Bab 7
Adam memasuki ruang pesta dengan langkah pasti, diikuti oleh Rara, sekretarisnya yang tampak lebih percaya diri. Cahaya lampu gantung yang mewah memantulkan kilauan pada setiap sudut ruangan, namun tidak ada yang lebih mencolok daripada kejutan yang menantinya.
Adam tiba-tiba menghentikan langkahnya saat berhadapan dengan Sarai. Wanita itu mengenakan gaun malam biru muda yang memukau. Disampingnya berdiri Tuan Damian yang mengenakan jas hitam yang sesekali menempelkan tangannya di pinggang Sarai yang Adam ketahui sebagai kekasih dari istrinya itu. Adam merasakan sesak di dada, namun ia berusaha keras menyembunyikan rasa cemburu yang meluap-luap.
Ingin sekali Adam menarik istrinya itu dan menjauhkannya dari pria itu, tapi sayangnya tidak bisa. Jangankan untuk melakukan itu, menyapa istrinya saja ia tidak bisa karena ia tidak mau istrinya marah padanya. Saat di tempat umum atau dimanapun Sarai akan memerintahkan Adam untuk bertingkah seolah tidak saling mengenal dan tentunya Adam akan langsung menyetujuinya demi menyenangkan wanita yang dicintainya itu.
"Selamat malam, Tuan Adam," ujar Tuan Damian dengan nada suara yang memancarkan kegembiraan, tangan terulur dalam sapaan hangat. "Senang bertemu dengan CEO seberbakat Anda di tengah gemerlap malam ini."
Adam mengalihkan tatapannya pada Tuan Damian dan membalas sapaan dengan senyuman yang tidak kalah manisnya meski saat ini ia sedang berusaha mati-matian menahan kecemburuan. "Anda terlalu memuliakan saya, Tuan Damian. Ngomong-ngomong kapan kita bisa menjalin kerjasama?" Tanya Adam basa-basi.
Kedua mata Tuan Damian berkilauan, penuh dengan antisipasi. "Ah, saya akan sangat tersanjung dan berterima kasih jika saya bisa berkolaborasi dengan Anda. Kerja sama ini pasti akan membawa kedua perusahaan kita ke puncak kesuksesan bersama."
"Ya pasti," Adam mengangguk dengan ekspresi penuh determinasi, sambil sesekali memberikan pandangan penuh arti ke arah Sarai yang tengah berdiri tidak jauh dari mereka. "Mungkin dalam waktu dekat saya akan mengirimkan proposal kerja sama kita" jawab Adam.
Tawa lepas mengalir dari bibir Tuan Damian. "Baiklah, Tuan Adam. Sementara itu, izinkan saya menyapa para tamu lainnya."
"Tentu," Adam mempersilakan dengan isyarat tangan yang elegan, mata tetap tertuju pada Sarai yang bagai magnet menarik perhatiannya.
Sarai memberikan tatapan penuh kebencian pada Adam lalu melangkah meninggalkan pria itu.
Saat Sarai menatap Adam, suami rahasianya yang berjalan ke pesta dengan menggandeng tangan wanita lain, ada bara yang membara dalam dadanya. Dia berusaha keras meyakinkan diri sendiri bahwa rasa tercekik di kerongkongannya bukanlah karena cemburu melainkan amarah yang menggelegak. Gaya Adam malam itu terasa seperti tamparan keras yang mengingatkannya akan luka lama—mantan kekasih yang menghianati setelah ia bersusah payah memberikan dukungan moral dan materiil tanpa kenal lelah.
Setelah hari itu pandangannya terhadap pria miskin berubah. Bagi Sarai, pria miskin akan mengumbar kata cinta dan memberikan perhatian seakan mereka adalah priaoritas utama bagi mereka kalau ada maunya saja, begitu keinginannya terwujud mereka akan menunjukkan sifat aslinya.
"Semua pria miskin sama saja," batin Sarai sambil bibirnya menegang pahit., "Mereka berbicara cinta hanya ketika ada keuntungan yang bisa diambil."
Sebuah renungan kelam melintas cepat di benak Sarai, "Untung saja aku tidak terbuai dengan perhatian dan kebaikannya selama ini, atau mungkin sekali lagi aku akan menjadi korban bagi ketamakan pria miskin." Kalimat itu keluar bagaikan racun yang meluap dari kepahitan yang telah lama ia pendam.
~~~~~~~~~~~
Dengan langkah yang berat, Adam mendekati bar, memesan minuman untuk menenangkan diri. Sekretarisnya, menyadari ketegangan yang dialami bosnya, mencoba mengalihkan perhatian dengan membicarakan rencana bisnis mereka. Namun, mata Adam tak bisa lepas dari pemandangan yang membuat hatinya teriris-iris.
Malam itu, Adam hanya bisa berdiri dari kejauhan, memperhatikan istrinya yang terlihat begitu bahagia dengan pria lain. Ia ingin sekali menghampiri dan menyatakan betapa sakit hatinya, namun ketakutan akan kemarahan Sarai membuatnya terpaku. Adam merasa dirinya terjebak dalam situasi yang ironis; diundang ke pesta yang seharusnya merayakan cinta, namun malah mendapati luka yang semakin parah.
Di tengah kegalauannya yang mendalam, seorang pria paruh baya mendekatinya. Pria itu tidak lain adalah Pak Rahmat, seorang CEO di sebuah perusahaan yang selama ini selalu memperhatikan Adam dan menyimpan kekagumannya terhadap pria itu.
"Tuan Adam, akhirnya kita dapat bertemu!" Dengan senyuman hangat, pak Rahmat menepuk bahu Adam dan memulai percakapan ringan tentang bisnis yang belakangan ini berkembang pesat.
"Ngomong-ngomong, siapa wanita cantik disebelah Anda?" Tanya pria itu pada Adam sambil mengalihkan tatapannya pada perempuan disamping Adam.
"Ah, perkenalkan Tuan Rahmat, dia adalah sekertaris saya, Rara." Jawab Adam memperkenalkan perempuan disebelahnya.
"Hallo, Tuan Rahmat. Saya Rara." jawab Rara sambil mengulurkan tangannya ke arah Rahmat yang disambut baik oleh pria itu.
Tak lama kemudian, obrolan berubah arah ketika Rahmat mengungkapkan keinginannya untuk menjodohkan Adam dengan anak gadisnya yang cantik jelita.
"Tuan Adam, saya punya seorang anak perempuan yang cantik dan cerdas. Saya pikir kalian berdua akan cocok jika bersama. Bagaimana jika kalian mencoba berkenalan terlebih dahulu?" Ujar pak Rahmat menawarkan.
Adam yang mendengar itu hanya tersenyum simpul. "Wah, terdengar menarik," jawabnya sambil tertawa kecil, mencoba menanggapi dengan ringan tanpa mengungkapkan status pernikahannya.
Pria itu tertawa, tak menyadari bahwa di balik senyuman Adam, ada kegelisahan yang tersembunyi. Adam tahu ia harus berhati-hati dengan setiap kata yang diucapkannya agar rahasia ini tidak terbongkar di tengah keramaian pesta.
~~~~~~~~~~~~~
"Terdengar menarik?" tanya Rara dengan alis terangkat, matanya mencerminkan kebingungan atas pernyataan yang dilemparkan sahabatnya kepada Pak Rahmat. Rasa ingin tahu memuncak saat Pak Rahmat meninggalkan mereka berdua.
"Apakah kamu sudah benar-benar jenuh dengan istri mu dan berniat untuk menceraikannya lalu setelah itu menikah lagi dengan putri Pak Rahmat?" lanjut Rara dengan nada yang serius namun penuh keingin tahuan.
"Wow... Memang, itu terdengar menarik. Aku akan mendukungmu tanpa syarat jika itu benar-benar rencanamu. Sarai tidak layak untukmu, lihat saja, dia bahkan menyembunyikan pernikahannya denganmu dan berkencan dengan pria lain. Sungguh, seorang istri yang tak tahu diri!" ucap Rara yang tiba-tiba terdengar bersemangat.
Adam, yang mendengarkan Rara membicarakan istrinya dengan nada negatif, tidak dapat lagi menahan kegelisahannya. "Sudahlah, Ra. Siapa bilang aku ingin menceraikannya? Aku masih bertekad untuk memenangkan hatinya, dan aku tidak akan menyerah begitu saja," ucapnya dengan suara tegas namun terdengar patah, menegaskan komitmen yang belum goyah pada istrinya,
Ya, Adam tidak akan kuat jika ada orang yang berbicara buruk tentang istrinya meskipun itu adalah benar. Cinta yang ia miliki untuk istrinya tidak mengijinkannya melakukan itu. Ia akan berusaha membela istrinya meskipun itu harus melawan sahabatnya sendiri.
Tbc.
