BAB 3: Pengorban Renata
Renata
Suasana begitu hening di dalam ruang penyidikan kantor polisi. Hanya terdengar suara tarikan dan embusan napas yang meluncur dari sela bibir dan hidung Renata bergantian. Jari-jari yang berada di atas paha saling bertautan satu sama lain. Menggenggam erat di sela gelisah yang luar biasa.
Sungguh tidak menyangka kasus tabrak lari ini tidak ditangani oleh Satuan Lalu Lintas, melainkan bagian kriminal.
“Kalau aku serahkan diri ke polisi, karirku bisa hancur, Re.” Kalimat yang dilontarkan oleh Prasetya tadi malam kembali teringat.
“Bahaya kalau polisi bisa tahu, Sayang. Sebaiknya kita ke lokasi lagi, bantu korban tadi. Siapa tahu masih hidup, ‘kan?” saran Renata setelahnya.
“Sama saja bunuh diri, Re. Aku tidak bisa kembali ke sana. Gimana kalau ada yang lihat dan kenali aku?”
Pras menjadi egois ketika membayangkan kerja kerasnya selama lima tahun menjadi hancur berantakan, karena masalah ini. Dia tidak bisa mengorbankan karir yang sedang berada di puncak, demi mengakui kesalahan yang tidak sengaja dilakukan.
Suara pintu ditutup menyentakkan lamunan Renata. Pandangan netra hitam lebar itu naik ke atas di sela jantung bertalu-talu. Dia melihat seorang penyidik meletakkan laptop dan menarik kursi yang ada di depannya, lalu duduk di sana.
“Saya AIPDA Hadi, penyidik pembantu untuk kasus tabrak lari dengan korban bernama Viona Utami.” Penyidik memperkenalkan diri sebelum mulai melakukan penyidikan. “Mohon kerja sama saudari, selama proses interogasi berlangsung. Berikan keterangan dengan sejujurnya tanpa menyembunyikan satu fakta sedikitpun.”
Renata menelan ludah mendengar perkataan penyidik barusan. Dia diminta untuk berterus terang dalam memberi keterangan. Ibu jarinya langsung mengusap punggung tangan untuk mengatasi rasa gugup. Otaknya langsung memikirkan alasan apa yang akan diberikan, agar polisi yakin bahwa dirinya adalah pengendara telah menabrak seorang perempuan tadi malam.
“Kamu nggak perlu khawatir, Pras. Biar aku yang mengakuinya.” Itulah yang dikatakan oleh Renata tadi pagi, sebelum Prasetya pergi dari kontrakannya.
“Apa maksud kamu, Re?”
“Aku akan datang menyerahkan diri ke kantor polisi dan mengakui bahwa akulah yang menabrak wanita itu,” jelas Renata membuat Pras gusar bukan main.
Pria itu langsung menolak mentah-mentah usulan Renata. Dia sama sekali tidak setuju, jika wanita tersebut mengorbankan diri dan mengakui kesalahan yang tidak diperbuat.
“Aku nggak mau karir yang udah kamu raih susah payah, jadi hancur karena kasus ini. Lagian mobil juga atas namaku, pasti polisi akan percaya.”
Renata masih bersikeras, karena tidak ingin karir Prasetya berada di ujung tanduk. Dia tahu persis perjuangan yang dilalui pria itu sebelum mencapai tahap sekarang. Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya Pras setuju dengan usulan Renata.
“Aku akan carikan pengacara yang bagus, agar tuntutanmu bisa dikurangi,” janji Pras sebelum mereka berpisah pagi ini.
Dan di sinilah wanita itu berada sekarang, di sebuah ruangan berukuran kecil dan diterangi lampu redup. Hanya ada dirinya dan seorang penyidik muda berusia sekitar tiga puluhan tahun.
“Renata Adriani, usia 24 tahun. Pekerjaan sebagai pegawai wardrobe di salah satu rumah produksi.” Penyidik membaca riwayat hidup Renata satu per satu. “Tidak pernah terlibat tindak kriminal. Memperoleh SIM A sejak usia 19 tahun.”
Pria yang mengenakan pakaian dengan tulisan ‘Turn Back Crime’ tersebut menegakkan penglihatan kepada Renata. Tubuhnya maju sedikit ketika kedua tangan bertumpu di atas meja.
“Artinya saudari sudah memiliki pengalaman mengemudi kurang lebih lima tahun.” Pria bermata cokelat itu kembali melihat layar laptop dengan kening berkerut. Dia membaca alasan yang diutarakan oleh Renata ketika menyerahkan diri berulang-ulang.
“Tidak suka mengemudi saat hujan?” gumamnya pelan. Hadi memundurkan lagi tubuh ke belakang seraya memangku tangan di depan dada.
“Apa selama ini saudari tidak pernah mengemudi ketika hujan?” selidiknya menatap curiga.
“Saya … saya tidak terlalu suka mengemudi ketika hujan, Pak,” sahut Renata gugup.
Hadi menarik napas berat sebelum melihat lagi ke layar laptop. “Saudari juga bekerja sebagai driver taksi online. Apakah selama menjadi driver taksi, saudari tidak pernah mengemudi saat hujan?”
Bola mata Renata bergerak tidak tenang ketika memikirkan jawaban yang akan diberikan. Hujan tidak pernah menjadi penghalang baginya berkendara selama ini. Lantas apa yang akan dikatakannya?
“Biasanya saya memelankan laju kendaraan, Pak,” jawab Renata berbohong.
“Berdasarkan cedera yang ada pada tubuh korban, kendaraan yang menabraknya dalam kecepatan tinggi.” Mata coklat milik Hadi berkedip pelan, sebelum mengecil. “Apakah benar saudari yang mengemudikan kendaraan tersebut?”
Kepala Renata kembali menunduk dalam. Dia tidak ingin penyidik tahu bahwa pengakuannya palsu. Sejak dulu, ia tidak bisa berbohong, karena orang-orang akan tahu dari sorot matanya.
“Hukuman atas tabrak lari yang mengakibatkan korban tewas adalah enam tahun penjara. Saudari akan dikenakan pasal berlapis, sehingga masa hukuman bisa ditambah. Apalagi korban bukan orang sembarangan. Almarhumah adalah istri dari orang terpandang di negeri ini,” jelas Hadi berusaha memancing Renata, agar jujur mengatakan yang sebenarnya.
Hadi curiga wanita itu tidak pergi seorang diri tadi malam. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari tetangga, Renata pergi dengan seorang pria beberapa saat sebelum kecelakaan terjadi.
“Saya beri waktu berpikir satu jam. Saya berharap, saudari bisa memberitahukan yang sebenarnya jika tidak ingin mendekam di penjara atas kesalahan orang lain,” pungkas Hadi sebelum meninggalkan ruangan penyidik.
Manik hitam bulat tersebut berkedip pelan saat mendengar perkataan penyidik barusan. Ternyata polisi tidak mudah percaya begitu saja dengan pengakuannya. Apalagi ada yang mengetahui keberadaan Prasetya di kontrakan tadi malam.
Kepala Renata menggeleng pelan ketika keraguan menyergap. Nyali menjadi ciut membayangkan apa yang akan terjadi kepada dirinya, jika dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Vonis yang dijatuhkan bisa lebih dari enam tahun, andai keluarga korban menggunakan kekuasaan.
Bagaimana dengan masa depannya? Cita-cita yang selama ini diimpikan, pasti akan sirna begitu saja. Belum lagi reaksi orang tua di kampung halaman, begitu tahu kasus yang menimpa Renata. Kedua tangannya saling mengepal erat di atas paha ketika terjadi perang batin.
BRAAAK!!
Tiba-tiba terdengar suara pintu ruangan dibanting. Sontak membuat Renata terperanjat, sehingga jantung berdebar kencang seiringan dengan tubuh bergetar. Dia melihat seorang pria berpakaian serba hitam memasuki ruangan dengan wajah tidak bersahabat. Rambut model quiff tampak berantakan menghiasi kepala.
Dalam hitungan detik, tangan pria itu telah mencengkeram erat rahang Renata. Sorot mata kecil hitam sayu tersebut menatapnya tajam, seakan menembus hingga ke dalam tubuh. Rahang tegas milik Anggara mengeras sebelum memuntahkan kata-kata.
Renata semakin ketakutan, sehingga matanya terpejam erat. Tidak ada keberanian melihat pria itu.
“Dasar wanita tak berperasaan!” geram Anggara menahan volume suara, “puas kamu merenggut nyawa istri dan calon anakku?”
Anak? Wanita itu sedang hamil? Kenapa Pras nggak bilang? racau hati Renata tak bisa menutupi rasa terkejut.
“Andai kamu bawa istriku ke rumah sakit, dia pasti sudah hidup sekarang.” Pegangan tangan Anggara semakin mengerat di leher atas Renata, sehingga membuatnya kesulitan bernapas.
Wanita itu masih hidup? Bukannya Pras bilang dia udah nggak bergerak lagi? batinnya lagi heran.
“Di mana hati nuranimu?” sambung Anggara dengan suara bergetar, “kenapa kamu tega meninggalkan istriku menahan sakit, sekarat di tengah hujan? Hah?!”
“Buka matamu, wanita sialan!” bentak Anggara dengan napas menderu menerpa wajah Renata.
Netra hitam lebar itu masih terpejam erat. Berbagai rasa kini berkecamuk di dalam dada. Mulai dari fakta yang ditutupi oleh Pras tentang wanita yang ditabraknya. Mustahil jika pria itu tidak tahu korban tersebut sedang hamil.
“Aku bersumpah akan membuatmu menderita. Jangan pernah berpikir kamu akan hidup dengan tenang setelah ini.” Anggara mendekatkan wajah sehingga matanya menjelajahi wajah Renata yang pucat karena ketakutan. “Akan kubuat kamu merasakan apa yang kurasakan saat ini. Sakit, sedih dan kesepian. Itulah yang akan kamu lalui mulai hari ini.”
Bersambung....
