Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 4: Sidang Vonis

Anggara

Beberapa bulan kemudian

Anggara sedang duduk termenung menatap pigura foto pernikahan yang ada di atas meja. Saat itu ia dan Viona tampak begitu bahagia. Senyum merekah menghiasi wajah keduanya di hari yang sangat sakral.

Mereka berdua memutuskan menikah setelah dua tahun menjalin hubungan serius. Kesabaran dan pengertian Viona terhadap pekerjaannya, membuat Anggara memutuskan menikah tanpa keraguan sedikitpun. Selama pernikahan, wanita itu tidak pernah mengeluh kesepian saat dirinya harus ditinggalkan berhari-hari, jika ada syuting di luar kota.

Kini sesal demi sesal menjajal di hati Anggara, karena hanya sedikit kenangan yang bisa diukir bersama Viona. Berbagai kata andai bermunculan di benak. Andai ia memprioritaskan sang Istri dari pekerjaan, andai pada sore hari itu ia meluangkan waktu mengantarkannya, tentu kecelakaan itu tidak akan terjadi. Paling tidak, banyak memori yang bisa diingat sekarang.

Air mata penyesalan menggenang di manik hitam kecil pria itu. Dia meraih pigura dari atas meja, kemudian membelai lembut wajah yang menyuguhkan kecantikan alami tersebut. Hatinya hancur berkeping menyadari tidak ada lagi Viona di sisi.

“Maafkan aku, Vi. Seharusnya aku temani kamu hari itu,” sesalnya terdengar memilukan.

Tubuh tinggi itu bergetar saat suara tangis lagi-lagi meluncur tanpa malu dari sela bibir kecil yang memiliki belahan di bagian bawah. Tangan besar Anggara terangkat ke atas, memukul pelan dada sendiri ketika nyeri menyergap di relung hati.

Suara ketukan pintu membuat tubuh Anggara kembali tegak bersandar di kursi. Dia langsung menyeka air mata yang menetes di pipi dengan tisu.

“Masuk,” sahutnya melempar tisu ke tempat sampah tak jauh dari sana.

Dalam hitungan detik, seorang perempuan berambut pendek muncul di sela pintu.

“Maaf, Pak. Ada Pak Jacky ingin bertemu,” kata sekretaris yang mengenakan setelan blus lengan panjang dipadu dengan rok selutut.

“Suruh masuk,” tanggap Anggara seraya membenarkan posisi jas yang dikenakan.

Perempuan berparas cantik itu mengangguk singkat, lalu kembali lagi ke luar ruangan. Tak lama kemudian seorang pria bertubuh tambun memasuki ruangan CEO.

“Apa saya mengganggu Anda, Pak CEO?” canda Jacky melangkah memasuki ruangan.

Anggara berdecak lantas beranjak menuju sofa. Dia mempersilakan Jacky duduk di sofa single tak jauh dari tempatnya duduk.

“Gimana kabar lo?” tanya Jacky mengamati raut wajah Anggara.

“Lo habis nangis?” tebaknya lagi kemudian.

Bahu bidang Anggara bergerak naik ke atas, sebelum turun lagi perlahan ke bawah.

Jacky menarik napas pelan, lalu mengembuskannya perlahan. “Perkembangan sidang gimana?”

“Besok sidang vonis.” Anggara melirik ke arah plafon yang didominasi warna putih dan hitam. “Gue berharap wanita itu bisa dihukum seberat-beratnya.”

“Gue masih nggak nyangka pelakunya perempuan, Ga.” Jacky membenarkan posisi duduk, lalu menumpu kedua tangan di atas paha. “Tapi beneran dia pelakunya, ‘kan?”

Anggara menganggukkan kepala. “Mobil yang menabrak Viona atas nama dia. Mobil itu juga rusak di bagian depan. Menurut polisi cocok dengan analisa posisi bagaimana Viona ditabrak.”

“Hal ini diperkuat dengan pengakuan dari pelaku. Wanita itu mengaku kalau tidak tahu ada orang yang ditabrak,” lanjut Anggara.

Jacky geleng-geleng kepala. Desahan pelan meluncur dari sela bibirnya.

“Semua orang bisa kasih seribu alasan, Ga. Yah, semoga aja orang itu mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.”

Jacky kembali bersandar lagi di punggung sofa. Kepala yang dihiasi rambut panjang dikuncir itu menoleh ke tempat Anggara.

“Besok lo datang ke sidang?” Jacky kembali mengajukan pertanyaan.

Anggara memilih untuk tidak datang pada sidang sebelumnya, karena tidak ingin mendengar detail kejadian. Dia juga enggan datang pada reka adegan kecelakaan saat proses penyidikan.

“Gue harus datang agar bisa memastikan wanita itu mendapatkan hukuman yang berat,” tanggap Anggara tersenyum miring, “dia harus mendekam di penjara selama mungkin.”

“Kejam banget lo jadi orang.”

“Dia lebih kejam lagi, Jack. Lo pikir gue percaya dengan alasan yang diberikan kepada polisi?” Anggara tertawa singkat saat menggenggam erat kedua tangan. “Mana mungkin dia tidak bisa membedakan benda apa yang ditabrak? Itu orang, Jack. Sederas apapun hujan, pasti bisa lihat tubuhnya terpental.”

“Itu sih yang bikin gue curiga. Paling dia ketakutan, jadinya langsung pergi begitu aja,” komentar Jacky menduga.

Pria bermata kecil itu memangku kedua tangan saat ingat pertemuannya dengan Renata beberapa bulan lalu. Dia bisa melihat bagaimana wanita tersebut ketakutan. Renata bahkan tidak berani memandang wajah Anggara waktu itu.

“Gue harus bikin dia lebih menderita lagi, Jack.”

“Maksud lo?” Tubuh Jacky kembali tegak mendengar perkataan Anggara. “Jangan bilang lo bakalan ….”

Senyum tipis tergambar di wajah tampan Anggara. Tatapan dingin itu berganti tajam.

“Terlalu mudah bikin dia menderita di penjara, Jack.” Anggara tersenyum licik seraya memantik jari. “Semua bisa dilakukan dengan uang.”

“Emang mau sampai menderita kayak apa sih, Ga? Selama kasus ini dalam proses penyidikan, wajahnya muncul di mana-mana loh.” Jacky menarik napas singkat, sebelum melanjutkan perkataannya. “Bayangin, dia diberitakan di TV, media elektronik dan cetak. Tekanan mental nggak main-main itu.”

“Jika dia punya keluarga, pasti malu banget,” tambah Jacky memelankan suara. Seketika ia merasa iba dengan Renata.

“Dia pantas merasakannya, Jack.”

Jacky berdiri, lalu berdiri di samping tempat Anggara duduk. Pria itu menepuk pelan pundak sahabatnya seraya mengembuskan napas lesu.

“Hati-hati. Jangan terlalu benci sama orang, Ga. Benci adalah bentuk lain dari mencurahkan rasa sayang terhadap seseorang.”

Anggara mendongakkan kepala, sehingga sorot protes terlihat jelas di parasnya. “Sekali pembunuh, bagi gue tetap pembunuh, Jack. Tidak akan ada rasa lain, selain benci di hati gue.”

***

Keesokan hari, menjelang sidang putusan

Anggara memasuki ruang sidang kasus tabrak lari yang telah merenggut nyawa istrinya. Dia sengaja tidak hadir saat awal sidang, karena malas mendengarkan ringkasan persidangan yang panjang. Pria itu memilih duduk di kursi paling belakang, agar tidak ada yang menyadari kehadirannya di sana.

Pandangan mata hitam kecil Anggara berpindah ke arah Renata yang menundukkan kepala. Wajah wanita itu tampak lebih pucat dari terakhir kali bertemu di kantor polisi, empat bulan yang lalu. Tubuhnya menyusut, sehingga terlihat lebih kurus. Pipi yang sebelumnya berisi, kini menjadi tirus.

Seringaian tergambar jelas di wajah Anggara ketika melihat kondisi Renata saat ini. Begitu sidang berakhir, wanita itu akan dibawa ke lapas (Lembaga Pemasyarakatan) khusus wanita. Pria itu telah meminta pihak lapas, agar menempatkan Renata di sel yang sama dengan pelaku pembunuhan.

“Suruh orang dalam mempersiapkan semuanya. Jangan sampai wanita itu ditempatkan di sel tahanan lain.” Anggara menginstruksikan kepada asistennya dengan memelankan suara.

“Baik, Pak,” sahut orang kepercayaannya itu.

Tilikan netra hitamnya berpindah ke depan, karena hakim akan membacakan vonis terhadap Renata.

“Berdasarkan keterangan saksi dan bukti yang telah dihadirkan pada persidangan. Dengan ini, pengadilan memutuskan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara enam tahun dan denda sebesar sepuluh juta rupiah.” Hakim mengetuk palu tiga kali, sebelum sidang ditutup.

Anggara tersenyum puas, karena Renata dijatuhi hukuman maksimal. Menurutnya wanita tersebut pantas mendekam di penjara selama enam tahun. Setelah keluar dari penjara, ia tetap tidak akan melepaskannya begitu saja.

“Jangan harap kamu bisa menjalani hidup normal lagi setelah ini,” gumamnya pelan.

Selang beberapa saat kemudian, senyum Anggara memudar ketika melihat Renata berjalan menuju pintu keluar dengan tangan diborgol dan dibimbing oleh dua orang petugas. Mata hitam milik lelaki itu tidak berkedip sedikitpun ketika melihat perut wanita yang sangat dibencinya membuncit.

Dia hamil? batinnya kebingungan.

Bersambung....

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel