Bab 10 : Hari Tanpa Keberuntungan
Malamnya, Kintari hanya diam saja melamun memandangi kalung yang tadi siang diberikan Makala padanya. Kintari mengangkat tinggi-tinggi kalung itu, sambil memikirkan apa benar Makala menyimpan kalung ini sebegitu lama?. Sulit untuk percaya tapi sulit juga buat gak percaya. Lamunan Kintari terhenti saat ada panggilan masuk.
Pacar ganteng telepon
Senyum Kintari mengembang, kalung yang dipegangnya lalu dilempar ke kasur. Pacar harus jadi nomor 3 dan mantan harus jauh dibawah itu urutannya. "Halo sayang."
"Halo juga, kamu belum tidur?."
"Ini aku jawab telepon kamu, berarti masih bangun dong sayang. Tumben telepon malem banget gini?. Kangen ya?." Waktu sudah menunjukan pukul dua belas malam.
Maaf ya Tara kamu punya pacar narsis banget
"Iya aku kangen."
ARGH !!!!! Kintari berteriak sangat heboh dan histeris tanpa suara.
"Aku mau kasih tau, besok aku ada perjalanan ke Dubai. Kita bakal gak ketemu buat beberapa hari dulu ya," sambung Tara membuat Kintari seperti bunglon berubah dari ceria ke kesal. Kintari cemberut, pantas saja pacarnya ini telepon.
"Kamu ko baru kasih tau sih?. Kalau aku tau kamu mau terbang jauh, aku ke rumah kamu tadi."
"Aku dapet jadwal ini ngedadak, temenku minta tuker." Kintari hanya bisa memajukan bibirnya lima centi. Dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Beginilah resiko jadi pacar pilot, gimanapun kan gue harus mulai latihan sabar buat jadi istri pilot. Sabar, sabar. Kintari mengelus dadanya sendiri.
"Tari..., kamu marah ya?. Maafin aku ya sayang." Kintari tidak bisa marah dengan Tara jika Tara sudah mengeluarkan ucapan lembut padanya. "Iya, untung aku gak bisa marah-marah lama sama kamu. Save flight ya."
"Oke, ya udah kamu tidur sekarang. Udah malem. Good night."
"Good night." Kintari menutup telepon dari Tara dan kembali melihat kalung dari Makala yang tadi dilemparnya. Dia bingung apakah harus memakainya atau tidak?. Tapi jika tidak bukankah itu sama saja tidak menghargai pemberiaan orang dan menolak rejeki?.
Mana ada berliannya, aduh gak orangnya, gak barang pemberiannya, godaan banget sih buat gue.
Malam itu akhirnya di jam dua pagi Kintari menyimpan kalung pemberian Makala dimeja riasnya dan memeluk boneka hello kitty di sisi kanan juga boneka kuda pony pemberian Tara di sisi kirinya.
Akibat kegalauannya hingga pagi, Kintari bangun terlambat. Dengan make up express dan tanpa mikir panjang buat pakai baju, Kintari sudah siap dengan dress putih gading dibawah lututnya dan blazer kuning soft. Terburu-buru Kintari memakai sepatu hak tingginya, "Kintari makan dulu." Corina berteriak.
"Engga mah, aku ada UTS jam pertama. Gak lucu kan dosennya yang telat?."
Corina hanya geleng-geleng, "lagian kamu sih jam satu masih aja mandangin kalung sama boneka kuda. Eh tapi kalungnya bagus banget deh. Dari siapa sih?." Cerocos Corina yang membuat mata Raffa, suaminya memberikan tatapan penasaran. Kintari merasa terancam dengan tatapan papahnya, beginilah tidak enaknya punya orang tua kelewat gaul dan tatapan laser papahnya membuat Kintari ingin kabur saja.
"Nanti ya mah aku ceritain, aku lagi buru-buru nih. Dadah mamah, papah. Anak kalian yang cantik ini mau mengais rejeki dulu ya." Kintari mencium kilat pipi mamah dan papahnya. Raffa hanya geleng-geleng seperti biasanya dan Corina tersenyum bahagia.
Sesampainya di kampus, Kintari berjalan dengan agak cepat. Untung saja di kelas baru ada beberapa orang karena jam ujian masih 30 menit lagi buat mulai. Kintari menyiapkan kertas ujian dan juga keperluan mengajar yang lainnya, sampai akhirnya ada satu suara yang membuat Kintari berhenti. "Ibu Kintari saya bantuin ya?."
Kintari mengangkat kepalanya dan tak disangka si mahasiswa dekil cabenya sudah berubah dengan kekuatan bulannya. Dia jadi lebih tampan dan rapih. "Wow." Itu yang dikatakan Kintari.
"Ganteng ya bu?." Kintari terkejut, tapi dengan secepat kilat menetralkan wajahnya. Dia memilih untuk berpura-pura biasa saja. "Ya, lumayanlah buat diliat dan diajak ngomong."
Wingkomengangguk-ngangguk kemudian memangggil Kintari dan akhirnya mengedipkan sebelah matanya pada Kintari. Kintari jangan ditanya bagaimana perasaannya, sangat terkejut. Mahasiswa dekil itu berani seperti itu padanya. "Oh My God," teriak Kintari dalam hati.
Tak lama Kintari membagikan kertas ujian, semua mahasiswa tercengang dengan soal yang hanya ada lima namun beranak, cucu sampai cicit. Semua mengeluh dan mengerjakan dengan keputus asaan, tapi ditengah mereka semua ada satu mahasiswa yang sangat lancar mengerjakan dan mengumpulkannya lebih cepat.
Gila si mahasiswa cabe itu!,umpat Kintari melihat jawaban yang ditulis oleh Wingko. Hampir semua benar. Gak nyangka, dulu aja dia sering bolos dateng ke kelas dan dateng ujian. Sekarang dia rajin banget, mana hasil ujiannya bagus banget. Harus diselidik, batin Kintari merancanakan setelah UTS ini berakhir dia akan berdiskusi dengan dosen lainnya.
Tak perlu waktu lama, Kintari masuk ke kantor dan menghampiri dosen mata kuliah lain yang mengajar Wingko. "Bu Tini, saya mau tanya. Apakah nilai Wingko akhir-akhir ini berubah?, atau barangkali kehadiran dan sikapnya juga berubah?."
"Tidak, dia masih sama saja seperti dulu Bu Kintari." Kintari menukikkan satu alisnya.
"Benarkah?." Ibu Tini mengangguk dengan sangat yakin.
Aduh jangan-jangan tuh anak kesambet kalau lagi mata kuliah gue?. Atau mungkin dia nyontek ya tadi?. Ah gak mungkin juga tadi kan gue jalan-jalan buat meriksa. Apa gue harusnya dateng ke spiritual?.
Kintari semakin tidak dibuat mengerti. Pusing memikirkan hal aneh-aneh itu, Kintari akhirnya memutuskan untuk pulang saja. Dia ingin keluar bersama teman-temannya, daripada mikirin si mahasiswa dekil itu, pikirnya. Namun, ketidak beruntungan menghampiri Kintari, baru saja dia keluar dari ruangan dosen si mahasiswa itu menunggunya dengan gagah sambil memegang bucket bunga. Banyak pasang mata mahasiswi yang dulu acuh kini melihat ke arah mahasiswa dekil itu.
"Ibu udah beres sama urusannya?."
"Kepo banget kamu."
"Maksudnya kalau urusan ibu udah beres kita jalan yuk bu, kita makan siang bareng." Kintari menghembuskan nafasnya kemudian menengadahkan kepalanya.
Wah bener kesambet dia. Gue kayanya emang perlu ke orang pinter nih buat ngeluarin jin dari badannya.
"Maaf saya gak jalan sama murid saya sendiri, saya ada janji sama pacar. Acara yang lebih penting." Kintari berjalan meninggalkan mahasiswanya itu dengan tenang dan tanpa menoleh sedikitpun. Namun, baru beberapa langkah saja. "Bu, tunggu ini buat ibu."
Didepan para mahasiswa yang berterbaran di area itu, Wingko memberikan bucket bunga kepada Kintari. "Bunga buat ibu cantik." Kintari tidak membawanya. Dia memandang wajah Wingko dan juga bunga itu bergantian sampai akhirnya Kintari memilih untuk berbalik dan berjalan dengan tegak. "Bu saya kirim bunganya ke rumah ibu langsung aja ya. Bu Kintari, pokoknya saya bakal terus ngejar ibu sampai saya dapet hati ibu." Teriak Wingko lagi.
Kintari merasa tidak bisa diam saja disaat seperti ini, dia segera menoleh dan memberikan huruf C ditangannya kemudian diacungkan kepada mahasiswanya itu. Mahasiswa dekilnya itu tertawa.
"Gila, sableng, sarap ...," semua sumpah serapah keluar dari mulutnya tanpa peduli dia berada dimana saat ini. Banyak anak mahasiswa yang menaksirnya, tapi tidak ada yang seberani mahasiswa dekil itu. Mempermalukannya didepan banyak mahasiswa. Pasti besok akan heboh di kampus membicarakan dia dengan mahasiswa dekil itu. Ah terserahlah, gimana besok aja. Pikir Kintari.
Gue butuh temen-temen sableng gue.
"De gue butuh loe sama pasukan yang lain. Gua hampir gila sekarang," kata Kintari di telepon kepada Dea.
Kintari memilih untuk pulang terlebih dulu, dia mau berganti baju dan menyimpan tasnya. Dia dan group geng-gongnya akan bertemu di Café Orange sore nanti. Namun baru saja dia sampai rumah, di kamarnya sudah ada sebucket bunga. Tiba-tiba saja Kintari teringat kalau si mahasiswa dekilnya itu akan mengirim bunga ke rumahnya. Kintari langsung mengambil bunga itu dan membawanya turun.
"Bi buat bibi aja."
"Aduh non beneran?. Cantik sama wangi banget lho ini."
"Beneran banget bi. Saya geli bi." Kintari merasa mendapat bunga dari mahasiswa itu sama saja dapat bunga dari Atala atau adik sepupunya. Semua muridnya sudah Kintari anggap sebagai saudaranya.
"Aduh kenapa sih pada ngusik hubungan gue sama Tara. Gak mantan, gak murid." Kintari terus mengomel sepanjang menaiki tangga. Hingga ketika sore datang, Kintari sudah siap dengan celana warna khaki yang pas di kaki jenjangnya dan kaos putih polos lengkap dengan jaket denim yang ditentengnya beseta tas hitam kesayangannya.
"Oke lupain kalau loe itu dosen. Loe sore ini Kintari sang Dewi." Narsisnya sambil berkaca.
Ketika sedang berjalan keluar dari kamar, ponselnya berbunyi. Panggilan dari pacarnya. "Halooooo...," Kintari berteriak pada Tara dengan senangnya.
"Halo Tari, aku ini baru sampai. Bagaimana bunganya kamu senang?," tanya Tara pada kekasihnya itu dengan santai, tapi sang kekasih malah berteriak heboh. "Bi Nah, bunga aku ... ."
**
"Aduh gila loe, berondong ko digituin. Kesian, mentalnya belum kuat." Komentar Devi mendengar cerita Kintari, sementara Dea terus tertawa terbahak-bahak sampai keluar air mata.
"Terus aja loe ketawa sama ledekin gue."
"Ya abis cerita loe lucu banget. Gila, pesona si Kintari ini memang gak pernah pudar ya?. Mantan yang ngejar-ngejar, belum lagi murid yang jatuh cinta berat sama dia. Coba si Deniwati gak pulang cepet-cepet kemaren ke Bali, dia bisa ketawa lebih keras daripada kita."
Kintari hanya menyeruput jusnya dengan mulut manyun mirip ikan mas. "Masalahnya itu adalah mahasiswa dekil itu terang-terangan teriak dan ngasih gue bucket bunga yang gede. Kan gila dia, kemaren dia gak gitu pas masih dekil. Eh pas udah berubah dia pede abis, dikira gue bakal cinta kali ya sama dia?. Aduh masih gantengan Tara kemana-mana."
"Emang kayak apa sih tampangnya?. Barangkali gue naksir"
"Ah loe Dev, loe mah susah banget sukanya."
"Eh kan siapa tau."
Kintari hanya tertawa mengingat bagaimana sahabatnya Devi yang sangat pilih-pilih dan susah menyukai seorang pria. Menurut Devi, nama laki-laki itu harus bagus, wajahnya apalagi, belum lagi isi dompetnya dan masih banyak kriteria lainnya. Mengingat itu semua, Kintari selalu ingin tertawa namun tawanya terhenti saat mata elangnya sebagai dosen menangkap keberadaan mahluk halus yang ingin dihindarinya sedang memasuki café ini. "Gila kecil banget sih Jakarta, sampai bisa ketemu orang itu disini. " Omel Kintari sendiri.
"Apa sih Kin?." Kintari mengetikkan pesan kepada Dea dan Devi di group, 'arah jam tiga'. Semua berbalik dan setelah melihat mereka tau sebabnya kenapa Kintari pucat pasi. Tak disangka, si ember Dea malah berteriak. "Makala." Kintari menoleh dengan super cepat kepada si Toa Dea sambil memberikan tatapan laser. "Dea!!!," geram Kintari tak tertahankan, sementara Devi tertawa lebar.
Makan temen lagi hits memang bener. Ya, gue dimakan idup-idup sama temen gue.
Makala matanya membesar dan berbinar-binar melihat keberadaan Kintari. Tak butuh waktu lama Makala untuk mendekat. "Hai kalian lagi disini rupanya?."
"Iya nih, loe lagi gak sibuk gitu?,"
SKSD loe De
Kintari hanya menunduk melihat ponselnya sambil terus mengaduk minumannya. "Iya gue lagi libur sore ini dan café ini tempat yang aman buat gue ngopi." Café Orange ini memang sangat menghargai privasi pelanggannya. Disini ada aturan tertulis di dinding, untuk saling menghargai privasi antar pembeli. Jika ada yang melanggar maka dia akan diusir tidak hormat. Dari itu banyak artis yang datang.
"Sini mau gabung?," tawar Devi, membuat Kintari melotot pada Devi dengan segenap jiwa. Hingga Devi merasa takut Kintari akan mengeluarkan bola matanya karena terlalu melotot padanya.
Ralat ucapan gue tadi siang, gue sekarang lagi gak butuh temen-temen sableng gue ini.
"Boleh, kebetulan gue lagi sendiri aja. Hai Kiranti." Makala duduk disebelah Kintari sambil menyapanya. Kintari hanya membalas sapaan Makala dengan senyuman. "Bagus ya emang kalung itu dikamu." Makala melemparkan bom kepada Kintari. Tadi dia tidak bercerita mengenai kalung ini pada Devi dan Dea. Biasa, wanita selalu ada gengsinya sedikit walaupun dengan sahabat. Tapi sayangnya rahasia yang sangat berarti itu dibuka begitu mudah oleh laki-laki yang berstatus mantannya ini.
"Cie.... Jadi itu kalung dari Makala."
Kenapa tadi gue pake kalung ini sih?, sesal Kintari. Semalam ketika dia menyimpannya di meja rias, Kintari berencana hanya akan menyimpannya tapi ketika akan bertemu teman-temannya Kintari merasa sayang jika kalung sebagus itu disimpan saja. Kintari pun sangat menyukai desainnya, simple namun mewah. Kintari tidak bisa menjawab apa-apa, hanya bisa diam saja dan berdiri berpamitan ke kamar mandi. Di kamar mandi dia mengutuk dirinya karena terlalu ceroboh. Dia merasa hari ini keberuntungan sedang tidak berpihak padanya. Emosi dan rasa malunya telah menguras tenaga.
Cukup lama Kintari diam di kamar mandi untuk meyakinkan hatinya. Menegaskan dirinya jika Makala bukan apa-apa. Setelah cukup yakin, Kintari berjalan keluar kamar mandi dengan tenang dan penuh keyakinan, tapi apa daya manusia cantik namun lemah seperti Kintari ini saat melihat satu laki-laki yang dihindarinya terlihat ada disalah satu meja di café itu.
Tuh kan dia kaya jin, ada dimana-mana.
Kintari berjalan cepat dan memalingkan wajahnya namun sayang itu tidak berhasil, si mahasiswa itu mengenali Kintari. "Ibu Kintari?."
Kintari tak menggubrisnya dan tetap berjalan ke arah meja, tapi mahasiswanya itu pun mengikuti Kintari. "Katanya ibu keluar sama pacar ibu."
"Memang," bohong Kintari kemudian merutuki dirinya sendiri kembali.
“Kintari loe lama banget deh."
"Sorry ada ulet bulu nempel."
"Sumpah loe?." Devi melihat-lihat baju Kintari begitupun dengan Dea. "Bukan di baju gue, tapi dibelakang gue." Mereka berdua serempak menoleh. "Itu mah cowok cakep kali."
Dengan percaya dirinya si mahasiswa dekil itu mendekat dan berkata dengan senyuman sangat lebar. "Halo, nama gue Wingko."
“HAH??!!." Teriak Devi dan Dea serempak. Kintari menggendikkan bahu, sementara Makala bingung dan memandangi wajah Wingko.
"Jadi ini mahasiswa dekil cabe Ibu Kintari yang nyoba buat ngambil hati Bu Kintari?," ceplos Dea tanpa rasa bersalah seperti seorang bayi. Membuat Kintari melotot gila, Wingko tertawa dan Makala memberikan tatapan laser sangat tajam pada Wingko.
Selain sama pilot, gue harus saingan sama mahasiswa bau cikur?.
"Mana pacar ibu?."
Kintari diam, menutup matanya. Seharusnya tadi dia tidak mengatakan itu agar tidak terlihat bodoh saat ini.
Harus bagaimana ini?.
"Saya pacarnya. Liat baju kita aja couplean. Janjian." Kintari membuka matanya saat mendengar apa yang dikatakan Makala dan benar saja dia tidak menyadari bajunya hampir sama dengan Makala, Jaket denim dan kaus putih.
"Hahahahahaa.....,"
Kedua teman sableng gue cuman ketawa lebar dan keras. Thanks, De dan Devi gue ucapin, kalian gak membantu sama sekali.
**
