Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 11 : Hati yang Bingung

Setelah lepas dari jeratan harimau, Kintari kini terperangkap di jeratan singa. Dengan ala-ala seperti pacar posesif, Makala berkata pada si mahasiswa dekil itu dengan tegas. "Lebih baik kamu belajar atau mengerjakan tugas dirumah daripada kamu berkeliaran disini."

Kintari dengan semangat 45 pun menambahkan wejangan Makala sebagai seorang dosen. "Ya bener. Kamu itu besok masih ada UTS. Jadi lebih baik kamu belajar supaya semester depan kamu gak perlu ngambil banyak SKS. Kamu mahasiswa yang cerdas."

Di seberang meja. Devi dan Dea terpesona oleh cara bicara Kintari, mereka baru melihat secara live bagaimana Kintari berbicara dengan dewasa dan bijaksana pada mahasiswanya. "Bisa ngomong kaya gitu juga ya dia?."

"Iya. Gue berasa mimpi."

Makala pun tak menyangka mantan pacarnya yang terkenal centil dan pecicilan bisa serius dan bicara dengan pembawaan seperti itu.

"Ya udah aku pulang. Buat ibu Kintari." Kintari menutup matanya, menahan segala gejolak emosi yang ada dalam dirinya. Dia harus bisa menunjukkan pada mahasiswanya ini wibawanya sebagai seorang dosen. Jangan sampai emosinya terpancing.

"Selamat sore. Sampai bertemu besok di kampus." Winggo pergi keluar dari cafe dengan melambai genit pada  Kintari. Kintari baru sadar ternyata mahasiswa dekilnya itu ke cafe sendirian. Sebenarnya Kintari penasaran dengan kehidupan mahasiswa itu karena banyak yang aneh menurutnya.

"Kiranti ...," Makala memanggilnya. Kintari gelagapan. "Ya."

"Kamu kayaknya sekarang udah jadi dosen hebat ya?." Kintari yang sedari tadi tidak begitu fokus karena memperhatikan Winggo, tergagap. "Ah engga ko. Aku gak ada tandingannya sama dosen lainnya. Aku kaya remahan kerupuk kalau dibanding dosen lain."

Dea dan Devi tertawa melihat Kintari yang seperti salah tingkah dan Kintari yang juga menyadarinya memilih pulang daripada terlihat bodoh oleh mantannya. "Oh ya, aku pulang dulu ya guys." Pamit Kintari dan itu membuat Dea dan Devi yakin kalau Kintari benar-benar salah tingkah didekat Makala.

"Ya udah aku anter."

"Gak usah. Lagian loe belum pesen minum."

"Cieee pura-pura gak mau. Udah gak usah malu"

"Lagian kan loe tadi kesini pake taksi," timpal Devi.

Oke thanks Dea dan Devi yang udah membuat hari gue yang berkesan tambah berkesan.

"Gak usah."

Tanpa banyak berkata Makala mengeluarkan dompetnya dan menarik beberapa lembar uang berwarna merah. "Gue traktir". Mata Dea dan Devi terlihat berbinar sedangkan Kintari menghela nafas.

"Ayo." Makala tak diduga menarik lembut tangan Kintari. Kintari melongo dibuatnya, dua temannya jangan ditanya mereka hanya tertawa dan berkata dengan dramatis "kasian dia bakal makin bingung. Semoga dia diberi petunjuk dan hidayah."

***

Begitu keluar dari cafe, hujan lebat menyambut mereka. Kintari melirik tangannya yang masih digenggam Makala yang kini menggerutu, "duh hujannya gede banget ternyata."

"Gue bukan anak kecil yang harus loe pegangin terus tangannya. Gue gak akan ilang." Makala melirik tangannya dan langsung melepasnya pelan. "Emang kamu kayak anak kecil."

Kintari mendengus. "Yang mana mobil loe?." Makala menunjuk mobil sedan berwarna merah, "masih suka merah loe." Ceplos Kintari tanpa sadar membuat Makala mengukir senyumnya tanda kemenangan. Wanita disebelahnya ini ternyata masih ingat.

"Yuk, malah senyum senyum gak jelas." Setelah berkata seperti itu Kintari menerobos hujan dengan jaket yang dia buka terlebih dulu. Kemudian Makala pun menyusul.

Didalam mobil, tiba-tiba Makala melemparkan kaos kemudian keluar dari mobilnya sambil berkata, "pake itu. Jaket loe basah banget dan kaos loe jadi nerawang." Kintari menunduk horor kaosnya yang memang tipis sekali dan benar saja menerawang. Dirinya cukup basah kuyup.  Tanpa berpikir Kintari langsung menyambar kaos itu dan langsung memakainya.

"Untung tadi gue ganti baju sebelum masuk cafe," ucap Makala langsung setelah memasuki mobilnya lagi.

"Maksud loe?."

"Iya kaos itu bekas gue tadi di salah satu stasiun TV." Kintari membelalakkan matanya. sarap emang  jelmaan siluman ini.

Hidung Kintari mengendus-ngendus kaos itu.

Keringetnya aja sekarang wangi kaya Downy.

"Oh pantesan bau," ketus Kintari, mengelak.

"Ah wangi gitu."

Mobil Makala perlahan meninggalkan cafe itu berjalan mulus menuju rumah Kintari. Ternyata Makala masih mengingat dimana rumah mantannya itu padahal dia tidak bertanya sedikit pun pada Kintari arah jalannya. Kintari pun mengujinya dengan hanya diam saja dan melihat ke jendela samping sambil berpikir, salahkah dia menerima begitu saja ajakan Makala untuk mengantarkannya pulang?.

"Hei, udah sampei. Tinggal jalan sedikit." Makala mengejutkan Kintari yang pikirannya telah berkelana.

"Oh, thanks." Kintari salah tingkah membetulkan tasnya, tapi baru saja dia akan membuka pintu ternyata Makala menguncinya.

Mata Kintari memutar jengah, mantannya satu ini memang gak bisa diduga apa yang bakal dia lalukan. "Bukain, gue mau turun."

"Udah diem dulu di sini, masih ujan juga diluar." Kintari melihat rumahnya yang agak jauh dari mobil ini berhenti. Memang sepertinya si Makalah ini sengaja memberhentikan mobilnya agak jauh.

Modus !!

"Gue pinjem payung loe."

"Gue gak punya."

"Gue ujan-ujan nan."

Makala menyentuh tangan Kintari, mata Kintari menatap galak langsung pada Makala. "Kintari."

Dia manggil dengan bener nama gue, artinya dia mau ngomong serius.

"Gue masih cinta sama loe."

Kintari cukup tersentak dengan apa yang dikatakan Makala. Apa-apaan ini?. Setelah cukup lama dia pergi lalu kembali dia menyatakan cinta seperti sekarang ini. Kintari menutup matanya cukup rapat dan lama, mencoba menahan kesabarannya terhadap sikap yang terbilang tidak sopan dari mantannya itu. "Gue udah punya pacar."

"Bukan suami kan?."

Bukan kurang sopan lagi dia, kurang di ajar.

"Kintari.. oke akhirnya gue harus bilang ini sama loe. Huh..." Makala mengambil nafas dan menghembuskannya perlahan.

"Gue dulu terpaksa ninggalin loe karena gue saat itu gue harus milih diantara dua pilihan yang sulit."

Mendengar masa lalu yang kembali dibuka. Seketika bulir air mata Kintari jatuh. Teringat kembali sesungguhnya bagaimana dia ditinggalkan oleh Makala. Tak ada yang tau mengenai hal ini kecuali dirinya dan Makala. Tak ada yang tau seorang Kintari yang cantik tujuh tingkat langit dan cetar membahana itu pernah ditinggalkan oleh seorang laki-laki hingga dirinya patah hati berat. Terlalu gengsi Kintari  untuk mengakui itu pada satu orang pun.

"Apa harus sampai loe buang gue? dan biarin gue berdiri sendiri waktu itu nunggu loe sampei malem?." Tanya Kintari dengan dingin. Makala diam tak menjawab mendengar Kintari yang kini menatapnya tajam dengan air mata yang perlahan turun.

"Gue ... gak mau loe susah sama gue waktu itu."

Kintari benar-benar tak mengerti apa yang dimaksud dengan kata-kata Makala itu. Apakah dia hanya sedang mencari-cari alasan?. Sungguh Kintari tidak ingin membuka luka lama itu. Kintari sudah menguburnya cukup lama. Makala tidak boleh mengetahui sepatah apa dia saat itu. Pikirannya seketika memerintahkannya untuk menghentikan ini semua, walaupun hatinya lebih ingin melanjutkan ini dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Memang kalau kamu mengetahui apa yang terjadi, apakah kamu akan meninggalkan Tara dan kembali dengan Makala?.

"Makala gue gak mau bahas ini." Kintari berkata tegas, mencoba melawan suasana yang menghanyutkan itu baginya. Hujan, mantan dan misteri masa lalu rasanya sulit untuk dilawan untuk Kintari.

"Aku ingin."

Kintari menghela nafas atas keras kepala yang dimiliki mantannya satu ini. "Terserah, kalaupun kamu gak buka pintu ini aku bakal diem aja dan tutup kuping." Tak menghiraukan Makala, Kintari mengeluarkan handphone dan headsetnya kemudian menyetel lagunya keras-keras. Makala hanya memandang Kintari.

Bodoh loe lepasin dia dulu demi sebuah kebebasan semu.

Tangan Makala perlahan meraih tangan Kintari, menggenggamnya lembut. Kintari pura-pura tidak merasakannya dan hanya mendengarkan lagu saja. Padahal hatinya sungguh menjerit, mengapa dia masih merasakan apa yang dirasakannya dulu dari Makala yaitu sebuah kenyamanan?.

Mata Kintari berkaca-kaca. Dengan sekuat tenaga dia menahan air matanya agar tidak kembali turun seperti tadi. Dia tidak ingin Makala melihatnya lemah.

"Aku tau rasa itu masih ada. Segimanapun kamu tutupin kuat-kuat. Kenapa aku tau?, karena aku juga ngerasainnya."

Menghela nafasnya, Makala berkata kembali dengan pelan namun sesungguhnya Kintari bisa mendengar itu.

"Aku coba buat pacaran dengan banyak perempuan, tapi tetep gak ada yang sama kayak kamu. Kamu tau kenapa aku bisa berubah seperti sekarang?, aku masih inget kata-kata kamu yang bilang coba kalau aku lebih ngerapihin diri dan bersih aku pasti jadi cowo yang paling ganteng buat kamu. Bahkan aku bisa ngalahin papah kamu. Aku percaya kita pasti dipertemukan lagi."

Kintari sudah tidak kuat mendengar apa yang diucapkan Makala. Sebagian pikirannya mengatakan, gila kalau kamu sampei percaya kata-kata gombal basi mantan kayak gitu.

Hatinya berkata lain, "gimana kalau apa yang diomongin dia itu bener?."

"Makala gue mau turun, please bukain," titahnya tegas setelah melepas headset dan melepaskan tangannya dari genggaman Makala.

"Oke, tapi aku bakal dateng lagi sampei kamu tau semuanya dan percaya."

Makala melajukan mobilnya dan berhenti tepat didepan rumahnya. "Sampeiin salam buat kakak kamu."

Kintari tak banyak bicara lagi, dia langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalam rumah secepat kilat. Melewati mamahnya yang sedang kursus masak dan kakaknya yang menjadi korban untuk mencicipi. Kintari tak kuat lagi menahan sedih dihati yang selama ini ditutupinya. Kintari menangis diranjangnya, bagaimanapun Makala adalah cinta pertamanya dan laki-laki yang sebenarnya masih terkunci rapat di sudut hatinya.

Bagaiamana ini?. Sebetulnya siapa yang dicintainya?. Kintari bingung, karena nyatanya hatinya masih goyah ketika Makala datang dan menyuguhkan masa lalu itu.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel