Mulai merasakan hal yang sama
Nadira menatap Arian dengan bingung. Suasana yang sebelumnya hangat kini terasa berbeda, seperti ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang belum terucapkan.
“Apa maksudmu?” tanyanya pelan.
Arian menghela napas, jemarinya saling bertaut seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat. “Aku nggak pernah cerita ini ke siapa pun, termasuk kamu…” Ia berhenti sejenak, menatap ke arah cakrawala sebelum kembali menatap Nadira. “Tapi kalau kita mau mulai sesuatu, aku nggak bisa nyembunyiin ini darimu.”
Nadira merasakan detak jantungnya semakin cepat. Ia mengenal Arian begitu lama, dan jarang sekali melihatnya sebersungguh-sungguh ini. “Arian, apapun itu, aku di sini.”
Arian menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil sebelum berkata, “Aku akan pergi.”
Nadira mengerutkan kening. “Pergi? Maksudnya?”
Arian menatap ke tanah, jemarinya mengepal di atas lututnya. “Aku dapat tawaran kerja di luar negeri. Kontraknya panjang, dan kalau aku ambil ini… aku nggak tahu kapan aku bisa balik.”
Dunia Nadira terasa berhenti sejenak. Kata-kata itu menggantung di udara, menciptakan kekosongan yang berat di dadanya. “Sejak kapan kamu tahu tentang ini?”
Arian tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. “Sejak beberapa bulan lalu. Aku nggak berani cerita ke siapa-siapa karena aku sendiri masih ragu. Tapi sekarang, aku nggak bisa menunda lagi.”
Nadira menggigit bibirnya. Perasaan hangat yang baru saja ia sadari kini bercampur dengan ketakutan yang baru. “Jadi… kamu akan pergi?”
Arian menatapnya dalam-dalam. “Itulah yang masih aku pikirin. Kalau aku pergi, aku ninggalin semuanya di sini, termasuk kamu. Tapi kalau aku tetap di sini, aku melewatkan kesempatan besar yang udah lama aku impikan.”
Nadira merasa sesak. Ini bukan jawaban yang ia harapkan setelah semua kejujuran yang baru saja terungkap di antara mereka. Ia ingin marah, ingin meminta Arian untuk tetap tinggal. Tapi di sisi lain, ia tahu, Arian tidak akan menjadi dirinya jika harus mengorbankan mimpinya.
Hening sejenak. Angin berembus lembut di antara mereka, membawa serta perasaan yang sulit diungkapkan.
“Kamu mau aku gimana, Dir?” suara Arian nyaris seperti bisikan.
Nadira menutup mata sejenak, mencoba mencari jawabannya. Ia tahu satu hal, jika ia tidak ingin kehilangan Arian. Tapi ia juga tidak ingin menjadi alasan Arian menyesali sesuatu dalam hidupnya.
Akhirnya, ia membuka mata dan menatap Arian dengan penuh keberanian. “Aku nggak akan minta kamu buat tetap tinggal. Tapi aku juga nggak bisa bohong kalau aku ingin kamu ada di sini.”
Arian tersenyum kecil, ada kelegaan di matanya meskipun tetap ada kesedihan yang tersisa. “Kamu selalu ngerti aku.”
Nadira mengangguk, meski hatinya terasa berat. “Apapun keputusanmu, aku ada di sini.”
Arian menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Aku janji, apapun yang terjadi… kita nggak akan berakhir di sini.”
Nadira menggenggam jemarinya erat, dan untuk pertama kalinya, mereka duduk dalam diam, menikmati kehadiran satu sama lain tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sejak percakapan itu di taman, Nadira merasa ada sesuatu yang berubah. Bukan dalam cara mereka berbicara atau bertemu, Arian masih ada, masih menemaninya di kafe favorit, masih mengiriminya pesan acak sepanjang hari. Tapi ada sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang menggantung di antara mereka yakni ketidakpastian.
Arian akan pergi. Itu fakta yang tidak bisa dihindari. Yang belum mereka tentukan adalah bagaimana mereka akan menghadapi perpisahan itu atau apakah mereka benar-benar akan berpisah?
Nadira tidak tahu bagaimana perasaannya. Satu sisi dirinya ingin menikmati waktu yang tersisa bersama Arian tanpa memikirkan masa depan. Tapi sisi lain terus dihantui pertanyaan: Bagaimana jika setelah ini, semuanya berubah?
Suatu malam, hujan turun deras saat Nadira sedang membaca di kamarnya. Ia baru saja hendak menutup bukunya ketika ponselnya bergetar. Nama Arian muncul di layar.
"Dir, kamu bisa keluar sebentar?"
Nadira mengernyit. Di luar hujan… Tapi sesuatu dalam pesannya terasa mendesak. Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaketnya dan bergegas keluar.
Begitu ia membuka pintu kosnya, ia melihat Arian berdiri di depan gerbang, pakaiannya sedikit basah, rambutnya acak-acakan.
"Arian? Kamu kenapa?" Nadira berjalan mendekat, menahan payung di atas kepala mereka.
Arian menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Aku udah mutusin sesuatu."
Jantung Nadira mencelos. Ini dia, momen yang selama ini ia takuti.
"Aku pergi minggu depan," lanjut Arian. Suaranya terdengar berat, seolah ia sendiri kesulitan mengucapkannya.
Nadira menelan ludah. Minggu depan? Begitu cepat?
Arian mengusap tengkuknya, menatapnya dengan mata penuh keraguan. "Tapi ada satu hal yang belum aku lakuin sebelum aku pergi."
Nadira tidak sempat bertanya apa maksudnya. Dalam hitungan detik, Arian melangkah lebih dekat dan, dengan gerakan yang penuh keyakinan, menangkup wajahnya dengan lembut.
Dan sebelum Nadira bisa berpikir lebih jauh, Arian menciumnya.
Hujan terus turun di sekitar mereka, tapi Nadira tidak peduli. Semua kebingungan, semua ketakutan yang selama ini menghantuinya, menghilang begitu saja.
Saat Arian akhirnya menarik diri, ia menatapnya dengan napas yang masih tersengal. "Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi aku tahu satu hal." Ia menelan ludah sebelum melanjutkan. "Aku cinta kamu, Nadira."
Nadira merasakan matanya panas. Kata-kata itu, iya tiga kata yang selama ini tak pernah mereka ucapkan, akhirnya terucap.
Ia tersenyum kecil, menatap Arian dengan penuh keyakinan. "Aku juga cinta kamu."
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menyadari perasaan ini, Nadira tidak lagi merasa takut.
**
