CHAPTER 3. THE LINE HE CAN’T CROSS
Suara dentuman bass masih mengguncang dinding, lampu-lampu neon berkedip liar di antara tubuh-tubuh yang menari. Tapi bagi Kevin, semuanya terasa jauh.
Hanya ada satu hal yang mengisi pikirannya saat ini.
Seraphina.
Kevin tersenyum kecil. Berani sekali gadis ini.
Dia menarik kursi di sampingnya tanpa izin, duduk dengan cara yang menguasai ruang. Seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dirinya.
"Kau tahu siapa aku, Seraphina. Dan kau tetap ada di sini. Kenapa?"
Akhirnya, gadis itu menoleh. Tatapan mereka bertemu, dan Kevin bisa melihatnya lagi—api itu.
Bukan keberanian.
Bukan ketakutan.
Tapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Seraphina menyandarkan diri ke kursinya, mengangkat satu alis.
"Mungkin aku hanya ingin melihat apakah semua rumor tentang Kevin Blackwood itu benar."
Oh?
Kevin mengangkat gelas whiskey-nya ke bibir, menyesapnya perlahan.
"Dan bagaimana menurutmu?" tanyanya, suaranya rendah.
Seraphina menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya tersenyum. Senyum yang tidak seharusnya membuat jantung Kevin berdetak lebih cepat.
"Kau masih belum cukup mengesankan."
Sial.
Dia harus membunuh gadis ini.
Atau lebih buruk—membiarkannya menghancurkannya perlahan karena mengucapkan kata-kata yang seharusnya tidak pernah dia dengar.
Darah Kevin mendidih. Tidak ada seorang pun yang pernah berbicara padanya seperti itu. Tidak ada seorang pun yang pernah menantangnya secara langsung—terutama seorang wanita. Dia menyandarkan diri ke kursinya, jemarinya dengan santai mengetuk meja kayu di antara mereka.
"Kau tahu, Seraphina, kebanyakan orang yang berkata seperti itu padaku biasanya tidak hidup cukup lama untuk mengatakannya lagi."
Suara Kevin terdengar rendah, nyaris seperti bisikan yang berbahaya. Namun, Seraphina tidak goyah sedikit pun. Mata gadis itu menatapnya tanpa gentar, bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang mempermainkan batas kesabarannya.
"Mungkin aku berbeda dari orang-orangmu, Blackwood."
Kevin mendengus pelan, menyesap whiskey-nya sebelum kembali menatap gadis itu dengan ekspresi yang lebih dalam—lebih gelap.
"Oh, aku tidak ragu soal itu."
Mereka masih saling menatap dalam diam. Sebuah ketegangan samar memenuhi ruangan, seperti api yang menyala di udara. Kevin harus mengingatkan dirinya sendiri siapa dirinya.
Dia tidak membiarkan wanita menguasai pikirannya. Apalagi wanita yang seperti Seraphina—berbahaya, menggoda, dan seolah memahami sesuatu tentang dirinya yang bahkan dia sendiri belum sepenuhnya pahami.
Ini bukan hanya sekadar ketertarikan.
Ini adalah perang.
Dan Kevin tidak akan membiarkan dirinya kalah.
.
.
.
Seraphina berjalan keluar dari klub dengan langkah mantap, meninggalkan jejak wewangian samar yang tetap melekat di benaknya. Kevin berdiri diam di depan pintu, menatap punggung gadis itu dengan rahang terkunci.
Dia bisa saja membiarkannya pergi. Seharusnya dia membiarkannya pergi.
Namun, otaknya tidak sepakat dengan tubuhnya.
Tanpa berpikir panjang, kakinya melangkah mengikuti gadis itu. Tangannya terangkat, menangkap pergelangan Seraphina sebelum dia sempat naik ke dalam mobilnya. Gadis itu terhenti, tapi tidak langsung menoleh. Seolah sedang menunggu.
Kevin menarik napas dalam, mencoba meredam sesuatu yang meletup dalam dirinya.
"Aku tidak suka permainan ini, Castillio."
Baru saat itu Seraphina menoleh, dan untuk sepersekian detik, Kevin menyadari kesalahannya. Karena begitu gadis itu menatapnya, tatapan itu seakan merasuk ke dalam dirinya—mengorek sesuatu yang selama ini terkubur.
Gadis itu tersenyum tipis. "Kau yang mulai duluan."
Kevin seharusnya marah. Seharusnya mematahkan keberanian gadis ini dengan satu kata, satu gerakan. Tapi bukan itu yang terjadi. Sebaliknya, dia malah mendekat.
Tangannya masih mencengkeram pergelangan Seraphina, dan entah bagaimana, dia tidak ingin melepaskannya.
"Aku tidak bermain-main, Seraphina."
Senyum di wajah gadis itu tidak pudar. "Aku juga tidak, Blackwood."
Hening.
Udara di antara mereka terasa berat, penuh dengan ketegangan yang tidak bisa dihindari. Kevin bisa merasakan napasnya sendiri melambat, bisa mendengar degup jantungnya yang berdenyut lebih kencang dari seharusnya.
Ini berbahaya.
Ini… salah.
Namun, ketika Seraphina akhirnya menarik pergelangannya dari genggaman Kevin, dia tidak merasakan kemenangan. Yang ada justru rasa kehilangan yang tak masuk akal.
"Kau bisa menghentikannya sekarang, Kevin," suara gadis itu terdengar pelan, hampir seperti tantangan. "Atau kau bisa terus tenggelam lebih dalam."
Kevin menatapnya tanpa ekspresi. "Jangan menyesal jika aku memilih yang kedua."
Senyuman Seraphina memudar sedikit. Entah itu karena peringatan atau karena sesuatu yang lain, Kevin tidak tahu.
Yang dia tahu adalah ini tidak akan berakhir di sini.
Gadis ini, obsesi ini…
Seraphina mundur selangkah, melepaskan dirinya dari intensitas Kevin yang mencekam. Meski tidak lagi menyentuhnya, pria itu masih berdiri terlalu dekat. Nafasnya masih berat, matanya masih gelap, seolah menahan sesuatu yang hampir lepas kendali.
Dia seharusnya pergi sekarang. Seharusnya meninggalkan Kevin di sini dengan pikirannya sendiri.
Tapi dia tidak bergerak.
Mungkin karena penasaran. Mungkin karena ada bagian dalam dirinya yang ingin tahu—seberapa jauh pria ini akan jatuh ke dalam obsesi yang sedang dia bangun tanpa sengaja.
“Kau tidak akan membiarkan ini berakhir di sini, kan?” Seraphina berbisik, nyaris seperti pernyataan ketimbang pertanyaan.
Kevin tersenyum kecil. Dingin. Berbahaya. “Aku tidak pernah suka akhir yang dipaksakan.”
Tatapan mereka bertaut lagi, dan kali ini, tidak ada yang berpaling lebih dulu.
Seraphina menatap mata hitam pekat itu, mencari sesuatu. Kemarahan? Frustrasi? Atau sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam, sesuatu yang bahkan Kevin sendiri tidak bisa pahami?
Kevin Blackwood adalah ancaman.
Namun, yang lebih berbahaya adalah fakta bahwa Seraphina sama sekali tidak takut.
Sebaliknya, sensasi listrik yang menjalar di tulangnya ketika pria ini menatapnya seperti itu—seolah dia adalah teka-teki yang harus dipecahkan, sebuah perburuan yang harus dimenangkan—membuatnya hampir tersenyum.
Sial.
Dia sedang bermain dengan api, dan dia tahu itu.
Seraphina akhirnya menghela napas.
“Lalu, apa selanjutnya?”
Kevin tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia mengangkat tangannya, mengusap ibu jarinya di sisi rahang Seraphina—gerakan yang sangat pelan, sangat terkendali, tapi juga sangat berbahaya.
Seraphina membeku.
“Aku akan mencari tahu seberapa dalam kau bisa tenggelam, Castillio.”
Dan dengan itu, Kevin melangkah mundur. Pergelangan tangan Seraphina masih terasa panas di tempat tadi pria itu menyentuhnya.
Saat dia berbalik dan melangkah pergi, dia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya.
Bukan ketakutan.
Bukan kemarahan.
Tetapi kegelisahan.
Karena dia tahu…
Kevin Blackwood tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.
Dan Seraphina baru saja menjadi objek obsesinya.
Kevin menatap punggung Seraphina saat gadis itu melangkah pergi, tubuhnya masih terasa panas di tempat jemarinya sempat menyentuh kulitnya. Dia seharusnya membiarkannya pergi. Itu keputusan paling masuk akal. Itu yang selama ini selalu dia lakukan.
Tapi sialnya… kali ini berbeda.
Dia belum selesai dengannya.
Kevin mengepalkan rahang, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan sesuatu yang bergejolak di dalam dadanya.
Sejak kapan seorang perempuan bisa membuatnya merasa seperti ini? Sejak kapan dia membiarkan sesuatu atau seseorang mengusik ketenangannya?
Dia selalu memiliki kendali. Selalu.
Namun, Seraphina Castillio mulai menjadi pengecualian yang menyebalkan.
Dia mengambil rokok dari saku jasnya, menyalakannya dengan gerakan santai yang bertentangan dengan api yang berkobar di kepalanya. Asap tipis mengepul di udara ketika dia menyandarkan tubuh ke dinding, pikirannya masih terjebak di satu nama.
Seraphina.
Ada sesuatu tentang gadis itu.
Bukan hanya karena dia berani menantangnya, bukan hanya karena dia tidak menunjukkan ketakutan seperti orang-orang lainnya. Bukan karena mata itu—mata yang berani menatapnya tanpa gentar, seolah-olah dia bukan monster yang bisa menghancurkannya dalam sekejap.
Bukan.
Ini lebih dari itu.
Dia tidak tahu apa.
Yang dia tahu hanyalah satu hal—dia ingin lebih.
Lebih dari kehadirannya.
Lebih dari keberaniannya.
Lebih dari rasa frustrasi yang ia timbulkan setiap kali dia tidak bereaksi seperti yang Kevin inginkan.
Sial.
Kevin mendengus pelan, menjatuhkan sisa rokoknya ke lantai dan menginjaknya sebelum berbalik menuju kantornya lagi.
Jonas masih menunggu di sana, matanya penuh kewaspadaan saat bosnya masuk dengan ekspresi dingin.
“Pastikan dia tidak keluar dari radarku,” Kevin berkata, nada suaranya datar, tapi penuh perintah.
Jonas mengangguk. “Mau aku pasang orang untuk mengawasinya lebih dekat?”
Kevin terdiam.
Tentu, dia bisa melakukannya. Bisa saja memasang seseorang untuk memastikan pergerakan Seraphina tetap dalam genggamannya. Tapi itu terlalu mudah.
Dia tidak mau hanya sekadar mengawasi.
Dia ingin lebih dari itu.
Dia ingin merasakannya.
Langsung.
Tanpa perantara.
Tanpa jarak.
Kevin menatap Jonas, senyum tipis tapi berbahaya terukir di wajahnya. “Tidak perlu. Aku sendiri yang akan memastikan dia tidak ke mana-mana.”
Seraphina Castillio belum menyadari seberapa dalam dia telah masuk ke dalam lingkaran ini.
Dan Kevin Blackwood?
Dia siap menjeratnya lebih jauh ke dalam.
