BAB 2: Selamat Jalan Kekasih
Anggara
“Aku nggak sabar nunggu anak kita lahir.”
Penggalan kalimat yang diucapkan oleh seorang wanita satu minggu sebelumnya kembali terngiang. Mata hitam kecil itu menatap sendu batu nisan yang bertuliskan nama Viona Utami. Masih segar dalam ingatannya kebahagiaan yang terpancar dari sorot mata sipit perempuan itu saat mengetahui kehamilannya.
Lima tahun pernikahan, akhirnya penantian suami-istri tersebut berbuah manis. Sang Istri mengandung buah hati yang telah ditunggu-tunggu dalam waktu yang lama.
“Anggara. Kita balik ke rumah sekarang,” kata seorang pria menepuk pundak sahabatnya.
Lelaki bernama Anggara itu menggeleng pelan. “Gue masih mau di sini dulu, Jack.”
Jari telunjuk pria itu bergerak menyeka ujung mata yang masih berair. Kebahagiaan yang terasa bulan lalu, kini sirna tak berbekas. Anak yang dinantikan, telah dibawa oleh Viona yang tewas dalam kecelakaan tadi malam. Tidak ada lagi kesenangan hinggap di hati, hanya rasa sedih dan marah yang mendominasi.
“Berdasarkan hasil pemeriksaan, korban tewas dua jam setelah kecelakaan terjadi. Andai segera dibawa ke rumah sakit, nyawa korban masih bisa diselamatkan.” Perkataan yang diucapkan oleh dokter dini hari tadi kembali melintas di telinga Anggara.
Mata yang tadi menatap sedih, kini berubah tajam. Rahang tegas yang membingkai wajah oval Anggara tampak mengeras.
“Suruh polisi untuk selidiki kecelakaan ini sampai tuntas. Jangan pernah biarkan pelaku tabrak lari itu lolos,” titahnya kepada asisten pribadi yang berdiri di samping kiri.
“Baik, Pak,” sahut pria lain bertubuh tinggi kurus.
“Kerahkan juga detektif swasta untuk mencari siapa pelakunya,” kata Anggara lagi.
Laki-laki yang sudah mengabdikan diri sebagai asisten pribadi selama sepuluh tahun tersebut menundukkan tubuh, sebelum beranjak dari area pemakaman.
Anggara kembali menatap batu nisan yang teronggok di bagian atas kuburan istrinya. Dengan hati luluh lantak, ia mengusap pinggir batu hitam tersebut seakan membelai wajah Viona.
“Maaf aku tidak bisa jaga kamu dengan baik, Vi,” ucapnya tercekat.
Mata hitam kecil itu terpejam beberapa saat, sebelum terbuka lagi. Anggara tampak murka setiap kali memikirkan pelaku tabrak lari yang tega membiarkan istrinya sekarat di pinggir jalan selama berjam-jam. Tak bisa dibayangkan bagaimana menderita Viona menjelang kematiannya, karena menahan rasa sakit akibat benturan keras di bagian kepala dan perut.
Aku bersumpah tidak akan membiarkan orang yang nabrak kamu hidup tenang, Sayang, batin Anggara geram.
Setelah berdiam diri di kuburan selama tiga puluh menit, pria itu langsung berdiri. Anggara menoleh ke tempat sahabatnya berada. Dia menepuk pelan pundak Jacky sebagai ucapan terima kasih, karena tidak meninggalkannya sendirian di sana.
“Antarkan gue ke lokasi kejadian sekarang, Jack,” pinta Anggara seraya mengerling ke arah mobil Jacky.
“Yakin, Ga?” sahut Jacky.
Kepala yang dihiasi rambut model quiff tersebut bergerak ke atas dan bawah tanpa ragu. “Gue mau pastikan di sana benar-benar tidak ada CCTV, seperti yang dikatakan polisi.”
Jacky berdecak pelan seraya geleng-geleng kepala. “Lo masih aja nggak bisa percaya 100% sama polisi, Ga. Jalan itu baru selesai dibikin, jadi belum dipasang CCTV.”
“Paling tidak pasti ada petunjuk lain yang tertinggal di lokasi kejadian.”
“Dari info polisi, katanya ada jejak ban karena berhenti mendadak.” Pria itu menghentikan langkah ketika berada di luar area pemakaman. Tubuhnya berputar sedikit ke kiri, agar bisa berhadapan dengan Anggara.
“Jejak itu juga memudar, Ga. Ingat, tadi malam hujan deras banget,” sambung Jacky lagi.
Anggara menghela napas, kemudian beranjak menuju pintu penumpang. Dia mengalihkan pandangan kepada Jack yang sudah duduk di kursi kemudi.
“Gue yakin, pasti ada petunjuk lain yang tertinggal di sana,” kata Anggara tanpa ragu.
“Gue berharap juga gitu, Ga,” balasnya menyalakan mesin mobil. Pria itu langsung menginjak gas, sehingga kendaraan Mitsubishi Pajero Sport berwarna putih meninggalkan area pemakaman.
“Lagian kenapa sih Viona bisa ada di daerah situ?” Pertanyaan yang sejak tadi mengendap di kepala Jacky, akhirnya keluar juga.
Tilikan netra hitam kecil Anggara berpindah ke tempat Jack duduk. “Tidak tahu. Dia bilang mau ketemu sama teman kemarin sore. Harusnya bukan daerah sana.”
Kening Jacky berkerut mendengar perkataan Anggara. “Mustinya lo temenin, bukan biarin dia pergi sendirian.”
Itulah penyesalan mendalam yang muncul di hati Anggara, membiarkan istrinya pergi seorang diri di saat usia kandungan menginjak lima bulan. Kesibukan sebagai produser sekaligus CEO di sebuah rumah produksi, membuatnya tidak bisa menemani Viona tadi malam. Apalagi ada persiapan film terbaru yang akan mulai syuting minggu depan.
“Anggara, Anggara. Lo kalau punya istri ya harus sediakan waktu dong. Sesibuk apa sih seorang produser sampai nggak punya waktu buat istri?” decak Jacky geleng-geleng kepala.
Orang yang dinasihati hanya menundukkan kepala dalam. Percuma berdebat, karena apa yang dikatakan sahabatnya benar. Selama lima tahun pernikahan, Anggara selalu sibuk dengan pekerjaan. Waktu yang diluangkan untuk Viona hanya sedikit. Bahkan kecelakaan yang menimpa sang Istri tak luput dari kelalaiannya sebagai seorang suami.
“Sorry kalau gue bikin lo kesel. Nggak seharusnya bahas ini sekarang, tapi kalau nggak dikeluarin ya susah juga.” Jacky menepuk pundak Anggara saat mengalihkan pandangan sekilas ke arah pria itu.
Anggara mengangguk singkat, karena sudah tahu dengan sifat sahabatnya yang satu ini. Dua puluh tahun mengenal Jacky, ia tahu persis kalau pria itu tidak bisa memendam apa yang ada di dalam kepalanya.
“Jadikan pelajaran buat lo ke depannya, Ga. Viona itu udah sabar banget sebagai istri. Bayangin untuk punya anak aja harus nunggu waktu lima tahun, karena lo nggak ada waktu buat dia,” tutur Jacky lagi.
Pandangan mata hitam kecil Anggara naik, lalu menatap lurus ke depan. Tampak genangan air di sana. Beribu penyesalan benar-benar menghantui dirinya.
Andai tahu Viona akan pergi secepat ini, tentu ia akan menjadikan istrinya sebagai prioritas di atas pekerjaan. Sangat disayangkan, semua telah terjadi. Wanita yang dicintai sekarang telah tiada. Anggara hanya bisa meratapi sedikit kenangan yang diukir bersama dengan Viona.
Getar ponsel di saku celana hitam yang dikenakan menyentakkan lamunan Anggara. Tangannya bergerak merogoh saku. Dalam hitungan detik netranya telah menangkap tampilan layar gadget pipih tersebut.
“Halo,” sapanya setelah menggeser tombol hijau.
“Ya halo, Bapak Anggara. Saya kepala tim yang menangani kasus tabrak lari Ibu Viona Utami,” balas polisi memperkenalkan diri. Anggara memang meminta bagian kriminal ikut turun tangan menangani kasus ini, karena khawatir jika berkaitan dengan persaingan bisnis.
Anggara langsung menegakkan tubuh. “Bagaimana, Pak? Apakah ada perkembangan?”
“Pelaku tabrak lari telah menyerahkan diri. Sekarang sedang ada di ruang penyidik,” info kepala tim tersebut.
Embusan napas lega meluncur dari sela bibir Anggara mendengar kabar yang disampaikan barusan. “Terima kasih, Pak. Saya segera ke sana,” pungkasnya mengakhiri panggilan.
“Rencana berubah, Jack. Segera ke kantor polisi sekarang! Orang itu sudah menyerahkan diri,” desisnya menahan amarah yang meluap.
Raut wajah Anggara berubah bengis seketika. Napas memburu keluar dari sela hidung ketika api seakan berkobar panas di dalam tubuh. Sebentar lagi, ia akan bertemu dengan pelaku yang tega meninggalkan istrinya di tengah hujan deras, menahan sakit sendirian menjelang ajal menjemput.
Aku bersumpah tidak akan pernah melepaskan orang itu. Akan kubuat dia menderita, seperti apa yang dirasakan oleh Viona menjelang kematiannya, janji Anggara di dalam hati.
Bersambung....
