Godaan dari sang pilot
Angela tidak tahu pasti kapan terakhir kali ia merasa seperti ini, seakan tengah berjalan di atas garis tipis antara kewarasan dan bahaya. Pieter Wadu adalah tipe pria yang berbahaya, dan bukan dalam cara yang biasa. Ada sesuatu tentangnya yang mengundang, seperti kilatan pisau di bawah cahaya. Memikat, namun bisa saja melukai dalam sekejap.
Mereka melangkah keluar dari bar, melewati deretan lampu neon yang berkedip malas di atas trotoar yang mulai lengang. Pieter tetap menggenggam tangannya, tidak erat, tapi cukup untuk memastikan Angela tidak berubah pikiran.
"Ke mana kita pergi?" tanya Angela, mencoba menjaga nada suaranya tetap ringan, meskipun ada ketegangan halus yang merambat di dalam dirinya.
Pieter tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil sebelum menuntunnya menuju mobil hitam yang terparkir di pinggir jalan. Seorang pria berbadan tegap membukakan pintu belakang untuk mereka. Pieter membiarkan Angela masuk lebih dulu sebelum ia sendiri duduk di sebelahnya.
"Percayalah, Angela. Aku tidak akan membawamu ke tempat yang membosankan," katanya akhirnya, saat mobil mulai melaju.
Angela mendengus kecil. "Dan bagaimana kalau aku tidak suka kejutan?"
Pieter meliriknya sekilas, sorot matanya penuh arti. "Aku rasa, kau justru menyukai misteri lebih dari yang kau akui."
Angela tidak bisa menyangkalnya. Ia selalu tertarik pada hal-hal yang sulit ditebak. Dan sejauh ini, Pieter adalah teka-teki paling menarik yang pernah ia temui.
Mobil melaju melewati pusat kota, lalu berbelok ke arah distrik yang lebih sepi. Jauh dari keramaian, jauh dari sorotan publik. Angela melirik ke luar jendela, memperhatikan bagaimana pemandangan berubah menjadi lebih eksklusif—gedung-gedung tinggi dengan arsitektur elegan, lampu-lampu jalan yang memberikan cahaya keemasan pada trotoar.
Ketika mobil berhenti di depan sebuah bangunan modern dengan kaca-kaca besar dan logo mewah di atas pintu masuknya, Angela mengangkat alis.
"Hotel?" tanyanya, nada suaranya setengah mengejek. "Klise sekali, Pieter."
Pieter hanya tertawa pelan, lalu membuka pintu mobil dan keluar. Ia berbalik, mengulurkan tangan ke Angela, seperti yang ia lakukan sebelumnya di bar.
"Tidak secepat itu," katanya. "Aku bukan pria yang melakukan hal-hal klise, Angela."
Angela menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menerima uluran tangannya. Pieter menuntunnya masuk ke dalam, melewati lobi yang elegan tanpa sedikit pun ragu. Mereka tidak berhenti di meja resepsionis, tidak bertanya apa pun. Hanya berjalan lurus ke arah lift pribadi di ujung lorong.
Angela menyadari sesuatu. "Kau sudah mengatur ini sebelumnya," gumamnya, setengah bertanya, setengah menyimpulkan.
Pieter menekan tombol lift, lalu menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Aku selalu merencanakan segalanya, Angela. Itu perbedaan antara pria biasa dan pria yang tahu apa yang dia inginkan."
Angela tidak membalas, tapi ia bisa merasakan debaran halus di dadanya saat pintu lift terbuka. Mereka masuk, dan begitu Pieter menekan lantai tertinggi, ia tahu ini bukan sekadar pertemuan biasa.
Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.
Dan entah kenapa, ia semakin ingin tahu ke mana semua ini akan membawanya.
**
Angela tidak suka kehilangan kendali. Itu adalah prinsip yang selalu ia pegang teguh dalam hidupnya. Tapi malam ini, segalanya terasa kabur, seperti benang yang perlahan ditarik dari simpul yang selama ini ia jaga dengan rapi.
Lift berhenti di lantai tertinggi, pintunya terbuka ke sebuah penthouse yang luas dengan jendela kaca dari lantai ke langit-langit. Pemandangan kota terhampar di depan mereka, kelap-kelip lampu malam menciptakan suasana yang nyaris romantis. Jika saja Angela percaya pada hal-hal semacam itu.
Pieter masuk lebih dulu, berjalan ke meja bar di sudut ruangan dan menuangkan dua gelas scotch. "Kau masih penasaran, Angela?" tanyanya, suaranya terdengar santai, tapi ada sesuatu di baliknya yang terasa… sengaja.
Angela mengambil gelas yang diberikan Pieter, tapi hanya memutar-mutar isinya, tidak langsung menyesap. "Aku lebih penasaran dengan niatmu sebenarnya," katanya, menatap Pieter dengan mata penuh selidik.
Pieter tersenyum tipis, lalu duduk di sofa, mengisyaratkan agar Angela melakukan hal yang sama. "Aku butuh seseorang yang bisa bermain dalam permainan ini, Angela. Seseorang yang cerdas, berani, dan cukup menarik untuk menyesatkan orang-orang yang ingin kuperdaya."
Angela menatapnya tanpa berkedip. "Dan kau pikir aku cocok untuk itu?"
Pieter mengangkat bahu. "Kau wanita yang sulit ditebak, sulit dikuasai, dan itu membuatmu semakin menarik. Siapa pun akan percaya jika kau dan aku adalah pasangan yang sempurna."
Angela tertawa kecil, tapi tidak ada humor di dalamnya. "Jadi kau ingin menyewa ku untuk berpura-pura menjadi kekasihmu?"
Pieter menyesap scotch-nya, lalu menatap Angela dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Lebih dari itu. Aku ingin kau menjadi bagian dari rencana ini."
Angela meletakkan gelasnya di meja, menyilangkan kaki, dan menyandarkan tubuhnya. "Dan apa yang kudapatkan?"
Pieter tersenyum, lalu dengan gerakan santai, ia merogoh saku jasnya dan meletakkan sebuah amplop hitam di meja. Angela menatapnya dengan curiga sebelum akhirnya mengambil amplop itu dan membukanya.
Di dalamnya ada foto, dokumen, dan… sebuah cek dengan jumlah yang cukup untuk mengubah hidupnya.
Angela mengangkat alis. "Kau benar-benar serius."
Pieter mencondongkan tubuhnya, menatap Angela dengan mata yang seolah bisa menelanjanginya hingga ke pikirannya. "Aku tidak pernah main-main, Angela. Aku butuh seseorang yang bisa menemaniku dalam permainan ini—bukan hanya untuk pura-pura, tapi untuk benar-benar membantuku."
Angela menyipitkan mata, membaca sekilas dokumen yang ada di dalam amplop. "Jadi ini tentang bisnis? Atau sesuatu yang lebih… ilegal?"
Pieter terkekeh, lalu menyandarkan tubuhnya. "Katakan saja, aku sedang membangun sesuatu yang besar. Tapi untuk itu, aku butuh seseorang yang bisa menjadi perisai sekaligus senjata."
Angela tidak langsung menjawab. Ia menatap cek di tangannya, angka nol yang begitu banyak, menggoda dengan cara yang berbahaya.
"Dan jika aku menolak?" tanyanya akhirnya.
Pieter tersenyum, tapi ada kilatan tajam di matanya. "Kau tidak akan menolak, Angela. Karena aku tahu sesuatu tentangmu. Sesuatu yang mungkin bisa mengubah segalanya."
Angela merasakan jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Ia tidak suka perasaan ini—perasaan bahwa Pieter mungkin memiliki sesuatu yang bisa mengendalikannya.
Ia meletakkan cek itu di meja, lalu menatap Pieter dengan ekspresi penuh tantangan. "Buktikan kalau aku tidak bisa menolak."
Pieter tersenyum lebih lebar. "Dengan senang hati."
Dan saat itu, Angela tahu bahwa ia baru saja melangkah lebih dalam ke dalam permainan Pieter.
Pieter mendekat, jemarinya yang hangat menyentuh dagu Angela, mengangkat wajahnya agar mata mereka bertemu. "Kau tahu, Angela…" suaranya rendah, hampir seperti bisikan yang merayapi kulitnya. "Sejak pertama kali melihatmu, aku tahu kau bukan wanita biasa. Kau seperti api yang liar, tak bisa dijinakkan, tapi begitu indah hingga aku tak bisa berpaling."
Angela menelan ludah, merasa sesuatu dalam dirinya mulai runtuh. Entah itu karena efek scotch yang mulai menghangatkan tubuhnya, atau karena tatapan Pieter yang begitu dalam, begitu menelanjangi. "Kau terlalu pandai merayu," gumamnya, tapi bibirnya melengkung dalam senyum samar. Pieter tersenyum, menyelipkan satu helai rambut Angela ke belakang telinganya dengan lembut. "Ini bukan rayuan, Angela. Ini kenyataan. Dan jika kau membiarkan dirimu merasakannya, hanya untuk malam ini… kau akan tahu bahwa kau juga menginginkannya."
Angela tahu ia bisa mundur sekarang. Bisa berdiri, pergi, dan melupakan semua ini. Tapi saat Pieter menariknya ke dalam pelukan, saat bibirnya menyentuh lembut lehernya sebelum berbisik, "Jatuhlah, Angela… hanya malam ini," ia tahu dirinya sudah terjebak. Entah karena permainan Pieter atau karena ia benar-benar menginginkannya untuk malam ini, ia membiarkan dirinya jatuh.
**
