Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

CHAPTER 4. INTO THE FIRE

Seraphina berpikir dia sudah lepas.

Dia berpikir bahwa pertemuan itu hanya sebuah peringatan, bahwa setelah ini, Kevin Blackwood akan menghapus namanya dari daftar perhatiannya.

Dia salah.

Sangat salah.

.

.

.

Kevin baru saja selesai berbicara dengan Jonas ketika dia masuk ke dalam mobil. Tanpa basa-basi, Kevin memberi perintah singkat, "Ikuti Seraphina."

Selama di perjalanan Kevin terdiam sejenak, menahan gejolak darah yang mendidih dalam dirinya saat teringat kata-kata Seraphina di bar tadi.

Sialan gadis ini.

Tanpa berpikir panjang, Kevin berkata, "Hentikan mobilnya."

Ciiittt…

Jonas dengan cekatan memotong jalan Seraphina tepat di depan mobilnya, hampir menabrak kendaraan Kevin. Begitu mobil berhenti, Kevin melangkah keluar dan berjalan menuju Seraphina.

Seraphina melangkah keluar mobil dan menyadarinya saat Kevin sudah ada tepat di hadapannya, memblokir jalannya.

Wajah Seraphina menegang sepersekian detik. Tapi kemudian, dia mengangkat dagunya, menatapnya dengan keberanian yang membuat Kevin semakin ingin menariknya lebih dalam ke dalam lingkarannya.

"Kau mengikutiku?" Suaranya tidak gemetar, dan entah kenapa, itu justru membuat Kevin semakin tergoda.

Dia tersenyum, nyaris sinis. "Kebetulan yang menarik, bukan?"

Seraphina mendecak pelan, menatapnya tajam. "Aku bukan bagian dari permainanmu, Blackwood."

Kevin mengangkat alis. "Bukan?"

Dia mendekat, cukup hingga Seraphina bisa mencium aroma khasnya—campuran tembakau, kayu, dan sesuatu yang lebih gelap.

Jantung gadis itu berdetak lebih cepat, Kevin bisa mendengarnya.

Dia menunggu reaksi itu.

Menunggu Seraphina mundur, terintimidasi.

Tapi dia malah tertawa pelan, sebuah tawa yang lebih mirip tantangan. "Kau pikir kau bisa mengendalikanku?"

Kevin mengamati setiap gerakan kecilnya. Cara dia menggenggam clutch bag-nya erat, cara matanya sedikit menyipit seolah menilai setiap inci dirinya.

Dia tahu Seraphina pintar. Tapi apakah dia cukup pintar untuk menghindari dirinya?

Tidak.

Kevin menurunkan suaranya, hampir seperti bisikan. "Aku tidak perlu mengendalikanmu, Seraphina."

Jarinya menyentuh pergelangan tangannya, ringan, tapi cukup untuk membuat gadis itu menegang.

"Aku hanya perlu memastikan kau tidak lari ke mana-mana."

Seraphina menatapnya, ekspresinya sulit dibaca. Tapi kemudian, dia tersenyum miring, seolah tidak terpengaruh.

"Kau terlalu percaya diri."

Kevin tertawa kecil.

"Kau akan segera tahu bahwa aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan."

Lalu dia melepaskannya, mundur selangkah, membiarkannya pergi.

Untuk sekarang.

Karena ini bukan perpisahan.

Ini hanya permulaan.

—Seraphina pergi, tapi Kevin tetap berdiri di tempatnya, mengamatinya yang semakin menjauh.

Senyumnya memudar, digantikan oleh ekspresi gelap yang sulit diartikan. Dia seharusnya membiarkannya pergi. Seharusnya, ini cukup.

Tapi, kapan terakhir kali dia bisa menahan diri?

Kevin awalnya berniat untuk mengendalikan permainan ini dengan mengawasi Seraphina secara langsung, memastikan setiap langkahnya terpantau.

Namun, sebuah rencana gelap mulai muncul dalam benaknya. Keputusan itu diambil dengan cepat, tanpa ragu. Dia pun berkata kepada Jonas, "Kita Jangan ikuti dia langsung. Awasi dia dari jauh."

Kini, rencananya berbeda—lebih licik, lebih terencana. Kevin tidak lagi berencana terlibat langsung, tapi tetap memastikan Seraphina tidak lepas dari pengawasan.

Tidak butuh lebih dari beberapa detik sebelum suara di seberang sana menjawab, "Dimengerti, Bos."

Tangan Kevin mengepal, rahangnya mengeras.

Saat ini, Seraphina mengira dia punya pilihan.

Tapi yang tidak dia sadari adalah—pilihannya telah diambil sejak awal.

.

.

.

Di tempat lain…

Seraphina memasuki apartemennya, melepaskan mantel dengan gerakan frustrasi. Kepalanya berdenyut, bukan hanya karena alkohol yang masih samar terasa di tenggorokannya, tapi karena seseorang.

Kevin Blackwood.

Matanya tajam, dingin, penuh ancaman terselubung. Tapi yang lebih mengganggu adalah sesuatu yang lain.

Ketertarikan.

Bukan yang biasa.

Bukan seperti pria yang sekadar mengagumi seorang wanita.

Ini lebih gelap. Lebih dalam.

Seolah Kevin melihatnya bukan sebagai seseorang, tapi sebagai properti.

Seraphina mendengus pelan. Dia bisa berpikir seperti itu sesuka hatinya.

Tapi dia bukan gadis bodoh yang akan jatuh dalam perangkap pria seperti itu.

Dia menatap bayangannya di kaca jendela apartemen, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Lalu dia berbalik, membuka jaketnya—

Dan membeku.

Sebuah kotak kecil tergeletak di meja ruang tamu. Hitam. Elegan. Tidak ada nama, tidak ada catatan.

Jantungnya berdebar kencang.

Perlahan, dengan jari gemetar, dia meraih kotak itu, membukanya.

Sebuah kalung rantai tipis, dengan liontin kecil berbentuk mawar.

Sederhana. Tapi mahal.

Dan lebih dari segalanya—bukan miliknya.

Seketika, udara di dalam ruangan terasa lebih dingin.

Jari-jarinya mengepal.

Dia tahu hanya ada satu orang yang cukup gila untuk meninggalkan sesuatu seperti ini di apartemennya.

Kevin.

Seraphina meraih ponselnya, menekan nomornya dengan geram.

Nada sambung berdering. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

Lalu sebuah suara tenang menyapa di seberang.

"Kau sudah menerimanya."

Dia tidak bertanya.

Dia tahu.

Seraphina menghirup napas dalam, mencoba mengendalikan amarahnya. "Bagaimana kau bisa masuk ke apartemenku?"

Hening sesaat.

Lalu, suara Kevin terdengar, lembut, hampir main-main.

"Kau seharusnya tahu jawabannya, Seraphina."

Sialan.

Seraphina mencengkeram ponselnya erat. "Aku bukan milikmu."

Tawa kecil terdengar di ujung sana, rendah dan berbahaya.

"Kau akan segera mengerti, Sayang… bahwa itu bukan keputusanmu untuk dibuat."

Klik.

Panggilan terputus.

Seraphina menatap layar ponselnya yang kini gelap.

Jantungnya berdebar keras, bukan karena rasa takut, tapi karena sesuatu yang lebih mengganggu—kemarahan bercampur ketidakpastian.

Kevin Blackwood tidak hanya mengancamnya.

Dia mengendalikan segalanya.

Seraphina berbalik, berjalan cepat menuju pintu apartemen. Dia memeriksa kuncinya—masih utuh. Tidak ada tanda-tanda perusakan. Tapi seseorang telah masuk.

Atau lebih tepatnya, seseorang memiliki kunci.

Sial.

Dia menggigit bibirnya, pikirannya berpacu.

Si brengsek itu pasti punya orang di sekitarnya. Mungkin petugas keamanan. Mungkin seseorang yang bekerja di gedung ini.

Atau lebih buruk lagi…

Dia tidak butuh orang lain untuk masuk.

Seraphina mengusap wajahnya, menatap kotak hitam itu sekali lagi.

Tidak. Dia tidak akan membiarkan Kevin mengacaukan pikirannya.

Dia harus bergerak. Sekarang.

Seraphina mengambil jaketnya kembali, menyambar tasnya, lalu keluar dari apartemen. Tangannya sibuk mengetik pesan di ponselnya.

Seraphina: Kita harus bicara. Sekarang.

Pesan terkirim.

Dia menaiki lift, menahan napas saat pintu terbuka menuju lobi. Matanya menyapu sekeliling, mencari sosok yang familiar.

Dan di sanalah dia.

Seorang pria bertubuh tegap, mengenakan jas hitam dan kemeja tanpa dasi. Wajahnya tidak asing—salah satu orang Kevin.

Seraphina mengepalkan jemarinya.

Dia berjalan ke luar, udara malam yang dingin menyambutnya. Tapi sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, sebuah mobil hitam melambat di sampingnya.

Jendela turun perlahan.

Dan di baliknya, sepasang mata gelap menatapnya dengan intens.

Kevin.

Seraphina berhenti. Hanya beberapa detik.

Lalu dia berbalik, berjalan lebih cepat.

Mobil itu mengikuti.

Tidak tergesa-gesa, tapi pasti.

"Masuk," suara Kevin terdengar dari dalam mobil, tenang namun memerintah.

Seraphina mengabaikannya. Dia terus berjalan, tapi kemudian mobil itu berhenti mendadak di depannya, menghalangi jalannya.

Pintu terbuka.

Dan sebelum dia sempat berpikir untuk berlari, Kevin sudah turun, berdiri di hadapannya.

Wajahnya tanpa ekspresi. Tapi matanya berbicara lebih banyak dari yang seharusnya.

Obsesi.

Kepemilikan.

Dan sesuatu yang jauh lebih dalam.

Kevin merogoh sakunya, mengeluarkan sesuatu.

Kunci apartemennya.

"Ini yang kau cari?" suaranya rendah, hampir seperti bisikan.

Darah Seraphina berdesir. "Bagaimana kau bisa mendapatkannya?"

Kevin tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip ancaman daripada keramahan.

Seraphina menelan ludah. "Aku tidak akan bermain dalam permainanmu, Kevin."

Kevin memiringkan kepalanya sedikit, ekspresinya tetap tenang.

Lalu dia melangkah lebih dekat.

Sangat dekat.

"Sayang," suaranya nyaris berbisik, "kau sudah ada dalam permainanku sejak awal."

Sebelum Seraphina bisa bereaksi, Kevin meraih pergelangan tangannya—tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuatnya membeku.

Detik berikutnya, dia menariknya ke dalam mobil.

Pintu tertutup.

Dan dunia Seraphina berubah dalam sekejap.

Seraphina menahan napas.

Mobil melaju dengan kecepatan konstan, tapi atmosfer di dalamnya jauh lebih mencekik dibandingkan dunia luar.

Kevin duduk di sampingnya, satu tangan di kemudi, sementara tangan lainnya bersandar santai di pahanya. Dia tidak bicara. Tidak terburu-buru menjelaskan apa pun.

Seolah-olah dia menikmati setiap detik ketegangan yang ia ciptakan.

Seraphina menatapnya tajam. "Bawa aku kembali."

Kevin hanya tersenyum, pandangannya tetap terarah ke jalan. "Terlambat."

Seraphina mengepalkan tangannya. "Terlambat untuk apa?"

Akhirnya, Kevin menoleh, matanya menatapnya dengan sorot gelap yang berbahaya. "Untuk berpikir kau masih punya kendali."

Darah Seraphina berdesir.

Kevin Blackwood sedang bermain dengannya.

Dan yang paling mengganggu adalah—dia mulai merasa masuk ke dalam perangkap itu.

Tidak.

Dia tidak bisa membiarkan Kevin mengendalikan pikirannya.

Seraphina menoleh ke jendela, mencari cara untuk keluar. Tapi sebelum dia bisa bereaksi lebih jauh, Kevin sudah menangkap pergelangan tangannya, menariknya mendekat.

"Dengar,"

suaranya rendah, nyaris seperti bisikan beracun, "aku bisa menjadi mimpi buruk terburukmu, atau satu-satunya pria yang bisa menyelamatkanmu. Pilihan ada di tanganmu, Seraphina."

Matanya yang gelap menyelidik, mengunci seluruh perhatian Seraphina.

Sial.

Lelaki ini berbahaya.

"Beri aku alasan kenapa aku tidak harus membencimu sekarang," Seraphina mendesis.

Kevin menyeringai tipis. "Karena kau tidak bisa."

Sebelum Seraphina sempat membalas, mobil berhenti mendadak.

Seraphina tersentak, nyaris kehilangan keseimbangan.

Saat dia menoleh, matanya membelalak.

Mereka tidak sedang dalam perjalanan pulang.

Mereka berada di sebuah gedung tinggi dengan lampu-lampu yang berpendar megah di tengah kota.

Bukan apartemen Kevin.

Tapi tempat lain.

Pintu mobil terbuka, dan Kevin turun lebih dulu.

"Keluar," perintahnya, suaranya rendah tapi mematikan.

Seraphina menatapnya tajam. "Jika aku menolak?"

Kevin mendekat, menyandarkan satu tangan ke atap mobil sementara tubuhnya menutup ruang di antara mereka.

"Tidak ada jika."

Mata mereka bertemu, dan sejenak, udara di antara mereka berubah lebih panas dari sebelumnya.

Seraphina tahu dia harus melawan.

Tapi pertanyaannya—apakah dia bisa menang melawan Kevin Blackwood?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel