Pustaka
Bahasa Indonesia

Tameng Cinta Yang Menyakiti

70.0K · Tamat
sniiaa_
55
Bab
154
View
9.0
Rating

Ringkasan

WARNING! Cerita ini mengandung unsur 21+, harap bijak dalam memilih bacaan. Serai Malik, seorang wanita cantik yang terkenal dingin dan tak tersentuh. Orangtua yang selalu menekanya, saudara yang selalu menjadikannya saingan dan pernah mengalami penghianatan dari kekasihnya, membuatnya tidak lagi percaya pada cinta dan keluarga. Kehidupannya yang keras membuat Serai membangun benteng di sekeliling hatinya, melindunginya dari rasa sakit yang mungkin datang. Suatu hari, Serai memutuskan untuk mengajukan pernikahan kontrak dengan tujuan untuk mencari tameng dan melindungi dirinya dari tekanan keluarga serta menjauhkan diri dari cinta. Namun, hidup tidak berjalan sesuai rencana, tameng yang seharusnya melindunginya justru berbalik menyerangnya.

RomansaPresdirBillionaireDewasaPerselingkuhanPernikahanbadboyMantanDinginBalas Dendam

Bab 1

Serai, gadis cantik berdarah Indonesia Timur itu, sedang sibuk menyiapkan segala sesuatunya untuk surprise ulang tahun kekasihnya, Fikram. Dia merasa senang dan tidak sabar untuk melihat reaksi Fikram ketika melihatnya tiba-tiba berada di depan pintu. Sarai telah merencanakan untuk mengunjungi kota tempat Fikram bertugas sebagai abdi negara, karena dia tahu betapa sibuknya Fikram dengan pekerjaannya dan jarang pulang ke kampung halamannya.

Setelah menyelesaikan persiapan, Sarai memutuskan untuk segera berangkat menuju ke kota tempat Fikram tinggal. Ia memutuskan akan menggunakan perjalanan darat yang memakan waktu cukup lama. Namun, Sarai tidak merasa lelah atau bosan karena dia tahu bahwa semuanya akan sebanding dengan senyum bahagia Fikram nanti.

Akhirnya, setelah menempuhh perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, Sarai tiba di kota tempat Fikram tinggal. Dengan semangat yang membara, dia melangkah turun dari bus, mengenakan pakaian berwarna cerah yang mencerminkan kegembiraannya. Rambut panjangnya yang hitam berkilau diterbangkan angin, seraya menyapu wajahnya yang tegang. Dengan tatapan yang tajam dan penuh harap, dia mengamati setiap detil yang terbentang di depannya.

Tidak membuang waktu, Sarai bergegas menuju ke rumah Fikram, hatinya dipenuhi dengan perasaan cemas namun bersemangat. Ketika dia berdiri di depan rumah, debaran jantungnya semakin kencang, tangannya dingin oleh kegugupan yang mendalam. Tapi apa yang menanti di dalam rumah itu jauh di luar ekspektasinya.

Pintu rumah itu terbuka sebagian, memberikan celah bagi Sarai untuk mengintip ke dalam. Matanya membelalak saat melihat Fikram dan seorang wanita. Mereka terlihat sangat intim untuk ukuran seorang sahabat, membuat Sarai tidak bisa berpikir positif tentang mereka. Hati Sarai terasa remuk, pikirannya terasa hancur, tubuhnya membeku di tempat, tidak mampu menerima kenyataan yang begitu pahit di depan mata.

Fikram terkejut saat melihat Sarai yang tiba-tiba ada di depannya. Namun, ekspresi terkejut itu segera digantikan oleh wajah tenang dan tanpa penyesalan. Sarai merasa sakit di hati saat melihat pemandangan di depannya. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat. Apa yang terjadi dengan Fikram? Apa yang membuatnya melakukan hal seperti ini?

Sarai berjalan mendekat ke arah Fikram dan wanita duduk di sampingnya, tiap langkahnya seolah menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa begitu sunyi. Dengan suara yang bergetar, dia bertanya, “Bisa kau jelaskan ini, Fikram?”

Napas Fikram terdengar berat, karena Sarai sudah menyaksikan sendiri, ia tidak bisa mengelak. "Perkenalkan, dia Ratih, kekasihku," ucap Fikram, suaranya datar namun menusuk hati Sarai.

Sarai terpaku, merasakan setiap denyut jantungnya seakan membawa derita yang tak terkira. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Fikram, orang yang dia cintai dengan sepenuh hati, tega mempermainkan perasaannya dengan begitu keji? Lidahnya terasa kelu, tidak ada yang bisa diucapkan oleh Sarai selama beberapa saat. Dia hanya bisa menahan air matanya agar tidak jatuh di depan Fikram dan wanita itu. Sarai merasa seperti dunia runtuh di hadapannya. Semua rencana indahnya bagi ulang tahun Fikram hancur berantakan dalam sekejap.

Ia menatap Fikram, mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu ada sejuta kata yang tidak bisa diucapkan. "Lalu, aku ini apa bagimu, Fik?” Ujar Sarai. “Apa yang sedang terjadi? Kenapa kau melakukan ini padaku? Katakan.. katakan jika kau sedang bercanda!” suaranya retak, seolah setiap kata adalah patahan kaca yang menggores luka.

Dunia yang selama ini Sarai bangun dengan penuh cinta seolah runtuh menjadi debu di hadapannya, mengubur semua mimpi dan rencana indah yang telah dia siapkan untuk ulang tahun Fikram yang semestinya menjadi saat penuh kebahagiaan, bukan kehancuran.

"Kuharap kau bisa mengerti, Sar, aku terjepit oleh tuntutan orang tuaku. Mereka mengharuskan aku untuk memilih pasangan yang selevel dengan status sosial kami, terutama setelah kamu memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikanmu," kata Fikram dengan suara bergetar, penuh penyesalan. "Aku lemah, Sar... aku tidak berdaya melawan mereka. Perasaan ini menghancurkanku, tapi aku tidak memiliki pilihan lain. Aku berharap kamu bisa memahami keputusan ku ini. Kita berakhir sampai sini!”

Sarai terdiam, ia tidak pernah menyangka bahwa status sosial dan kekayaan akan menjadi penghalang bagi hubungan mereka. Ia merasa bodoh dan diremehkan.

Sarai menatapnya dengan hati yang hancur, mata berkaca-kaca menahan luka. “Dan kau juga berpikir aku tidak pantas untukmu, begitu? Setelah semua pengorbanan dan cinta yang aku berikan padamu?”

Fikram menghela nafas berat, wajahnya tampak tua beberapa tahun dalam hitungan detik. "Aku... aku terperangkap, Sar. Hidupku bukan lagi milikku sendiri. Aku terjebak dalam posisi yang sulit."

Air mata mengalir deras di pipi Sarai, suara hatinya bergetar karena terluka dan kecewa. "Dan pada akhirnya, kau tidak memperjuangkan ku! Dalam kisah kita, ternyata aku hanya bayangan semu yang tak pernah benar-benar memiliki tempat di hatimu, Fik." Suaranya tenggelam dalam tangis.

Fikram hanya diam dan memandanginya dengan tatapan kosong. Tidak ada ekspresi apapun di wajahnya. Ia kelihatan cuek dan tak peduli dengan perasaan Sarai yang hancur saat ini. Tapi jauh di lubuk hatinya, Fikram ingin sekali menahan Sarai, tetapi ia tidak memiliki alasan lagi untuk mempertahankan hubungan mereka. Ia tahu bahwa keputusannya sudah terlambat, ia telah menyakiti hati Sarai terlalu dalam.

Sarai merasakan luka yang menganga dalam hatinya, seolah dunianya runtuh menjadi serpihan yang tak terhitung. Cinta yang selama ini dijaganya, tidak lebih dari fatamorgana yang pahit. Perasaan dikhianati, diremehkan, dan dihancurkan oleh Fikram menyeruak memenuhi setiap sudut jiwanya. Impian yang pernah mereka rajut bersama, kini layu dan berantakan tanpa ampun.

Langkahnya gemetar meninggalkan jejak di tanah, ketika Sarai melangkah keluar dari pintu rumah Fikram untuk terakhir kalinya—tanpa sepatah kata pun. Ia berjalan membabi buta, tanpa tujuan, dipeluk rasa hampa yang memekakkan. Pikirannya blank, seolah tiada lagi harapan yang bisa dia genggam.

Suasana hati wanita itu terasa seperti tertawa mengejek diri sendiri. Bagaimana bisa ia menyembunyikan segala pencapaian dan kemampuannya selama ini pada orang-orang di sekitarnya hanya karena tidak ingin pria itu merasa rendah diri dengan pencapaiannya? Apakah kesalahannya hanya karena terlalu naif?

Namun, dari rasa kecewa yang dialami, Serai menemukan tekad yang bulat di dalam hati. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk membalas semua penghianatan dan hinaan yang telah ia terima.

Penghianatan Fikram menusuk hatinya lebih dalam daripada pisau yang tajam, meruntuhkan kepercayaan yang ia bangun bersama. Serai mengepalkan tangannya erat, buku jari berwarna pucat karena tekanan kuat yang diberikannya. Air matanya terus menetes, membasahi pipinya yang sembab, tanpa sadar ia terisak pilu. Dalam hatinya bergolak kebingungan dan dendam yang menyelimuti tubuhnya.

“Aku akan membuat Fikram dan orang tuanya merasakan pahitnya kehidupan, lebih dari apa yang pernah aku alami,” geram Serai dalam hati. “Mereka akan melihat siapa Serai yang selama ini mereka rendahin.” tekad wanita itu.

Tbc