Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Saling jujur

Nadira berjalan pelan di lorong kampus, pikirannya masih dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Sejak beberapa hari terakhir, ia mulai menjaga jarak dengan Arian, berharap jarak itu bisa memberinya sedikit kejelasan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, semakin ia menjauh, semakin ia merindukan Arian.

Hari ini, mereka berjanji untuk bertemu di kafe biasa. Tapi, entah kenapa, Nadira merasa sedikit gugup. Mungkin karena ia tahu, cepat atau lambat, perasaannya harus dihadapi.

Saat ia tiba di kafe, Arian sudah duduk di sudut ruangan, memainkan sendoknya sambil menatap jendela. Nadira menarik napas, mencoba menenangkan detak jantungnya sebelum berjalan mendekat.

"Hei," sapanya.

Arian menoleh dan tersenyum, seperti biasa. Tapi Nadira merasa ada sesuatu yang berbeda, seperti sebuah senyum yang tidak seterang biasanya.

"Kamu sibuk banget akhir-akhir ini," kata Arian, suaranya terdengar santai, tapi Nadira bisa menangkap sedikit nada kecewa di sana.

Nadira tersenyum kecil. "Cuma... banyak yang harus dipikirin."

Arian mengaduk kopinya pelan. "Mau cerita?"

Nadira ragu sejenak. Apakah ia harus jujur?

"Aku cuma... lagi mikirin banyak hal."

Arian mengangkat alis, menatapnya lebih lama seolah menunggu Nadira melanjutkan.

"Lagi mikirin... kita," tambahnya pelan.

Arian terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Akhirnya."

Nadira mengerutkan kening. "Maksudnya?"

Arian meletakkan sendoknya, bersandar ke kursi, lalu menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Nadira, kita udah kayak gini bertahun-tahun. Aku selalu ada buat kamu, kamu selalu ada buat aku. Kita saling ngerti satu sama lain lebih dari siapa pun," katanya dengan nada lembut. "Jadi, aku nggak heran kalau suatu hari salah satu dari kita mulai bertanya-tanya... sebenarnya hubungan kita ini apa?"

Jantung Nadira berdebar lebih kencang. "Dan kamu sendiri? Kamu pernah mikirin itu?"

Arian menatapnya dengan serius. "Tentu saja."

Nadira terdiam. Ia tidak tahu apakah ia harus merasa lega atau justru semakin gelisah.

Arian tersenyum kecil, lalu melanjutkan, "Tapi aku selalu takut kalau aku ngomong duluan, kita bakal jadi canggung atau, lebih buruk lagi, kehilangan apa yang kita punya sekarang."

Nadira menggigit bibirnya. "Aku juga takut."

"Jadi sekarang kita ada di titik ini," Arian berkata sambil menatap lurus ke matanya. "Pertanyaannya, kita mau apa?"

Nadira menunduk, merasa hatinya bergejolak. Ia sudah tahu jawabannya, tetapi mengatakannya dengan lantang terasa seperti langkah yang sangat besar.

Arian menghela napas pelan. "Aku nggak mau maksa kamu buat menjawab sekarang. Aku cuma mau kamu tahu, apapun yang kamu pilih, aku tetap ada di sini."

Nadira mendongak, matanya bertemu dengan tatapan hangat Arian. Dan saat itu, ia sadar.

Ini bukan tentang takut kehilangan Arian sebagai sahabat. Ini tentang keberaniannya untuk menerima bahwa Arian sudah lebih dari sekadar sahabat selama ini.

Nadira tersenyum kecil. "Mungkin... kita bisa pelan-pelan?"

Arian tertawa kecil, ekspresinya terlihat lebih lega. "Pelan-pelan kedengarannya bagus."

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nadira merasa lebih ringan.

Mungkin, perasaan ini memang selalu ada. Hanya saja, butuh waktu bagi mereka untuk benar-benar melihatnya.

Hari-hari setelah percakapan itu terasa sedikit berbeda. Tidak ada yang berubah secara drastis antara Nadira dan Arian, mereka masih bertemu di kafe, masih saling mengingatkan makan, masih bercanda seperti biasa. Namun, di antara tawa dan obrolan santai, ada sesuatu yang tak terucapkan. Sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan, sesuatu yang mereka berdua tahu ada di sana tetapi masih ragu untuk sepenuhnya diakui.

Suatu sore, ketika Nadira sedang sibuk dengan laptopnya di perpustakaan kampus, Arian tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Ayo, ikut aku sebentar," katanya tanpa banyak penjelasan.

Nadira mengerutkan kening. "Kemana?"

"Udah, pokoknya ikut aja."

Dengan sedikit enggan tapi juga penasaran, Nadira menutup laptopnya dan mengikuti Arian keluar dari perpustakaan. Ia tidak tahu kemana mereka akan pergi, tetapi ia sudah terbiasa mengikuti Arian tanpa banyak bertanya.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di taman kecil di dekat kampus, di tempat yang dulu sering mereka kunjungi saat masih mahasiswa baru. Bangku kayu di bawah pohon besar masih ada di sana, dan Arian langsung duduk di atasnya, menepuk tempat di sebelahnya sebagai isyarat agar Nadira duduk juga.

"Kenapa tiba-tiba ke sini?" tanya Nadira, menatap Arian yang terlihat sedikit gugup.

Arian menarik napas dalam, seolah sedang mengumpulkan keberanian. "Dulu, waktu pertama kali kita ke sini, aku ingat kita ngobrol soal cita-cita. Kamu bilang kamu pengen jadi seseorang yang bisa bikin perubahan."

Nadira tersenyum samar. "Aku masih ingat."

Arian menatapnya dengan mata yang lebih serius dari biasanya. "Dan aku sadar, sejak saat itu, kamu emang selalu jadi seseorang yang membawa perubahan. Bukan cuma buat orang lain, tapi juga buat aku."

Jantung Nadira mulai berdetak lebih cepat. Ia bisa merasakan sesuatu yang berbeda dari cara Arian berbicara hari ini.

"Aku nggak tahu gimana caranya bilang ini dengan benar," lanjut Arian, mengacak rambutnya dengan gelisah. "Tapi yang jelas, aku nggak bisa lagi pura-pura kalau aku nggak punya perasaan lebih ke kamu."

Nadira terdiam.

"Aku suka kamu, Dir," kata Arian akhirnya. "Mungkin dari dulu, aku cuma terlalu takut buat mengakuinya."

Nadira bisa merasakan dadanya menghangat. Selama ini, ia selalu bertanya-tanya apakah perasaannya bertepuk sebelah tangan. Tapi sekarang, semua pertanyaan itu terjawab.

Arian menatapnya dengan cemas. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tahu, apapun yang kamu rasain, aku tetap di sini."

Nadira tersenyum kecil. Ia menatap langit sore yang mulai berwarna jingga, mengingat kembali semua momen yang mereka lalui bersama.

Lalu, dengan suara pelan tapi penuh keyakinan, ia berkata, "Aku juga suka kamu, Ari."

Arian terdiam sesaat, lalu perlahan senyum khasnya muncul. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di dalamnya seperti sesuatu yang lebih hangat, lebih nyata.

Mereka tidak langsung berubah menjadi pasangan yang sempurna. Hubungan mereka masih dipenuhi kebiasaan lama, canda, dan tawa. Tapi sekarang, tidak ada lagi kebingungan, tidak ada lagi pertanyaan yang menggantung.

Karena kali ini, mereka tahu bahwa mereka tidak lagi berjalan di antara batas persahabatan dan perasaan yang tak terungkap. Kali ini, mereka berjalan bersama, ke arah yang sama.

Mereka duduk dalam keheningan, hanya ditemani suara angin yang berbisik di antara dedaunan. Nadira masih merasakan jantungnya berdetak cepat setelah pengakuan mereka barusan. Rasanya seperti sesuatu yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jalannya keluar. Namun, sebelum ia bisa mengucapkan sesuatu lagi, Arian menoleh padanya dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Aku senang kita akhirnya jujur," kata Arian pelan. "Tapi... ada sesuatu yang harus aku kasih tahu ke kamu."

Nadira menoleh, alisnya mengernyit. Namun sebelum Arian sempat melanjutkan, ponselnya bergetar. Ia melirik layar sebentar, lalu ekspresinya berubah. Wajahnya yang tadi penuh ketenangan kini tampak ragu, seolah ada sesuatu yang mengganggunya. Dengan napas yang sedikit berat, ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku dan menatap Nadira. "Sebelum kita mulai sesuatu, ada hal yang harus kamu tahu tentang aku."

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel