
Ringkasan
Persahabatan antara pria dan wanita sering kali penuh warna. Ada tawa, perhatian, dan kebersamaan yang erat, bahkan terkadang lebih mesra dibanding pasangan sejati. Mereka saling peduli, berbagi cerita, dan tak jarang menjadi tempat bersandar satu sama lain. Namun, di antara kedekatan itu, muncul pertanyaan: Apakah ini sekadar persahabatan, atau ada perasaan yang lebih? Apakah mereka benar-benar nyaman dalam zona ini, atau hanya menunggu seseorang untuk mengubah status mereka?
Lebih dari Sekadar Teman
"Kita ini berteman, tapi kalau orang gak kenal kita, bisa disangka pacaran," celetuk Arian.
Nadira hanya tersenyum tipis, ia tak berucap apa-apa.
Langit sore mulai berubah jingga ketika Arian dan Nadira masih saja duduk bersebelahan di sebuah kafe kecil di sudut kota. Secangkir kopi dan segelas es teh menemani mereka, seperti biasa. Ini bukan pertama kalinya mereka menghabiskan waktu bersama seperti ini, dalam berbagi cerita, bercanda, bahkan saling mengingatkan untuk makan atau pulang lebih awal jika sudah terlalu larut.
"O iya, besok aku ada presentasi penting," kata Nadira sambil mengaduk es tehnya. "Gugup banget, Ari."
Arian tersenyum dan menyandarkan punggungnya ke kursi. "Kamu pasti bisa, Dir. Kayak biasanya, kalau kamu mulai ngomong, semua orang bakal fokus dengerin."
Nadira tertawa kecil. "Terlalu percaya diri banget sih, kamu."
"Tapi benar, kan?" Arian mengangkat bahu santai. "Kalau kamu butuh latihan, aku bisa dengerin presentasimu sekarang."
Nadira menatapnya, matanya berbinar. "Serius?"
"Serius banget."
Begitulah mereka yang selalu ada satu sama lain. Teman sejak kuliah, hubungan mereka sudah melewati banyak fase. Mulai dari bertukar tugas kuliah, berbagi cerita soal gebetan masing-masing, hingga fase di mana orang-orang di sekitar mereka mulai bertanya: Kalian pacaran?
Jawabannya selalu sama: "Enggak, kita cuma sahabat."
Tapi entah mengapa, jawaban itu kadang terasa seperti setengah kebohongan.
Mereka terlalu dekat untuk disebut hanya teman biasa. Arian sering mengantar Nadira pulang meski rumahnya jauh. Nadira tahu semua kebiasaan Arian, bahkan yang tidak diketahui teman-temannya yang lain. Mereka bisa saling diam selama berjam-jam tanpa merasa canggung.
Sampai suatu hari, salah seorang teman mereka berkata dengan nada menggoda, "Kalian ini kayak pacar, tapi nggak pacaran. Serius, sampai kapan mau kayak gini?"
Pertanyaan itu sempat mengganggu pikiran Nadira. Benarkah mereka hanya berteman? Atau selama ini ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka?
Sore itu, di kafe yang sama seperti biasa, Nadira memandangi Arian yang asyik memainkan sendoknya. Di dalam hatinya, sebuah pertanyaan mulai tumbuh.
Apakah mungkin, selama ini aku memang lebih dari sekadar teman baginya?
Malam itu, Nadira berbaring di tempat tidurnya, menatap layar ponsel. Ia mengetik pesan untuk Arian seperti sesuatu yang biasa mereka lakukan sebelum tidur.
Nadira: Thanks ya udah dengerin aku latihan tadi. Rasanya jadi lebih siap buat besok.
Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar.
Arian: Selalu, dong. Kamu pasti keren besok. Mau aku temenin?
Nadira tersenyum kecil. Arian selalu seperti itu, hadirnya tanpa diminta, seolah tahu kapan dia butuh dukungan.
Nadira: Nggak usah repot-repot, Ari. Aku bisa sendiri kok.
Arian: Bukan repot, kan aku suka ngeliat kamu kalau lagi serius presentasi. Keren aja gitu.
Jantung Nadira berdegup sedikit lebih cepat. Arian sering mengatakannya, tapi entah kenapa kali ini terasa berbeda.
Ia terdiam, jarinya menggantung di atas layar.
Sejak kapan perhatian Arian mulai terasa… lebih? Atau jangan-jangan, selama ini ia hanya menutup mata terhadap sesuatu yang sebenarnya sudah jelas?
Keesokan harinya, Nadira berdiri di depan ruangan tempat ia akan melakukan presentasi. Beberapa menit lagi gilirannya tiba, dan meski ia sudah berlatih berkali-kali, rasa gugup tetap menyergap.
Tiba-tiba, suara familiar terdengar di belakangnya.
"Aku datang."
Nadira berbalik dan menemukan Arian berdiri di sana dengan senyum khasnya.
"Kamu beneran datang?"
"Ya iyalah," katanya ringan. "Kan aku bilang, aku suka lihat kamu presentasi."
Mau tak mau, Nadira tertawa kecil, meski dadanya masih berdebar. Tapi kali ini bukan hanya karena gugup.
Saat ia berdiri di depan ruangan, siap memulai presentasi, matanya tak sengaja bertemu dengan tatapan Arian yang duduk di antara para hadirin.
Untuk pertama kalinya, Nadira menyadari sesuatu.
Mungkin… ia sudah terbiasa dengan kehadiran Arian. Tapi apakah kebiasaan itu bisa berubah menjadi sesuatu yang lebih?
Lebih penting lagi, jika iya, apakah ia siap menghadapinya?
Setelah presentasi selesai, Nadira melangkah keluar ruangan dengan perasaan lega. Beberapa rekan dan dosen memuji penampilannya, tapi pikirannya hanya tertuju pada satu orang—Arian.
Dia menemukannya berdiri di dekat pintu, menyender di dinding dengan tangan di saku celana. Begitu melihat Nadira mendekat, Arian langsung tersenyum.
"Keren banget," katanya. "Kayaknya tadi banyak yang terkesan."
Nadira terkekeh. "Masa, sih?"
"Serius," Arian mengangguk. "Aku aja nyaris tepuk tangan paling keras di ruangan."
"Untung nggak," jawab Nadira bercanda. "Nanti dikira aku bayar supporter."
Mereka tertawa bersama, seperti biasa. Seperti tidak ada yang aneh. Seperti tidak ada sesuatu yang berubah. Tapi dalam hati, Nadira tahu, jika ada yang mulai terasa berbeda.
Saat mereka berjalan keluar gedung, Nadira merasakan tangan Arian bergerak sedikit ke dekatnya, seolah hampir ingin menggenggam. Tapi sebelum benar-benar bersentuhan, Arian menarik tangannya kembali, memasukkannya ke dalam saku.
Sekilas, itu tampak seperti gerakan kecil yang tidak berarti. Tapi entah kenapa, Nadira memperhatikannya.
Selama ini, mereka memang akrab. Tapi apakah selama ini ada hal-hal kecil seperti itu yang ia abaikan?
Malamnya, Nadira berbaring di tempat tidur sambil memikirkan hari itu. Ia mulai mengingat kejadian-kejadian kecil yang dulu terasa biasa saja.
Arian selalu ingat hal-hal detail tentangnya, minuman favoritnya, kebiasaannya kalau sedang stres, bahkan film yang pernah membuatnya menangis meskipun ia tak pernah mengakuinya.
Saat Nadira sakit, Arian adalah orang pertama yang datang membawakan bubur. Saat Nadira senang, Arian adalah orang pertama yang ia hubungi.
Dulu, ia menganggap itu semua sebagai bentuk persahabatan. Tapi sekarang, ia mulai bertanya-tanya.
Apakah ini benar-benar hanya persahabatan? Atau sejak awal, mereka hanya menolak mengakui sesuatu yang sudah ada di antara mereka?
Nadira menarik napas dalam. Ada satu pertanyaan besar yang mulai muncul di benaknya.
Sejak hari itu, ada sesuatu yang berubah dalam cara Nadira memandang Arian. Ia mulai lebih sadar akan kehadiran Arian seperti senyumnya, caranya berbicara, bahkan cara matanya selalu mencari Nadira di tengah keramaian.
Namun, semakin ia menyadari perasaannya, semakin ia merasa canggung.
"Ada yang aneh sama kamu," komentar Arian saat mereka duduk berdua di taman kampus.
"Aneh gimana?" Nadira berusaha terdengar biasa saja.
Arian mengangkat bahu. "Nggak tahu. Kayak... kamu sedikit menjauh."
Nadira menelan ludah. "Nggak, kok."
Tapi sebenarnya, ia memang menghindar.
Ia takut jika terlalu sering bersama, perasaannya akan semakin jelas dan ia tidak tahu apakah ia siap menghadapi kenyataan itu.
"Ada yang ganggu pikiran kamu?" tanya Arian lagi.
Nadira menggeleng dan tersenyum kecil. "Cuma lagi banyak tugas aja."
Arian menatapnya sejenak, seolah ingin memastikan kebenaran kata-katanya. Namun akhirnya, dia hanya mengangguk dan kembali menatap langit.
Beberapa hari kemudian, Nadira semakin menyadari bahwa menghindari Arian justru membuatnya semakin memikirkannya.
Saat Arian tidak ada di dekatnya, ia merindukan kehadirannya. Saat Arian tidak mengirim pesan seperti biasa, ia merasa ada yang hilang.
Ia mulai bertanya-tanya, bagaimana jika suatu hari Arian benar-benar pergi?
Bagaimana jika Arian menemukan seseorang yang lain, yakni seseorang yang lebih berani mengakui perasaannya?
Pikiran itu membuat dadanya sesak.
Mungkin, selama ini ia hanya takut kehilangan apa yang sudah nyaman. Tapi kini, ia harus bertanya pada dirinya sendiri:
Apakah aku lebih takut kehilangan Arian sebagai teman, atau kehilangan dia selamanya?
**
