Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

CHAPTER 5. NO WAY OUT

Seraphina melangkah keluar dari mobil dengan enggan. Udara malam menusuk kulitnya, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya menegang.

Kevin berdiri di sampingnya, wajahnya nyaris tanpa ekspresi, tapi matanya…

Sial.

Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat darah Seraphina berdesir—sesuatu yang gelap, berbahaya, sekaligus menghancurkan.

Dia mengulurkan tangannya. "Ikut aku."

Seraphina tidak bergerak. "Kalau aku bilang tidak?"

Kevin mendekat, jari-jarinya terangkat, nyaris menyentuh dagunya—tapi lalu ia berhenti. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya.

"Kau akan masuk. Dengan atau tanpa kehendakmu."

Seraphina mengepalkan tangannya.

Lelaki ini terlalu terbiasa mendapatkan apa pun yang ia mau.

Dia ingin menantang Kevin. Ingin membuktikan bahwa dia bukan seseorang yang bisa dipermainkan begitu saja.

Tapi sebelum dia bisa bicara, Kevin sudah lebih dulu berbalik, berjalan menuju pintu gedung dengan percaya diri mutlak.

Seraphina menatap punggungnya selama beberapa detik—lalu mengikuti.

Sebuah keputusan yang mungkin akan ia sesali.

.

.

.

Mereka memasuki lobi luas dengan langit-langit tinggi dan chandelier kristal menggantung megah. Tidak ada suara selain langkah kaki mereka yang menggema di lantai marmer.

Seraphina merasakan tatapan.

Bukan dari Kevin.

Dari beberapa pria berbadan besar yang berdiri di sudut ruangan, mengenakan jas hitam dengan ekspresi dingin.

Ini bukan sembarang tempat.

Tempat ini adalah milik Kevin.

Dari cara pria-pria itu sedikit menundukkan kepala saat Kevin melintas, dari bagaimana mereka mengamati Seraphina dengan rasa ingin tahu yang tertahan—dia tahu.

Kevin Blackwood bukan hanya seorang pria berbahaya.

Dia adalah seorang raja di dunia yang tidak ingin Seraphina masuki.

.

.

.

Pintu lift terbuka.

Kevin melangkah masuk tanpa menoleh.

Seraphina ragu.

Dia bisa berbalik sekarang. Keluar. Berlari.

Tapi dia tidak melakukannya.

Dia melangkah masuk.

Pintu tertutup.

Perangkap telah mengatup sepenuhnya.

.

.

.

Saat lift melaju ke atas, suasana di dalamnya terlalu sunyi.

Hanya ada Kevin dan Seraphina.

Dan ketegangan yang menyesakkan di antara mereka.

Seraphina melirik ke arahnya. "Apa yang kau inginkan?"

Kevin menoleh, matanya seperti bara yang menyala dalam kegelapan.

"Aku sudah memberitahumu," katanya pelan. "Aku ingin kau."

Darah Seraphina membeku.

Lelaki ini gila.

Obsesinya terasa terlalu dalam, terlalu beracun.

Dan bagian terburuknya?

Seraphina tidak tahu apakah dia bisa melarikan diri.

Lift berhenti.

Bunyi ‘ding’ kecil menggema sebelum pintunya terbuka, memperlihatkan koridor panjang dengan pencahayaan redup. Dindingnya dihiasi lukisan abstrak bernuansa kelam, menciptakan atmosfer yang terasa lebih menekan daripada mewah.

Kevin berjalan keluar lebih dulu, langkahnya tenang namun tak terbantahkan. Seraphina tetap diam, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai menjerit.

Perasaan bahwa dia tidak seharusnya ada di sini.

Tapi terlambat.

Dia sudah ada di dalam jebakan ini.

.

.

.

Kevin mendorong sebuah pintu di ujung koridor.

Sebuah ruangan luas terbuka di hadapan mereka—modern, dengan jendela kaca besar yang langsung menghadap kota.

Cahaya lampu-lampu metropolitan memantul di permukaan meja kayu gelap dan rak buku tinggi yang memenuhi salah satu dinding.

Namun perhatian Seraphina tidak tertuju pada interiornya.

Melainkan pada atmosfer yang ada di dalam ruangan ini.

Udara di sini lebih berat, lebih pekat dengan dominasi yang terlalu kuat untuk diabaikan.

Kevin melepaskan jasnya, melemparkannya ke sofa dengan gerakan santai sebelum berbalik menghadapnya.

"Lepaskan jaketmu," katanya.

Seraphina membeku. "Apa?"

"Sekarang."

Nada suaranya tidak tinggi, tapi ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatnya lebih mencekik daripada teriakan.

Seraphina mengepalkan tangannya.

"Kalau aku menolak?"

Kevin hanya tersenyum. Tidak ada kemarahan. Tidak ada paksaan yang eksplisit.

Namun Seraphina tahu—penolakan tidak akan ada artinya bagi pria seperti Kevin Blackwood.

Dia tetap diam.

Tatapan Kevin mengamati wajahnya, menelusuri ekspresinya seolah dia bisa membaca isi pikirannya.

"Aku tidak suka mengulang perintah."

Seraphina merasakan panas menjalar di belakang lehernya.

Dia ingin menantang Kevin, ingin menunjukkan bahwa dia bukan seseorang yang bisa dikendalikan dengan mudah.

Tapi saat dia menatap ke dalam matanya—matanya yang gelap, yang tidak menunjukkan tanda-tanda belas kasihan—dia tahu satu hal.

Dia tidak sedang bermain-main.

Seraphina melepaskan jaketnya dengan gerakan kaku, membiarkannya jatuh ke lantai.

Kevin tersenyum tipis.

"Bagus."

Dia melangkah mendekat, tubuhnya nyaris menyentuh Seraphina. Suara napasnya begitu dekat, begitu mengancam.

"Jangan pernah berpikir kau bisa melawan aku, Seraphina," bisiknya di telinga gadis itu.

Dingin menjalar ke tulangnya.

Dan untuk pertama kalinya, dia benar-benar sadar…

Tidak ada jalan keluar dari ini.

.

.

.

Jarak di antara mereka hampir tidak ada.

Seraphina bisa merasakan panas tubuh Kevin yang terlalu dekat, terlalu intens. Napasnya yang tenang tapi mengancam berhembus di kulitnya. Dia mencoba menahan diri untuk tidak mundur—tidak menunjukkan kelemahan, tidak menyerah pada tekanan pria ini.

Tapi Kevin bukan seseorang yang mudah diabaikan.

Dia mendongak, menatap langsung ke mata pria itu.

"Apa ini permainan bagimu?"

Kevin menatapnya sejenak, lalu terkekeh pelan.

"Permainan?"

Nada suaranya terdengar geli, tapi ada sesuatu yang dingin di baliknya.

"Tidak ada yang main-main dengan aku, Seraphina. Aku tidak punya waktu untuk permainan."

Dia melangkah lebih dekat, sampai Seraphina hampir bisa merasakan detak jantungnya sendiri yang mulai berdegup lebih keras.

"Lalu kenapa aku ada di sini?" Seraphina menantang.

Kevin tidak langsung menjawab. Dia hanya mengangkat tangannya, menyentuh dagunya dengan sentuhan yang lebih lembut dari yang seharusnya bisa dilakukan seseorang sepertinya.

Seraphina menegang.

Matanya menyipit, menunggu.

Lalu Kevin berbisik, "Karena kau membuatku tertarik."

Kata-kata itu menggantung di udara seperti jebakan.

Seraphina ingin tertawa, ingin menyebutnya omong kosong. Tapi tidak ada humor dalam sorot mata Kevin.

Tidak ada kebohongan.

Dan itulah yang lebih berbahaya.

Kevin Blackwood adalah pria yang tidak tertarik pada apa pun kecuali dia bisa mengendalikannya. Jika dia tertarik pada sesuatu… maka dia akan memilikinya.

Seraphina menelan ludah. "Kalau begitu, aku akan membuatmu bosan."

Kevin tersenyum, nyaris seperti menghibur. "Kau terlalu naif jika berpikir kau bisa lolos dengan cara itu."

Dia melangkah ke belakang, memberi sedikit ruang. Tapi bukan karena dia melepaskannya—Kevin hanya menikmati proses ini.

"Kau ingin tahu kenapa kau ada di sini, Seraphina?"

Dia berjalan ke meja, menuangkan whiskey ke dalam gelasnya dengan gerakan santai yang bertolak belakang dengan ketegangan yang memenuhi ruangan.

"Kau ada di sini," katanya sebelum menyeruput minumannya, "karena aku ingin kau di sini."

Seraphina menahan napas.

Itu bukan permintaan. Itu adalah fakta.

Pria ini berbahaya.

Dan lebih buruknya lagi… dia tidak berniat melepaskannya.

Seraphina merasakan jantungnya berdetak lebih kencang, tapi dia memaksa dirinya tetap tenang. Jika Kevin pikir dia akan menyerah begitu saja, maka dia salah besar.

Dia bukan seseorang yang bisa dikendalikan.

Seraphina mengangkat dagunya. "Kau mungkin berpikir kau bisa mengontrol semua orang, Kevin. Tapi aku bukan salah satunya."

Kevin menatapnya, ekspresinya berubah. Bukan marah. Bukan terkejut. Tapi lebih… tertarik.

Senyum tipisnya kembali muncul.

"Oh, Seraphina," gumamnya, menatapnya seperti seseorang yang baru saja menemukan tantangan paling menarik dalam hidupnya.

"Kita lihat saja seberapa lama kau bisa bertahan."

Ruangan itu terasa semakin sempit.

Kevin masih berdiri di tempatnya, matanya tak lepas dari Seraphina. Seolah sedang menimbang sesuatu. Seolah sedang memutuskan bagaimana cara terbaik untuk menekannya hingga menyerah.

Seraphina tahu dia harus tetap tenang. Jika dia menunjukkan celah sekecil apa pun, Kevin akan menggunakannya.

Tapi bagaimana bisa tetap tenang ketika pria di hadapannya ini memperlakukannya seperti sesuatu yang sudah menjadi miliknya?

"Seberapa lama aku bisa bertahan?"

Seraphina mengulangi kata-katanya dengan nada mengejek.

"Kau pikir ini tentang bertahan?"

Kevin memiringkan kepalanya sedikit, ekspresinya tetap tak terbaca.

"Aku tidak peduli seberapa keras kau mencoba lari, Seraphina,"

katanya akhirnya, suaranya terdengar santai, nyaris seperti dia sedang menikmati percakapan ini.

"Aku hanya ingin melihat seberapa jauh kau akan berusaha sebelum kau menyerah."

Seraphina tertawa kecil, tapi tidak ada humor di dalamnya.

"Aku tidak akan menyerah."

Kevin mengamati wajahnya selama beberapa detik. Lalu, tiba-tiba, dia bergerak.

Dalam hitungan detik, dia sudah berdiri di depan Seraphina, mengunci tubuhnya di antara meja dan tubuhnya sendiri.

Seraphina tersentak, tapi dia menolak untuk mundur.

Kevin menunduk, bibirnya hampir menyentuh telinganya saat dia berbisik, "Semakin kau menolak, semakin aku tertarik."

Sial.

Seraphina bisa merasakan hawa panas menjalari tubuhnya, bukan karena ketertarikan, tapi karena amarah.

Pria ini…

Pria ini benar-benar percaya bahwa dia bisa mengendalikan semuanya, termasuk dirinya.

Seraphina mengangkat kepalanya, menatap langsung ke mata pria itu.

"Kalau begitu, kau akan kecewa."

Kevin tersenyum. Bukan senyum lembut atau ramah. Ini adalah senyum milik seseorang yang sudah memenangkan pertarungan bahkan sebelum pertempuran dimulai.

"Kita lihat saja."

Seraphina mulai memahami sesuatu yang mengerikan—tidak peduli seberapa keras dia mencoba melawan, Kevin akan selalu satu langkah lebih depan. Dan semakin dia berusaha menarik garis, semakin pria itu akan menghapusnya.

Tidak ada jalan keluar.

Tapi itu tidak berarti dia akan menyerah.

Seraphina merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena ketakutan, tapi karena amarah yang mulai menggelegak dalam dirinya.

Pria ini benar-benar berbahaya.

Bukan hanya karena statusnya, bukan hanya karena kekuasaan yang dimilikinya—tapi karena caranya membuat seseorang merasa seperti tidak punya pilihan lain selain tunduk padanya.

Seraphina menahan napas ketika Kevin meraih dagunya, ibu jarinya menyapu lembut kulitnya, kontras dengan sorot matanya yang tajam.

"Aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa bertahan," gumam Kevin, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

Seraphina menggertakkan giginya dan menepis tangannya,

"Jangan sentuh aku."

Untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, Kevin terdiam sesaat. Lalu, alih-alih marah, dia tertawa pelan.

"Menarik,"

katanya, mengambil langkah mundur dengan santai.

"Kau benar-benar berpikir bisa melawan, ya?"

Seraphina memanfaatkan kesempatan itu untuk menciptakan jarak. Dia harus keluar dari ruangan ini sebelum Kevin menemukan cara lain untuk membuatnya terjebak.

Tapi langkahnya baru saja bergerak ketika suara Kevin menahannya.

"Aku tahu kenapa kau takut, Seraphina."

Dia berhenti.

"Tidak ada yang pernah cukup berani untuk menantangku selama ini," lanjut Kevin, suaranya rendah dan licin. "Tapi kau? Kau berbeda."

Seraphina tidak berbalik. Dia menutup matanya sejenak, mencoba mengendalikan emosi yang meledak-ledak di dalam dirinya.

"Aku tidak takut padamu," katanya akhirnya, meskipun dia sendiri tidak yakin apakah itu kebohongan atau bukan.

Kevin tidak langsung menjawab. Tapi Seraphina bisa merasakan sorotan matanya yang menusuk.

"Bagus," gumam pria itu, hampir seperti bisikan.

"Karena aku juga tidak ingin kau takut."

Seraphina mengernyitkan kening, akhirnya menoleh.

"Aku ingin kau terikat."

Sial.

Jebakan itu akhirnya terucap dengan jelas.

Kevin Blackwood tidak menginginkan kepatuhan.

Dia menginginkan kepemilikan.

Dan Seraphina bisa merasakan, dari caranya berbicara, dari caranya menatapnya…

Pria ini tidak akan berhenti sampai dia mendapatkannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel