Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pertemuan Rahasia

Seminggu berlalu lebih cepat dari yang Nadira bayangkan. Hari-hari yang mereka habiskan terasa seperti hitungan mundur menuju sesuatu yang tidak terhindarkan. Meskipun mereka berusaha menjalani semuanya seperti biasa, yang tertawa di kafe favorit, mengobrol hingga larut malam, berbagi cerita-cerita kecil yang seharusnya tak berarti, tetap ada sesuatu yang menggantung di udara.

Pagi itu, bandara penuh dengan suara pengumuman keberangkatan dan suara roda koper yang berderak di lantai marmer. Nadira berdiri di dekat pintu keberangkatan, jari-jarinya mencengkeram tali tasnya erat-erat. Arian berdiri di hadapannya, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaketnya, ekspresinya penuh keteguhan, tapi matanya tak bisa menyembunyikan emosi yang berkecamuk di dalamnya.

"Jadi, ini benar-benar terjadi," kata Nadira, mencoba tersenyum meski suaranya sedikit bergetar.

Arian mengangguk pelan. "Iya. Ini benar-benar terjadi."

Mereka saling menatap, seolah ingin menghafal setiap detail satu sama lain sebelum jarak memisahkan mereka.

"Aku nggak tahu gimana nanti," Arian akhirnya berkata. "Aku nggak bisa janji semuanya akan tetap sama. Tapi aku tahu satu hal, aku nggak mau kehilangan kamu."

Nadira menarik napas dalam, mencoba menahan emosi yang sudah memenuhi dadanya. "Aku juga nggak mau kehilangan kamu, Arian."

Arian tersenyum kecil, lalu meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Kita coba, ya? Sejauh apa pun aku pergi, kita tetap kita."

Nadira mengangguk, air matanya mulai menggenang, tapi ia tetap tersenyum. "Kita tetap kita."

Suara panggilan terakhir untuk penerbangan Arian menggema di udara.

Dengan enggan, mereka melepaskan genggaman tangan mereka.

Arian mundur selangkah, menatap Nadira untuk terakhir kalinya sebelum berbalik dan melangkah menuju gerbang keberangkatan.

Nadira tetap berdiri di tempatnya, mengikuti sosok Arian dengan tatapan yang dipenuhi harapan dan keraguan. Ia tahu ini bukan akhir cerita mereka. Ini hanya awal dari sesuatu yang baru, sesuatu yang akan mereka hadapi bersama, meski dengan cara yang berbeda.

Dan saat Arian menghilang di balik pintu kaca, Nadira membisikkan sesuatu yang hanya ia sendiri yang bisa dengar.

"Aku tunggu kamu pulang."

Hari-hari tanpa Arian terasa aneh bagi Nadira. Bukan karena ia tidak bisa menjalani hidupnya sendiri, ia sudah terbiasa mandiri, tetapi ada sesuatu yang kosong dalam rutinitasnya. Tidak ada pesan acak dari Arian di pagi hari, tidak ada suara tawanya di kafe favorit mereka, tidak ada obrolan panjang hingga larut malam.

Pada awalnya, mereka masih sering bertukar kabar. Panggilan video yang berlangsung hingga dini hari, pesan-pesan panjang yang menceritakan hari mereka masing-masing. Tapi seiring waktu, perbedaan zona waktu dan kesibukan mulai menjadi jurang di antara mereka. Balasan pesan mulai tertunda, panggilan semakin jarang. Nadira mencoba memahami Arian yang sedang mengejar mimpinya, dan ia tidak ingin menjadi beban bagi lelaki itu.

Tapi ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ada rasa rindu yang terus menggerogoti hatinya.

Suatu malam, saat hujan turun deras di luar jendela kamarnya, Nadira menatap layar ponselnya yang masih sunyi. Arian belum membalas pesannya sejak pagi. Itu bukan pertama kalinya terjadi, tapi malam ini, ada sesuatu yang terasa berbeda.

Dengan napas berat, ia membuka galeri fotonya, melihat kembali momen-momen yang mereka bagi. Foto mereka di kafe favorit, rekaman video pendek saat Arian menggodanya, pesan suara yang penuh dengan tawa. Semua itu terasa begitu dekat, namun pada saat yang sama, begitu jauh.

Pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang selama ini ia hindari. Apakah mereka benar-benar bisa bertahan? Ataukah ini hanya penundaan dari sesuatu yang tak terelakkan?

Ketika akhirnya ponselnya bergetar, hatinya berdebar. Nama Arian muncul di layar.

Tanpa ragu, ia segera mengangkatnya. "Arian?"

Hening sejenak di seberang sana sebelum suara Arian terdengar, lebih pelan dari biasanya. "Dir… kita perlu bicara."

Jantung Nadira mencelos. Kata-kata itu, dengan nada seberat itu, jarang sekali keluar dari mulut Arian.

Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Oke. Tentang apa?"

Ada jeda lagi, seakan Arian sedang mengumpulkan keberanian. Lalu, dengan suara yang nyaris berbisik, ia berkata,

"Aku nggak tahu apakah kita bisa terus seperti ini."

Dunia Nadira terasa berhenti.

Nadira terpaku. Kata-kata Arian menggantung di udara, berat dan dingin seperti hujan di luar jendelanya.

"Apa maksudnya?" tanyanya pelan, hampir tidak mengenali suaranya sendiri.

Di seberang sana, Arian menghela napas. "Aku nggak mau bohong, Dir. Aku kangen kamu, tiap hari. Tapi semakin lama, semakin terasa… sulit."

Nadira meremas ujung selimutnya, mencoba menahan debaran jantungnya yang tidak teratur. "Sulit gimana?"

"Aku selalu ingin ada buat kamu, tapi kenyataannya aku nggak bisa," jawab Arian. "Aku sibuk, kamu sibuk. Kita jarang ngobrol seperti dulu. Dan aku nggak mau kita cuma jadi kenangan yang perlahan memudar."

Kenangan yang perlahan memudar. Kata-kata itu menyakitkan, lebih dari yang Nadira harapkan.

"Jadi kamu mau nyerah?" suaranya sedikit bergetar.

"Bukan nyerah." Arian terdengar frustrasi. "Aku cuma nggak mau kita bertahan kalau akhirnya malah saling menyakiti."

Nadira menutup mata, mencoba menahan emosi yang mulai mendesak ke permukaan. "Arian, kalau kita masih saling sayang, kenapa harus berhenti?"

Keheningan menyergap. Untuk pertama kalinya dalam sekian lama, mereka kehabisan kata-kata.

Lalu Arian akhirnya berkata, "Aku nggak tahu, Dir. Aku benar-benar nggak tahu."

Air mata Nadira jatuh tanpa ia sadari. Ia menunggu Arian melanjutkan, berharap ada sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih baik.

Tapi yang ia dengar hanya suara napas Arian yang berat, sebelum akhirnya, dengan suara nyaris tak terdengar, Arian berkata,

"Apa menurutmu kita harus berhenti?"

Nadira terdiam, jantungnya berdetak begitu kencang hingga terasa menyakitkan.

Dan sebelum ia bisa menjawab…

Sambungan telepon terputus.

Nadira menatap layar ponselnya dengan napas tersengal. Panggilan terputus. Begitu saja.

Dadanya terasa sesak, seolah seseorang baru saja merenggut udara dari paru-parunya. Tangannya gemetar saat ia mencoba menelepon kembali, tapi tidak ada jawaban. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Hingga akhirnya, panggilannya langsung dialihkan ke pesan suara.

Arian tidak ingin bicara lagi.

Nadira menutup matanya, menelan emosi yang mengancam keluar. Perasaan tak menentu membanjiri pikirannya. Apakah ini akhirnya? Apakah Arian sudah memutuskan sesuatu tanpa memberinya kesempatan menjawab?

Hujan di luar semakin deras, seolah dunia pun ikut menangis bersamanya.

Dua hari berlalu tanpa kabar dari Arian. Tidak ada pesan, tidak ada telepon. Nadira mencoba fokus pada kesehariannya, tenggelam dalam pekerjaannya, tetapi pikirannya terus kembali pada percakapan terakhir mereka.

Setiap kali ponselnya bergetar, harapan kecil muncul, hanya untuk dihancurkan lagi saat melihat bahwa itu bukan Arian.

Hingga akhirnya, pada malam ketiga, sebuah pesan muncul.

Arian: Kita bisa ketemu?

Jantung Nadira berdebar. Jemarinya mengetik cepat.

Nadira: Kapan?

Arian: Sekarang. Aku di tempat biasa.

Tanpa berpikir panjang, Nadira meraih jaketnya dan keluar.

Saat ia tiba di kafe kecil tempat mereka sering bertemu, Arian sudah duduk di sudut ruangan, menatap cangkir kopinya tanpa minat. Rambutnya terlihat sedikit berantakan, dan ada lingkaran gelap di bawah matanya.

Saat ia melihat Nadira masuk, ia langsung berdiri. "Dir…"

Nadira menelan ludah, mendekat dengan hati-hati. "Kenapa tiba-tiba ngajak ketemu?"

Arian menatapnya lama sebelum akhirnya menarik napas dalam. "Aku nggak mau kita berakhir seperti ini."

Nadira merasakan dadanya menghangat sedikit. "Aku juga."

Arian mengusap tengkuknya, jelas gugup. "Aku kepikiran terus tentang percakapan kita. Aku nggak mau kehilangan kamu, tapi aku juga nggak mau kita bertahan cuma karena takut perpisahan."

Nadira mengangguk pelan. "Lalu… apa yang kita lakukan?"

Arian menatap matanya dalam-dalam, lalu meraih tangannya di atas meja. Sentuhan itu masih sama, hangat, familiar. "Aku mau kita coba lagi. Bukan sebagai sepasang kekasih yang terpisah ribuan kilometer, tapi sebagai dua orang yang memilih untuk tetap saling percaya. Aku nggak bisa janji kita nggak akan mengalami kesulitan, tapi aku mau berjuang."

Air mata menggenang di mata Nadira. "Jadi… kamu nggak akan pergi dari hidupku?"

Arian tersenyum kecil, menggenggam tangannya lebih erat. "Tidak. Aku di sini. Selalu."

Nadira menghela napas lega, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, hatinya terasa sedikit lebih ringan.

Namun sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan…

Pintu kafe terbuka, dan seseorang masuk.

Nadira tidak akan peduli, seandainya orang itu bukan seseorang dari masa lalunya.

Seseorang yang seharusnya tidak ada di sini.

Seseorang yang seharusnya sudah lama ia lupakan.

Dan saat mata mereka bertemu, seluruh dunia terasa membeku.

"Nadira?"

Suara itu menghantamnya seperti badai.

Arian meliriknya dengan bingung. "Kamu kenal dia?"

Nadira tidak bisa menjawab.

Karena berdiri di depan pintu, dengan tatapan tak percaya, adalah Reza.

Lelaki yang pernah meninggalkannya tanpa peringatan. Lelaki yang pernah membuatnya hancur. Lelaki yang dulu… adalah segalanya baginya.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel