
Ringkasan
Renata terpaksa mengakui kesalahan yang tidak pernah dilakukan, demi menyelamatkan karir Prasetya, kekasihnya. Dia harus mendekam di penjara atas tuduhan tabrak lari. Tak disangka, ketika berada di dalam penjara dirinya ternyata hamil, buah cinta hasil hubungan dengan Pras. Sebuah kenyataan pahit diketahui Renata setelah keluar dari penjara. Pengorbanannya dibalas pengkhianatan oleh Pras yang telah menjadi artis terkenal. Hidup yang telah hancur, juga mendapatkan teror dari Anggara, suami wanita yang ditabrak oleh Pras. Anggara, seorang CEO dan juga produser, bersumpah akan membalaskan dendam atas kematian sang Istri dan calon bayi mereka. Dia menyusun rencana untuk membuat Renata menderita dengan menikahinya. Yang ia inginkan hanyalah membuat wanita itu berada pada titik terendah dalam hidupnya. Bukan hanya dendam, Anggara juga terjebak dengan cinta yang perlahan tumbuh di hati untuk Renata. Apakah yang akan terjadi selanjutnya ketika Renata dan Anggara terjebak di antara cinta dan dendam?
BAB 1: Harapan Tak Seindah Kenyataan
Renata
“Setelah syuting selesai, maukah kamu menikah denganku?”
Seulas senyum tergambar di paras tampan seorang pria yang sedang berlutut di hadapan seorang wanita cantik. Sorot penuh cinta terpancar dari sepasang netra hitam. Tangannya terulur ke depan dengan sebuah kotak hitam kecil berisikan cincin.
Sementara seorang wanita berdiri dengan tatapan haru. Jantung bertalu-talu mendengar perkataan sang Kekasih yang telah dipacari selama lima tahun. Perlahan kepala mengangguk, berganti gerakan cepat dengan senyum mengembang.
“Aku mau, Pras,” sahut wanita tersebut seraya menyelipkan sebagian rambut yang turun karena anggukan barusan. Dalam hitungan detik jari-jari panjang nan lentik miliknya telah berada di depan wajah Prasetya.
“Cantik, pas di jari kamu, Re,” puji Pras setelah menyematkan cincin tersebut di jari manis kiri milik Renata. Sebuah kecupan diberikan di punggung tangannya.
Prasetya berdiri, lalu memeluk erat tubuh ramping tersebut. “Bersabar sedikit lagi, aku akan umumkan ke publik kalau kamu adalah kekasihku dan kita akan segera menikah,” ujarnya setelah pelukan longgar.
“Emangnya kamu nggak takut kehilangan popularitas?” tanya Renata menatap netra hitam pekat Pras.
Pria itu menggeleng ke kiri dan kanan. “Bersyukur aku hidup di Indonesia, jadi pernikahan tidak akan berpengaruh dengan karirku.”
Renata tergelak, kemudian berdecak sembari menepuk pelan dada bidang Prasetya. “Kamu sekarang udah terkenal loh. Karir kamu lagi bagus-bagusnya. Bayangin minggu depan udah mulai syuting jadi pemeran utama,” balasnya dengan mata melebar.
“Lalu aku harus gimana? Kita tidak jadi menikah?” Prasetya mengusap lembut pinggir pipi Renata, sebelum memberi kecupan di bibirnya.
“Kamu sangat berarti bagiku, Re. Aku bisa sampai di puncak karir seperti sekarang juga karena dukunganmu. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk tidak menikahimu,” sambung pria bertubuh tinggi itu lagi.
Lagi-lagi senyum terukir di bibir berisi milik Renata. Dia tidak pernah menyangka, Pras akan setia dengannya meski telah menyandang status seorang selebriti. Pemain sinetron dan film yang sebentar lagi akan memulai syuting film perdana sebagai pemeran utama.
“Sekarang kita rayakan ini dengan makan malam di luar.” Pras mengulurkan tangan menyambut kehadiran Renata.
Wanita itu langsung meraih sling bag dari sofa, lalu dicantolkan di bahu kanan. Setelahnya, ia menautkan tangan sebelum melangkah bergandengan dengan Pras menuju pintu keluar kontrakan.
Begitu tiba di samping mobil, Pras membukakan pintu penumpang dan mempersilakan Renata untuk masuk terlebih dahulu. “Silakan masuk, Bidadariku sayang.”
Lagi-lagi Rena tersenyum melihat perlakuan manis dari Pras yang tidak berubah meski telah bertahun-tahun memadu kasih. Awalnya, ia berpikir pria itu akan meninggalkan dirinya setelah menjadi artis terkenal. Namun ternyata, Prasetya masih mencintai Renata sama seperti dulu.
“Pras,” panggil Rena setelah berada di dalam perjalanan menuju restoran yang menyimpan begitu banyak kenangan di antara mereka.
“Kenapa, Sayang?” Pras menoleh ke samping kiri sebentar.
Renata menatap lurus ke depan, melihat jalanan yang hanya diterangi lampu jalan dan lampu mobil yang lalu lalang.
“Apa kamu nggak pernah sekali pun tertarik dengan perempuan yang pernah jadi lawan mainmu?”
Kening Prasetya berkerut mendengar pertanyaan kekasihnya. Tawa pelan keluar dari bibir tipis di bagian atas dan berisi di bagian bawah tersebut. Tatapan mata elangnya, berpindah lagi ke tempat Renata duduk.
“Tumben kamu tanya begitu?”
“Khawatir aja. Mereka ‘kan cantik-cantik. Perawatan lengkap.” Wanita itu menundukkan kepala ketika merasa tidak pantas mendampingi Prasetya. “Sedangkan aku—”
“Kamu ngomong apa sih, Sayang?” sela Pras sebelum Renata melanjutkan perkataannya. “Bagiku, kamu adalah wanita paling cantik yang pernah kutemui. Kamu baik, sederhana dan tulus.”
Pras meraih jemari Renata, lantas memberi kecupan di sana. “Kamu bisa perawatan lengkap juga nanti. Pasti tambah cantik,” tuturnya menghibur sang Kekasih.
Tiba-tiba petir menyela percakapan sepasang kekasih tersebut, disusul dengan hujan yang tiba-tiba turun rapat membasahi bumi. Sontak membuat Renata terperanjat, karena tidak pernah menyangka hujan akan datang.
“Perasaan tadi masih cerah. Kenapa tiba-tiba hujan?” gumam Pras memajukan sedikit tubuh ke depan, agar bisa melihat langit yang tiba-tiba pekat. Tidak ada lagi bintang yang tadi menghiasi langit dan menemani sinar rembulan.
“Iya. Cuaca kayaknya nggak bisa diprediksi sekarang,” sahut Renata.
Pras memperdalam pijakan gas, sehingga kendaraan jenis sedan tersebut melaju dengan cepat di jalan yang mulai sepi. Dia sudah tidak sabar merayakan kesuksesan karir di dunia entertainment dan juga lamaran yang diterima oleh Renata. Ditambah lagi ia tidak terlalu suka mengemudi di tengah hujan.
“Pelan-pelan aja, Sayang. Nggak perlu buru-buru.” Renata mengamati jalanan yang sepi. Tidak ada kendaraan melintas di sini, karena jalan ini baru saja selesai dibangun.
“Kamu tahu sendiri, Re. Aku tidak suka berkendara hujan-hujan begini.”
Renata manggut-manggut paham, karena sudah tahu persis bagaimana Prasetya. “Tapi harus hati-hati. Jangan sam—”
BRAAAK!!
Mobil yang dikendarai oleh Pras langsung berhenti ketika bagian depan menghantam sesuatu. Tubuh yang sempat huyung ke depan, kembali tegak seiringan dengan kepala mendongak, melihat ke bagian depan kendaraan.
“Apa itu, Pras?” bisik Renata was-was seraya meraba kening yang sempat terbentur kaca jendela.
Prasetya menggelengkan kepala sambil melepas sabuk pengaman. “Kamu tunggu di sini dulu. Biar aku cek sebentar. Mungkin tertabrak pembatas jalan atau drum.”
Kening Renata berkerut bingung, karena tidak mungkin yang ditabrak tadi adalah pembatas jalan. Suara dentuman begitu keras. Hujan deras ditambah lagi dengan penerangan yang minim, membuat jarak pandang menjadi terbatas.
“Hati-hati ya. Pakai payung ini,” ucap Renata menyerahkan payung sebelum Pras turun dari kendaraan.
Jantung Renata berdebar cepat menanti kabar dari Pras. Dia berharap semoga saja tidak ada masalah berarti dan yang ditabrak barusan bukan orang. Kedua tangan bersedekap di depan dada, seraya melafalkan doa. Mata hitam lebar miliknya tertutup rapat di sela rasa cemas luar biasa.
Rena mengalihkan pandangan ke luar mobil, mencari tahu keadaan di sana. Namun hasilnya nihil, kaca mobil yang dibasahi derai hujan menghambat penglihatan. Menunggu Pras kembali lagi adalah pilihan yang tepat daripada menduga-duga.
Selang sepuluh menit kemudian, Pras muncul setelah membuka pintu kemudi. Wajahnya tampak pucat dan sedikit tegang.
“Ada apa, Pras? Apa yang ditabrak barusan?” Renata tidak dapat menyembunyikan rasa penasaran.
Netra elang Prasetya bergerak pelan ke arah Renata duduk. “Bukan apa-apa,” sahutnya setelah jeda beberapa menit.
“Beneran nggak ada yang ditabrak?” Wanita itu kembali memastikan. Lima tahun lebih mengenal Pras, ia tahu ada yang disembunyikan saat ini.
“Kita balik ke kontrakan lagi sekarang.” Pras kembali memasangkan sabuk pengaman.
“Kenapa mau balik lagi? Nggak jadi ke—”
“Karena hujan, Re. Lebih baik di kontrakan, kita bercinta di sana daripada hujan-hujanan,” tukas Pras tersenyum ragu.
Renata mengangguk pelan dengan bibir terkatup rapat. Dia meraih tangan Pras yang bersiap mengganti tuas gigi. Tangan itu terasa dingin dan sedikit gemetar.
“Kamu pasti kaget ya?” tebak Renata mengurungkan niat Pras untuk menyalakan mesin.
Kepala yang dihiasi rambut model ivy league tersebut bergerak ke atas dan bawah. Pandangan Pras beralih ke arah Renata yang membuka sabuk pengaman.
“Pindah sini, biar aku aja yang nyetir,” suruh Renata sembari membuka tuas pintu.
“Jangan! Kamu pindah ke sini saja, biar aku yang turun,” henti Pras menutup lagi pintu penumpang.
Tanpa menunggu jawaban, Pras segera berlari menuju pintu penumpang. Sementara Renata hanya berpindah tempat ke kursi kemudi, tanpa keluar dari kendaraan.
Renata menoleh ke tempat Pras yang hening saat mesin mobil dinyalakan. Dia bisa melihat perubahan dari sikap kekasihnya sekarang. Alih-alih bertanya lagi, ia memilih memundurkan mobil sebelum mengambil jalan di jalur kanan.
Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada percakapan yang menemani seperti sebelumnya. Pras masih diam di balik wajah yang memutih, hingga mereka tiba kembali di kontrakan yang hanya memiliki satu kamar berukuran kecil.
“Ganti pakaian dulu gih, baju kamu basah,” anjur Renata menyerahkan satu setel pakaian yang sering dikenakan Pras ketika menginap di sini. Dia juga mengeluarkan pakaian untuk mengganti baju yang basah karena terkena hujan saat turun dari mobil.
Bukannya mengenakan pakaian tersebut, Pras malah memeluk kekasihnya erat. Napas menderu keluar dari sela bibir, tepat di samping telinga Renata.
“Aku harus gimana, Re?” bisiknya pelan dengan tubuh mulai bergetar.
Renata melonggarkan pelukan, lalu memutar balik badan. Tilikan netra hitam itu bergerak mengitari paras Prasetya yang begitu ketakutan.
“Apa ini berkaitan dengan kejadian tadi?”
Mata elang Pras berkedip sebentar, sebelum kepala menunduk. Dia terhenyak di lantai sembari memukul dada yang terasa sesak.
“Wanita itu … tidak bergerak, Re,” ungkapnya menengadahkan lagi kepala.
“Wanita itu gimana, Pras? Coba jelaskan. Aku nggak ngerti.” Renata ikut duduk di lantai sambil meraih kedua pipi Pras. Dia menatap lekat sepasang manik hitam tajam tersebut.
“Karirku hancur, jika wanita itu meninggal, Re.”
Tangan Renata perlahan turun ke bawah ketika tahu Pras baru saja menabrak seorang wanita. Pria itu malah pergi meninggalkannya, karena takut terjerat hukum. Kebahagiaan yang dirasakan satu jam lalu, kini sirna begitu saja. Rupanya harapan tidak seindah kenyataan.
Apa yang harus dilakukannya sekarang? Akankah menghubungi polisi, agar bisa menyelamatkan wanita yang ditabrak oleh Pras? Ataukah bersikap pura-pura tidak terjadi apa-apa? Toh jalanan sepi dan tidak ada saksi mata yang melihat kejadian tadi.
Bersambung....
