungnya di hadapan Renata. Seakan ditelan bumi, ia tidak pernah sekalipun menemui wanita itu setelah masa penahanan. Pernah ia mengutus manajer yang biasa mengurus jadwal dan keperluan syuting, untuk menemui Renata beberapa hari setelah ditetapkan sebagai tersangka.
Namun hal itu tidak mampu memuaskan dahaga Renata yang merindukan kehadiran dan dukungan dari Pras. Masa-masa kehamilan dilaluinya dengan penuh kegetiran di dalam penjara. Dia harus meredam keinginan memakan sesuatu ketika masa ngidam. Tidak ada kontrol rutin ke dokter kandungan, seperti yang dilakukan oleh wanita hamil kebanyakan.
“Aku ingin menggugurkan kandungan ini.”
Itulah hal paling buruk yang pernah tercetus di pikiran Renata di usia tiga bulan kehamilan. Dia sudah tidak sanggup menanggung beban seorang diri. Hamil tanpa seorang suami dan harus mendekam di balik jeruji.
Setelah berperang dengan diri sendiri, akhirnya Renata memutuskan untuk mempertahankan janin yang ada di dalam kandungan. Apalagi calon buah hati yang masih sangat kecil itu tidak bersalah.
Meski sedang hamil, tidak ada perlakuan istimewa yang didapatkan selama berada di rumah tahanan. Dia memakan apa yang disajikan oleh petugas kepada tahanan lain. Kecuali, ketika AIPDA Hadi datang berkunjung. Entah kenapa pria itu masih belum bisa percaya dengan pengakuan Renata.
“Duduk sana,” kata wanita berusia empat puluhan tadi, berhasil menyeret pikiran Renata ke dunia nyata.
Dengan patuh, wanita muda itu langsung duduk di tempat yang ditunjuk oleh narapidana barusan.
“Berapa usia kandungan lo?” tanya perempuan tadi lagi menunjuk perut Renata dengan ujung dagu.
“Kira-kira enam bulan, Bu,” jawabnya menundukkan kepala.
Wanita berambut pendek itu mendesah pelan. “Baru di sini? Gue belum pernah lihat lo sebelumnya.”
Renata mengangguk pelan. “Baru dua hari, Bu.”
Terdengar decakan dari sela bibir tipis tersebut. “Jangan panggil Ibu. Gue Shintya, panggil Mbak Tia aja,” ucapnya memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.
“Renata. Mbak bisa panggil aku Rena,” balas Renata menyambut uluran tangan.
Selama dua hari berada di dalam tahanan, baru kali ini ia berkenalan dengan narapidana lain. Hanya wanita bernama Shintya yang peduli dengan kondisinya.
“Kejahatan apa yang lo lakukan?” Pertanyaan lain kembali diajukan Shintya.
“Aku nggak sengaja nabrak orang, Mbak.”
“Orangnya mati?”
Renata menganggukkan kepala pelan.
“Vonis berapa lama?”
“Enam tahun.” Renata menatap ibu jari yang mengusap jari tangan yang satunya lagi.
“Hah? Kok bisa lama?” Shintya tidak bisa menyembunyikan raut terkejut.
Bibir Renata tampak gemetar ketika ingin menjawab pertanyaan Shintya. Ingin rasanya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, tapi itu tidak mungkin. Vonis sudah dijatuhkan, sehingga apapun yang ia katakan tidak akan mengubah apapun.
Janji yang pernah diucapkan oleh Pras untuk mencarikan pengacara terbaik, tidak pernah terlaksana. Pria itu bahkan tidak menampakkan puncak hidung selama Renata berada di Rutan (Rumah Tahanan).
“Tabrak lari, Mbak.” Renata menahan sekuat tenaga agar tidak menangis. “Korban berasal dari keluarga terpandang.”
Wajah Shintya berubah geram mendengar perkataan Renata. “Orang kaya selalu semena-mena dengan orang miskin kayak kita. Mereka pikir uang bisa beli segalanya,” rutuknya dengan napas memburu.
Pandangan Renata terangkat sehingga melihat wajah manis yang sedang naik pitam itu. Dia tidak menyangka orang yang mengajaknya berbicara masih muda, bukan wanita paruh baya seperti yang ia pikirkan.
“Kalau Mbak Tia sendiri, kenapa bisa berada di sini?”
Shintya menarik udara dalam-dalam, sebelum menjawab pertanyaan tersebut. “Gue dituduh bunuh kakek-kakek.”
Kening Renata berkerut bingung.
Tawa pelan meluncur dari bibir tipis wanita itu. “Gue ini pelacur, Rena. Suatu malam, ada pelanggan yang pake jasa gue. Waktu making love, dia malah mati. Kayaknya sih gara-gara serangan jantung, karena sempat pakai viagra sebelum bercinta.”
Shintya berhenti sejenak ketika berusaha mengontrol emosi yang kembali naik. Setiap kali ingat dengan tuduhan yang diarahkan oleh keluarga korban, ia menjadi naik darah.
“Istrinya nggak terima kalau suami tercinta mati waktu main-main sama pelacur. Dia tuduh gue bunuh suaminya, sampai rekayasa bukti.” Shintya mengacungkan jari telunjuk dan tengah bersamaan. “Gue bersumpah. Sebelum klimaks, tuh aki-aki udah mati duluan.”
Renata menutup bibir yang terbuka sedikit mendengar perkataan. Ternyata harta mampu membuat orang melakukan apapun, termasuk merekayasa bukti.
“Mungkin udah jalannya gue ada di sini. Paling nggak, gue bisa lebih mendekatkan diri dengan Tuhan.” Shintya lagi-lagi menarik napas berat. “Udah teguran dari Tuhan, karena gue masih aja berbuat dosa di usia tiga puluhan.”
“Mbah udah lama di sini?” tanya Renata seraya melihat seragam yang dikenakan Shintya. Tampak begitu lusuh dan warna sudah memudar.
“Lima tahun.” Shintya menyandarkan tubuh di dinding yang terasa begitu dingin. “Lima tahun lagi gue bisa keluar dari sini.”
Shintya mengubah posisi duduk dengan menekuk satu kaki di atas kursi kayu, sehingga bisa melihat Renata dengan benar.
“Apa rencana lo dengan anak itu nanti?”
Renata mengelus perut yang sudah memberikan gerakan kecil di dalamnya. “Aku akan rawat anak ini.”
“Rawat bayi di penjara??” tanggap Shintya nyaris berteriak.
Wanita itu mengangguk tanpa ragu.
“Nggak mungkin rawat bayi di penjara, Rena. Lo lihat aja gimana lingkungan di sini.” Shintya mengedarkan pandangan ke sekitar mereka. “Nggak sehat banget dan nggak baik buat perkembangan bayi lo nanti.”
“Suruh bapaknya yang rawat,” sambung wanita itu lagi dengan nada kesal.
Belum sempat menanggapi perkataan Shintya, seorang petugas datang menghampiri.
“Tahanan 5010, ada yang ingin bertemu,” kata petugas perempuan itu menunjuk ke arah lorong yang terhubung dengan ruangan kunjungan.
Renata berdiri, lalu melihat ke tempat Shintya duduk. “Aku tinggal sebentar ya, Mbak.”
Setelahnya ia melangkah pelan di belakang petugas. Renata mulai menerka siapa yang berkunjung menemuinya? Apakah Hadi atau Prasetya? Peluang untuk Hadi berkunjung jauh lebih besar dibanding Pras. Bisa jadi pria itu datang membawa buah-buahan atau vitamin, seperti apa yang dilakukan selama ini.
Langkah kaki Renata berhenti ketika baru memasuki sela pintu ruangan berukuran kecil yang biasa digunakan untuk menerima kunjungan. Mata hitam lebarnya semakin membesar melihat keberadaan sosok yang sangat dirindukan. Kaki ramping itu melangkah ringan menuju kursi.
“Pras,” panggilnya dengan mata digenangi bulir bening.
Pria tersebut menurunkan topi, agar menutup sebagian wajah. Jari tangannya terangkat ke atas, lalu menempel di bibir.
“Jangan panggil namaku,” gumam laki-laki itu pelan menatap was-was ke sekitar.
Renata mengangguk cepat. Dia menyelipkan tangan di bawah kaca pembatas yang diberikan lobang berbentuk lingkaran. Jari-jarinya berusaha meraih daun tangan Pras, tapi sayang pria itu menarik lagi tangan ke bawah. Hal itu membuat kening Renata berkerut bingung.
“Maaf, aku tidak bisa lama-lama. Aku juga tidak bisa terus berkunjung ke sini,” ucapnya sebelum Renata berbicara.
“Kenapa?” Renata memandang wajah kekasihnya yang menunjukkan ketidaknyamanan. Tidak ada kerinduan yang ia temukan di sana.
“Bisa jadi bahan berita media jika ada yang tahu kalau aku sering ke sini,” balas Pras melihat Renata sebentar.
Lagi-lagi Renata mengangguk paham. Dia jadi memaklumi alasan Pras, karena tidak pernah datang berkunjung sebelumnya. Pria itu pasti tidak ingin menjadi bulan-bulanan media, apalagi saat ini ia telah disibukkan dengan berbagai syuting film dan sinetron kejar tayang.
“Aku boleh minta sesuatu nggak?” Renata menatap Pras dengan sungguh-sungguh.
“Apa?”
Tangan Renata bergerak turun memegang perut yang kembali memberi gerakan di dalam. Tilikan matanya berpindah ke perut yang membuncit.
“Tolong jaga anak kita setelah lahir nanti. Dia nggak mungkin bersamaku di sini,” pinta Renata kembali menegakkan pandangan.
Raut wajah Pras berubah pucat mendengar perkataan Renata. Perlahan kepala yang dihiasi rambut model Bro Flow itu bergerak ke kiri dan kanan.
“Tidak mungkin aku yang urus anak itu, Re.” Mata elang Pras tampak menajam ketika bibir tertarik malas ke samping. “Apa pemberitaan media jika tahu aku punya anak di luar nikah?”
Prasetya berdiri, lalu mendorong kursi ke belakang dengan kasar. “Sebaiknya kamu yang urus anak itu.”
Pria itu menundukkan tubuh ke depan sehingga bibirnya berada tepat di lubang kecil yang membentuk lingkaran tersebut. “Setelah ini aku tidak akan datang berkunjung. Sebagai ucapan terima kasih atas apa yang sudah kamu lakukan, aku akan persiapkan segala sesuatu keperluanmu setelah bebas nanti,” pungkas Pras sebelum meninggalkan ruangan.
Tubuh Renata terasa lemas mendengar perkataan lelaki yang dicintainya. Dia tidak pernah menyangka Prasetya akan mengucapkan kalimat tadi. Pria yang dulu sangat mencintai dirinya, kini berubah menjadi sosok yang tak lagi bisa dikenali. Yang ia temui barusan adalah seorang artis tamak yang tidak ingin kehilangan popularitas.
Bulir bening turun membasahi pipi tirus Renata. Penyesalan lain menyelinap di hati, karena telah berkorban demi pria seperti Prasetya.
Bersambung....
