Bab 6
"Bos, apa yang sedang kau lihat?" Seseorang yang teramat sangat Adam kenal menghalangi pandangannya. Bayu dengan cepat menghadang pandangan Adam yang terpaku pada istrinya yang sedang bermesraan dengan pria lain.
Saat ini Adam dan dua rekan kerjanya baru saja selesai rapat dengan salah satu investor di restoran dekat kampus Sarai. Adam memutuskan untuk mampir sejenak ke kampus istrinya itu hanya untuk melihat wanita itu dari kejauhan, dan jika beruntung ia akan melihat senyuman di wajahnya meski tidak ditunjukkan untuknya. Hal ini selalu Adam lakukan ketika ia memiliki waktu luang. Sarai memang memutuskan untuk melanjutkan studinya dengan alasan bosan karena tidak memiliki kegiatan apalagi ia yang menolak untuk kembali ke perusahaan.
"Menyingkirlah Bayu, kau menghalangi pandangan ku." Adam mendorong Bayu ke samping agar tak mengahalangi penglihatannya. Adam, yang selama ini berusaha menutupi perasaannya, tidak pernah berhenti mencintai wanita itu meskipun tahu bahwa pernikahannya hanya sebuah kedok.
Bayu menatap Adam sedih, hanya orang-orang terdekatnya dan orang-orang dikota kecil Sarai yang tahu tentang pernikahan Adam dan Sarai.
"Jangan lihat ke sana, Bos, memandang mereka hanya akan membuat hatimu terluka," bisik Bayu, sambil menepuk bahu sahabatnya itu.
Adam mengalihkan pandangannya, menghela napas berat. "Terluka apasih? Aku hanya ingin melihat dan menikmati senyuman indah istriku, Bay. Ini sangat membahagiakan untukku." Balas Adam dengan sebuah senyuman yang dipaksakan diwajahnya. Di matanya, terpancar rasa sakit yang mendalam namun juga keberanian untuk membiarkan hatinya terluka asal sang istri bisa tersenyum, senyum yang tak pernah terukir untuknya.
"Namun itu senyuman untuk pria lain, Bos! Bukankah seharusnya ini membuatmu marah, bukan duduk di sini layaknya orang hilang akal yang tidak bisa merasakan apa-apa!" Ujar Bayu tajam. Kata-kata pedas pria itu sudah terbiasa Adam dengar namun ia tak pernah memasukan ucapan itu ke dalam hati karena ia tahu sahabat sekaligus asistennya itu memiliki maksud baik di balik kata pedasnya.
"Diamlah, Yu, kau terdengar seperti ibu-ibu komplek." ucap Adam sembari tersenyum menyembunyikan luka dalamnya.
"Terbuat dari apa hatimu, Adam? Bagaimana kau mampu bertahan di atas luka yang sedalam itu?" Batin Bayu. Matanya tidak bisa berpaling dari wajah tenang Adam yang telah ia anggap sebagai saudara. Persahabatan yang terjalin erat sejak sepuluh tahun lalu, dari masa SMA hingga kini saat Bayu telah menjadi asisten Adam.
"Tutup matamu, idiot!" teriak Bayu saat Sarai berciuman dengan Tuan Damian.
"Sudahlah, Bayu, biarkan saja. Aku sudah terbiasa," jawab Adam dengan suara lirih yang penuh kepahitan, namun Bayu tetap bisa melihat luka yang tersembunyi di balik kesantaiannya. Bayu mengenal Adam bukan hanya setahun atau dua tahun, tetapi selama satu dekade. Mereka telah melalui suka dan duka bersama.
"Ah, Adam, sampai kapan kau akan menyiksa dirimu sendiri?" Bayu memegang kepalanya, rasa frustrasi memuncak saat melihat sahabatnya berusaha tetap tenang dalam badai. Pada saat itu, Bayu bahkan melupakan formalitas yang biasa ia gunakan. Hatinya remuk melihat Adam yang terus berpura-pura bahagia, sementara hatinya berdarah-darah.
Andai saja di sini Bayu sebagai Adam, sudah pasti akan terjadi pertumpahan darah karena Bayu tidak akan segan-segan menghajar Tuan Damian yang telah berani mencium istrinya. Namun, nasib berbeda, karena yang ada di sini adalah Adam—lebih tenang dan terkendali.
"Ckck! Kau terlihat seperti orang gila, Bay," seru Adam dengan senyuman khasnya yang membuat Bayu semakin uring-uringan.
"Mati saja kau, Dam!" hardik Bayu dengan penuh amarah, kemudian meninggalkan Adam yang sambil tertawa kecil langsung berlari mengejar Bayu.
"Hey, jangan terlalu sensitif seperti anak gadis, tak perlu marah-marah, aku baik-baik saja," celetuk Adam sambil mengejar setiap langkah Bayu.
"Baik-baik saja?! Kau pikir aku ini naif, seperti anak kecil yang mudah ditipu, huh?! Kau bisa menipu semua orang dengan tatapanmu itu, tapi tidak dengan aku! Kau memang ceroboh, idiot, dan bodoh, namun sayangnya, kau juga sahabat dan atasan yang harus kuhormati," dengus Bayu, matanya berkaca-kaca karena campuran rasa frustrasi dan jengkel.
Adam mengikuti langkah Bayu meski temannya itu terus mengoceh tanpa henti. Ada rasa hangat di hati Adam ketika memikirkan betapa beruntungnya ia memiliki Bayu sebagai sahabat. Cinta dan perhatian adalah dasar kuat persahabatan mereka.
"Rara, jauhkan orang bodoh ini dariku! Aku tak ingin mendengarkan omongannya lagi," kata Bayu dengan nada tinggi kepada Rara, kekasihnya yang juga menjadi sekretaris Adam, sambil menunjuk ke arah Adam dengan wajah frustasi.
"Hey, apa-apaan kalian ini? Kalian berdua, cukup! Jangan bertingkah seperti anak-anak, kalian berdua membuatku pusing," sergah Rara sambil mencoba menenangkan keduanya.
"Bayu yang mulai duluan, Ra," ujar Adam mencoba membela diri.
"Bukan! Bos idiot ini yang memprovokasi aku terlebih dahulu," balas Bayu dengan kesal.
"Sudah, aku menebak ini pasti gara-gara Sarai lagi, bukan?" Rara mengintervensi dengan nada menengahi. "Sayang, biarkan saja, Pak Bos tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Dia pasti akan berhenti bila sudah merasa lelah. Jangan biarkan amarah menguasaimu," Rara berusaha menenangkan kekasihnya dengan lembut.
Adam tersenyum senang melihat cara Rara memperlakukan sahabatnya, lembut dan penuh pengertian hal yang tak pernah ia dapatkan dari Sarai.
Jika sudah begini hanya Rara yang bisa menenangkan Bayu, Bayu memang sangat mencintai wanitanya itu. Jadi apapun yang wanitanya itu katakan ia pasti akan menuruti.
Bayu menghela nafasnya pelan untuk menghilangkan kekesalannya. "Hmm, ya sudahlah ayo kita kembali ke perusahaan saja," ucapnya, Adam tersenyum karena sahabatnya itu sudah mulai melunak.
"Ayo," balas Rara dan Adam bersamaan.
~~~~~~~~~~~~~
Di balik meja kerjanya pun hati Adam masih harus terkoyak karena melihat kebersamaan Sarai dengan Damian sebelumnya. namun apalah daya Adam ia tak bisa melakukan apapun untuk memutuskan kebersamaan itu.
Adam, dengan seluruh kekuatannya, mencoba untuk menepis kesedihan itu, menenggelamkan diri dalam tumpukan dokumen yang memerlukan perhatiannya. Tapi sia-sia. Usahanya untuk mendistraksi diri dari sakit hati yang melanda jiwa tak membuahkan hasil. Dalam lubuk hatinya, air mata ingin pecah, tapi sebagai seorang pria, ia teringat nasihat ibunya, 'Pria itu tidak boleh cengeng.' Selama 16 tahun ini, hanya sekali Adam menitikkan air mata—saat melihat ibunya terkapar lemah di rumah sakit.
Kenangan masa kecilnya mengajarkannya bahwa air matanya adalah tanda luka bagi ibunya. Sejak itu, Adam tumbuh menjadi pribadi yang tak pernah mengeluh atau merengek, menyimpan duka sendiri tanpa membiarkan dunia melihatnya terguncang. Setiap emosi tersimpan rapat, tiap rasa sakit dibungkus kekuatan. Adam kecil adalah pribadi yang kuat, ia tidak pernah merengek minta ini dan itu pada orangtuanya, ia adalah anak yang sangat mengerti situasi kehidupan orangtuanya, kehidupan orangtuanya yang tak pernah harmonis sama sekali.
Adam terkejut ketika ketukan di pintu membuyarkan pikirannya yang sedang melayang. Ia mengangkat kepalanya, melihat Rara yang sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi serius.
"Ada apa, Ra?" tanya Adam, sambil menggeser kacamata yang sedikit turun di hidungnya.
Rara menghela napas sebelum berbicara, "Ada undangan untukmu. Malam ini, pesta ulang tahun Pak Budi, salah satu rekan bisnismu. Dia sangat mengharapkan kehadiranmu."
Adam mengernyitkan dahi, merasa sedikit terganggu karena harus mengubah rencananya yang sebenarnya ingin menikmati malam dengan santai di rumah. Namun, ia tahu betapa pentingnya menjaga hubungan baik dengan rekan bisnis.
"Baiklah, beritahu mereka aku akan datang," jawab Adam akhirnya, sambil memberikan senyum tipis kepada Rara.
Rara mengangguk, "Akan aku sampaikan, Pak Bos." Dia berbalik dan melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Adam untuk kembali pada tumpukan dokumen di depannya.
Namun, ada senyum getir diwajah tampan pria itu. Pasti akan menyenangkan andai saja ia bisa mengajak istrinya dalam pesta ini. Tapi istrinya yang memutuskan untuk menyembunyikannya pernikahan mereka dari dunia luar membuatnya tidak berdaya.
Tbc.
