Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Mulai ada keraguan

Angela terbangun dengan sinar matahari yang menyelinap melalui tirai tipis, menghangatkan kulitnya. Sebentar, ia lupa di mana dirinya berada, sampai aroma khas scotch dan parfum maskulin yang familiar mengingatkannya. Ia menggerakkan tubuhnya sedikit, merasakan kehangatan seseorang di sebelahnya. Pieter.

Ia menoleh pelan, melihat pria itu masih tertidur, nafasnya tenang, wajahnya tetap terlihat percaya diri bahkan dalam keadaan terlelap. Sepanjang malam, Pieter bukan hanya merayunya dengan kata-kata, tapi dengan sentuhan, dengan tatapan, dengan cara ia membuat Angela menyerah sepenuhnya pada perasaan yang selama ini selalu ia hindari.

Angela duduk di tepi ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, lalu menatap pemandangan kota yang terbentang di luar jendela. Apa yang telah ia lakukan? Ia tidak pernah membiarkan dirinya tenggelam dalam permainan seperti ini—tapi bersama Pieter, segalanya terasa berbeda. Seolah pria itu tahu bagaimana cara memecahkan pertahanannya tanpa memaksanya.

"Sudah bangun?"

Suara Pieter yang dalam membuat Angela menoleh. Pria itu kini menatapnya dengan mata yang masih sedikit mengantuk, tapi senyumannya tetap sama—percaya diri, penuh kendali.

Angela menghela napas, lalu tersenyum tipis. "Sepertinya begitu."

Pieter bangkit, duduk di belakangnya, menyentuhkan tangannya ke bahu Angela, membiarkan jemarinya bermain lembut di kulitnya. "Kau menyesal?" tanyanya, suaranya terdengar tenang, tapi Angela bisa merasakan bahwa pertanyaan itu lebih dari sekadar basa-basi.

Angela diam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Tidak. Hanya… aku tidak terbiasa dengan ini."

Pieter terkekeh, menarik Angela ke dalam pelukannya, membuatnya bersandar di dadanya. "Mungkin karena selama ini kau selalu berusaha menjaga jarak, selalu menghindari perasaan yang sebenarnya kau inginkan."

Angela mendesah, tidak menyangkal. "Dan kau pikir aku menginginkan ini?"

Pieter menelusuri garis rahangnya dengan lembut sebelum berbisik di telinganya. "Aku tahu kau menginginkannya. Pertanyaannya adalah… apakah kau cukup berani untuk mengakuinya?"

Angela menutup matanya sejenak, menikmati sentuhan Pieter yang membuatnya hampir kehilangan kewarasannya lagi. Ia tahu ini berbahaya. Pieter bukan pria yang bisa ia kendalikan. Tapi justru itu yang membuatnya semakin tertarik.

Dan mungkin, hanya mungkin… ia siap untuk mengambil risiko itu.

**

Angela menatap bayangan dirinya di kaca jendela, mencoba mengenali sosok yang kini terjebak dalam sesuatu yang tidak pernah ia rencanakan. Pieter masih di belakangnya, tubuhnya yang hangat memberikan sensasi yang aneh—antara nyaman dan berbahaya. Ia tidak terbiasa membiarkan seseorang begitu dekat, tapi anehnya, ia tidak ingin menjauh.

Pieter menyentuh pundaknya dengan lembut, lalu turun ke lengannya, jemarinya mengelus kulitnya dengan cara yang membuat Angela merinding. "Kau tahu, Angela…" bisiknya, suara itu hampir terdengar seperti mantera yang bisa menyesatkannya lebih dalam. "Aku tidak ingin ini menjadi sekadar satu malam."

Angela menegang, tapi Pieter tidak memberinya kesempatan untuk berpikir. Pria itu berbalik, kini berdiri di hadapannya, menangkup wajahnya dengan kedua tangan. "Aku ingin kau tetap di sisiku," lanjutnya, menatap mata Angela dengan begitu dalam hingga ia merasa tidak bisa berpaling. "Tidak hanya sebagai rekan dalam permainan ini, tapi juga sebagai seseorang yang benar-benar bisa kupahami… dan memahami aku."

Angela menghela napas, mencoba mengabaikan debaran di dadanya. "Pieter…" suaranya hampir seperti bisikan, ragu, takut, tapi juga penasaran. "Apa ini bagian dari permainanmu?"

Pieter tersenyum tipis, lalu mengecup dahinya dengan lembut, sesuatu yang lebih intim daripada semua sentuhan yang mereka bagi tadi malam. "Mungkin awalnya, ya," aku Pieter jujur. "Tapi sekarang… aku tidak yakin lagi mana yang permainan dan mana yang nyata."

Angela terdiam. Ia tidak tahu apakah ia bisa mempercayai kata-kata Pieter, atau apakah ini hanya bagian dari jebakan lain yang dirancang pria itu untuk mengikatnya lebih dalam. Tapi satu hal yang ia tahu jika ia tidak ingin meninggalkan ruangan ini. Tidak sekarang. Tidak ketika Pieter masih menatapnya seperti itu, seolah ia adalah satu-satunya hal yang berarti di dunia ini.

Jadi, tanpa menjawab, Angela hanya menarik Pieter lebih dekat, membiarkan dirinya tenggelam lebih dalam ke dalam kebingungan yang disebut cinta.

**

Setelah itu mereka mulai beraktifitas seperti biasa, Angela kembali bekerja, dan Pieter pun ikut penerbangan berikutnya.

Suara gelas beradu dengan dentingan halus memenuhi ruangan, bercampur dengan musik jazz yang mengalun pelan di sudut bar. Angela bergerak lincah di balik counter, menuangkan margarita untuk pelanggan dengan senyum profesional yang sudah menjadi kebiasaannya. Malam ini seharusnya terasa seperti malam-malam biasanya—tapi pikirannya terus melayang ke tempat lain.

Pieter.

Sudah dua belas jam sejak pria itu pergi untuk penerbangannya. Seharusnya itu tidak mengganggunya. Seharusnya ia tidak peduli. Tapi nyatanya, ponselnya sudah beberapa kali ia cek, berharap ada pesan atau sekadar tanda bahwa Pieter masih memikirkannya seperti ia memikirkan pria itu sekarang.

"Angela, ada pelanggan di ujung bar," suara Lisa, rekan kerjanya, membuyarkan lamunannya.

Angela mengangguk dan berjalan ke arah yang ditunjuk. Seorang pria duduk di sana, mengaduk whiskey-nya dengan malas. Tapi bukan itu yang menarik perhatiannya—melainkan kartu hitam elegan yang diletakkan pria itu di atas meja, kartu yang sama dengan yang Pieter berikan padanya beberapa malam lalu.

Angela menghentikan langkahnya sejenak, detak jantungnya sedikit meningkat. Ini bukan kebetulan.

"Angela, kan?" Pria itu akhirnya berbicara, menatapnya dengan senyum penuh arti. "Pieter bilang kau akan mengenali ini." Ia menepuk kartu itu pelan.

Angela menatapnya lekat-lekat, pikirannya langsung dipenuhi pertanyaan. Pieter mungkin sedang terbang ribuan kilometer dari sini, tapi jelas pria itu masih mengendalikannya, bahkan dari kejauhan.

"Siapa kau?" tanyanya, suaranya tetap tenang meskipun ada sesuatu yang mulai menggelitik nalurinya.

Pria itu tersenyum tipis, menyesap whiskey-nya sebelum menjawab, "Seseorang yang dikirim untuk memastikan kau tetap bermain dalam permainan ini."

Angela tetap berdiri di tempatnya, mencoba membaca ekspresi pria di depannya. Sorot matanya tenang, tapi ada sesuatu di balik senyumnya yang membuatnya merasa tidak sepenuhnya aman.

"Permainan apa?" Angela akhirnya bertanya, menyilangkan tangan di depan dadanya, berusaha tetap terlihat tidak terpengaruh.

Pria itu terkekeh pelan. "Oh, kau pasti tahu, Angela. Pieter bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa alasan." Ia mengetuk kartu hitam itu dengan jarinya. "Dan jika dia sudah memberimu ini, itu berarti kau lebih dari sekadar wanita yang ditemuinya di bar."

Angela berusaha mempertahankan ekspresi datarnya, tapi di dalam kepalanya, berbagai kemungkinan mulai bermunculan. Apa sebenarnya rencana Pieter? Mengapa ia meninggalkan kartu ini padanya seolah itu adalah sebuah undangan eksklusif?

Angela mengambil gelas kosong dari meja dan mulai membersihkannya, berpura-pura sibuk. "Kalau memang Pieter yang mengirimi mu, kenapa dia tidak mengatakan sendiri padaku sebelum dia pergi?"

Pria itu tersenyum miring, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Dia ingin melihat sejauh mana kau akan melangkah. Kau tahu bagaimana dia, kan? Selalu suka menguji."

Angela mendengus pelan. Ya, itu terdengar seperti Pieter.

"Apa yang dia ingin aku lakukan?"

Pria itu melirik kartu hitam itu sekali lagi, lalu menatap Angela dengan penuh minat. "Datang ke alamat di balik kartu ini. Besok malam. Pieter ingin kau melihat sendiri apa yang sebenarnya sedang ia bangun."

Angela menatap kartu itu dengan perasaan campur aduk. Ada bagian dari dirinya yang ingin menolak, ingin melupakan semua ini dan kembali menjalani hidupnya seperti biasa. Tapi ada bagian lain ,ya bagian yang lebih gelap, lebih penasaran dan yang ingin tahu apa yang sebenarnya sedang direncanakan Pieter.

"Dan jika aku menolak?" Angela menantang, menatap pria itu dengan mata tajam.

Pria itu tertawa kecil. "Kau bisa mencoba. Tapi aku yakin, kau tidak akan bisa menahan diri untuk tidak datang."

Angela tidak menjawab. Ia hanya menatap kartu hitam itu, jari-jarinya secara refleks menyentuh sudutnya.

Pria itu berdiri, menyelesaikan whiskey-nya dalam satu tegukan, lalu menaruh uang di meja. "Sampai jumpa besok malam, Angela," katanya sebelum berbalik pergi, meninggalkan Angela dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Saat pria itu menghilang di pintu keluar, Angela menghela napas panjang. Ia tahu seharusnya ia berhenti sekarang. Seharusnya ia membuang kartu itu dan melupakan Pieter.

Tapi ia juga tahu satu hal.

Ia tidak akan bisa menolak.

dan terdengar suara yang tengah memanggil namanya," Angelaaaa, ada buket untukmu,"

Angela menatap buket yang baru saja diterimanya, bukan bunga, melainkan lembaran uang seratus dolar yang dilipat rapi, disusun seperti kelopak mawar. Aroma khas kertas uang menguar di udara, mencampur dengan aroma espresso yang baru saja ia buat untuk seorang pelanggan.

Jantungnya berdebar.

Pesan kecil tersemat di antara lipatan uang itu. Dengan hati-hati, Angela menariknya keluar dan membaca tulisan yang ia kenali betul:

"Untuk sesuatu yang lebih indah daripada sekadar bunga. Gunakan sesukamu. Aku ingin melihat bagaimana kau menikmatinya. – P"

Angela menghela napas, menggigit bibirnya tanpa sadar. Pieter. Pria itu selalu tahu bagaimana membuatnya tetap terjebak dalam pusaran permainan ini.

Lisa, rekan kerjanya, bersiul pelan saat melihat isi buket tersebut. "Wow, Angela. Siapa pria yang mengirim mu ini? Kayaknya dia bukan tipe yang sekadar kasih mawar biasa."

Angela tersenyum samar, mencoba menyembunyikan gejolak dalam dirinya. "Hanya seseorang yang suka bermain dengan cara yang tidak biasa."

Lisa tertawa. "Kalau setiap pria seperti ini, aku rela ikut permainan mereka."

Angela tidak menjawab. Ia hanya menatap buket uang itu sekali lagi, merasakan sesuatu yang aneh merayapi dadanya. Bukan hanya karena kemewahan atau jumlah uang yang bisa ia habiskan sesukanya, tapi karena pesan tersembunyi di baliknya.

Pieter ingin menguji.

Pieter ingin melihat bagaimana ia akan bereaksi.

Dan yang lebih membuatnya gelisah—ia mulai menyukai permainan ini.

Tangannya meremas lembaran uang itu perlahan, lalu memasukkan buket tersebut ke dalam laci bar, seolah dengan cara itu ia bisa mengabaikan efeknya. Tapi nyatanya, pikirannya justru semakin dipenuhi bayangan Pieter.

Pria itu, dengan senyum percaya dirinya. Dengan sorot mata yang seolah bisa membaca isi pikirannya. Dengan cara halus tapi pasti, membuat Angela melangkah lebih dalam ke dalam dunianya.

Dan malam belum benar-benar dimulai.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel