Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

*Satu Tahun Kemudian*

Adam menyandarkan tubuhnya di sudut ruangan, matanya tak lepas dari sosok Sarai yang sedang tertawa lepas dengan Tuan Damian. Istrinya dengan kekasih istrinya, kekasih istrinya? Adam tersenyum kecut, ia sangat membenci dua kata itu itu. Adam terus memperhatikan istrinya yang sedang bermanja dengan seorang pria yang ia kenali sebagai CEO dari salah satu perusahaan besar.

Sudut bibir Sarai terangkat dalam senyum yang menghiasi wajah cantiknya, suatu pemandangan langka yang jarang Adam saksikan dalam keseharian mereka. Jantung Adam berdegup kencang, ada kebahagiaan yang menyelinap tapi juga kepedihan yang mendalam karena senyum itu bukan untuknya.

Satu tahun telah berlalu sejak mereka resmi menjadi pasangan suami-isteri, namun setiap hari Sarai semakin menjauh. Entah apa yang salah, Adam selalu berusaha memahami, memberi perhatian lebih, tapi Sarai seolah berada dalam dunia yang berbeda, dunia di mana Adam tak bisa menjangkau.

"Kapan aku bisa mendapatkan senyummu? Kapan aku akan merasakan kehangatan pelukanmu? Kapan aku akan benar-benar memiliki hatimu?" Adam berdialog dalam kesunyian, ditemani oleh gema pertanyaan yang tak terjawab dalam benaknya. Cinta, cinta sepihak yang ia taburkan tanpa balasan—sebuah penderitaan yang ia telan setiap harinya..

Dari kejauhan, Adam mencoba memahami percakapan mereka meski hanya bisa menangkap beberapa fragmen tawa dan anggukan Sarai yang memantik api cemburu dalam dadanya. Hatinya berkecamuk, ingin mendekat dan menyapa, tapi kaki ini seolah terpaku, takut akan penolakan yang mungkin terjadi. Terlebih, ia takut istrinya itu akan semakin membencinya.

Sarai sesekali memainkan rambutnya, sebuah gestur yang Adam tahu itu pertanda dia nyaman. Dia menghela napas, mencoba mengukir senyum tapi yang terasa hanyalah kegetiran. Ini bukan pertama kalinya dia merasa seperti ini, tapi setiap momen seperti ini kembali mengingatkannya betapa jauhnya mereka sekarang, meski berada di ruangan yang sama.

~~~~~~~

Hati Adam semakin terkoyak hancur saat menyaksikan istrinya berciuman dengan pria lain tepat di depan matanya. Sudah menjadi menu sehari-hari baginya untuk merasakan deraan sakit yang mendalam. Selama satu tahun pernikahannya dengan Sarai, yang didapat hanyalah luka menganga yang tak kunjung sembuh. Bagaimana mungkin hatinya tidak tercabik, saat setiap tetes cinta yang dipancarkannya tak pernah mendapat sambutan hangat? Saat kelembutan yang ditawarkannya selalu ditampik dengan kekasarannya, dan saat setiap perhatian yang diberikan hanya ditolak mentah-mentah oleh Sarai.

Di mana lagi Adam bisa mencari kebahagiaan, jika bukan dari orang yang dijanjikannya untuk berbagi suka duka? Namun, meski berkali-kali hatinya dilukai, Adam masih berdiri tegar, menopang harapan rapuh bahwa suatu hari, istrinya akan membalas segala cinta yang telah ia curahkan.

Dulu Adam adalah asisten teladan dari wanita itu. Beberapa tahun yang lalu wanita itu menunjuknya sebagai CEO di perusahaannya. Perusahaan yang dibangun Sarai tanpa sepengetahuan orangtuanya dan kekasihnya kala itu. Hingga detik ini, Adam masih bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat Sarai menyembunyikan kesuksesannya dari dunia? Ketidakjelasan yang semakin menambah beban pikiran di tengah badai perasaan yang mengamuk dalam dada Adam.

Adam menikahi Sarai atas keinginan wanita tersebut sendiri. Sejak awal, Adam tidak ragu menerima tawaran pernikahan dari Sarai meskipun ia sempat merasakan ada keganjilan, pasalnya hatinya telah lama terpaut pada keanggunan wanita itu. Dalam benaknya, Adam memvisualisasikan masa depan pernikahan yang dipenuhi dengan kebahagiaan dan cinta, anak-anak yang berlarian, dan akhir yang damai bersama dalam pelukan satu sama lain.

Namun, seperti mimpi yang hancur seketika, harapan Adam hancur berkeping-keping saat Sarai mengungkapkan bahwa pernikahannya hanyalah taktik untuk menghindar dari desakan orangtuanya yang mendesaknya segera menikah. Hati Adam terasa remuk, tak lebih dari tameng bagi masalah pribadi Sarai.

Meski pernikahan itu pahit, Adam tetap menemukan secercah kebahagiaan, karena ia kini dapat bersama wanita yang selama ini dia dambakan secara diam-diam. Dengan tekad yang kuat, Adam yakin suatu hari nanti dia akan dapat menaklukkan hati Sarai.

Hari berganti hari, Adam berusaha sekuat tenaga untuk mendekati Sarai, namun bahkan sebuah senyum pun tidak berhasil dia dapatkan dari istrinya itu. Sepi menyelimuti setiap langkah yang dia ambil, seolah-olah tiap usahanya berakhir dengan dinding tebal yang tak tergoyahkan.

Hari-hari berlalu bagai badai yang tak henti menerjang Adam, tiap kata kasar dari Sarai menusuk hatinya bagai belati tajam. Tatapan penuh kebencian itu, semakin membuat dada Adam sesak. Entah kebencian apa yang wanita itu miliki terhadap dirinya. Namun, sebagai pria yang tak kenal lelah, Adam bertekad bulat untuk meleburkan tembok dingin yang telah dibangun oleh istrinya, sekalipun sepertinya mustahil.

Meski mereka tidur dalam satu ranjang, jarak di antara mereka bagai samudra yang tak terjembatani—tidur bersisian namun tanpa sentuhan, tanpa kata, hanya hening yang membungkus malam. Namun naifnya Adam, ia masih menemukan celah kebahagiaan dalam kehampaan itu, karena setidaknya, ia bisa menghirup aroma jasmine yang menempel di tubuh Sarai. Setiap malam menjadi momen yang ditunggu, saat ia dapat merasakan kehangatan dari punggung Sarai yang selalu membelakanginya, seolah-olah wajahnya adalah sesuatu yang tabu untuk disaksikan.

Adam, dengan tatapan lembut yang penuh harapan, akan mengawasi istrinya itu hingga terlelap. Dia berharap suatu saat, kebencian itu bisa lebur, digantikan dengan tawa yang mereka bagi bersama. Meskipun ia tahu, mungkin harapan itu hanya akan menjadi mimpi yang tak pernah terwujud.

~~~~~~~~~~~~~~

Sejarah pahit yang Serai alami dulu dalam hubungan asmara di mana kekasihnya dulu meninggalkannya saat mengetahui bahwa ia tidak menyelesaikan studinya dan anggapan orangtua pria itu tentang ia yang tidak memiliki masa depan yang baik serta tatapan menghakimi dari orang-orang disekitarnya telah mengubah Serai yang hangat menjadi Sarai yang kejam, mengubah Sarai yang dengan hal-hal kecil bisa mengucapkan terimakasih menjadi Sarai yang tidak tahu diri. Pengalaman tersebut telah mengubah pandangannya tentang cinta dan hubungan, khususnya terhadap pria dari latar belakang ekonomi yang lebih rendah darinya.

Setelah kejadian itu, Sarai menjadi skeptis dan seringkali mempertanyakan niat sejati di balik kebaikan yang ditunjukkan kepadanya, terutama jika itu datang dari seorang pria yang status sosial ekonominya tidak sebanding dengannya.

Hal itu tidak jauh berbeda dengan perlakuannya terhadap pria yang setahun yang lalu sudah resmi menika dengannya. Meskipun suaminya sering menunjukkan kasih sayang dan dukungan, Sarai selalu merasa bahwa ada motif tersembunyi di balik semua itu, yaitu ambisi suaminya untuk mengambil alih bisnis yang telah ia bangun dengan susah payah.

Ya, saat ini Adam, suaminya masih menjabat sebagai CEO di perusahaannya. Meski telah kembali, Sarai tetap tidak ingin memegang tampuk kepemimpinan di perusahaannya. Ia menyerahkan seluruh tanggung jawab itu kepada Adam. Meski telah melakukan itu, Sarai tetap tidak bisa melihat Adam dengan baik. Baginya itu sudah menjadi tanggung jawab pria itu sebagai karyawan di perusahaannya.

Kepercayaan ini membuat hubungan mereka menjadi kompleks dan terkadang tegang, karena Sarai selalu waspada dan cenderung menginterpretasikan setiap tindakan suaminya sebagai upaya untuk mendapatkan keuntungan dari dirinya. Ini juga membuatnya sulit untuk sepenuhnya membuka hati dan menerima cinta dengan tulus, karena bayang-bayang penghianatan masa lalu selalu menghantui pikirannya.

~~~~~~~~~~~~~~

Setiap hari, jantung Adam bagai ditoreh pisau tatkala melihat kemesraan Sarai dengan Tuan Damian. Sungguh, adegan itu memilukan. Namun, Adam yang berhati mulia tak pernah sekali pun menyalahkan Sarai, karena dia tak ingin istrinya itu semakin menjauh dan membencinya. Dengan sabar, Adam terus memberikan kasih sayang yang tak pernah terbalas, sementara Sarai menolaknya tanpa ampun.

Dalam keharmonisan rumah tangga yang kerap tergambar, di sini justru terbalik. Sarai berkuasa penuh, mengendalikan setiap sendi kehidupan mereka berdua. Adam, sang kepala keluarga, hanya bisa patuh pada segala kemauan istrinya, tanpa pernah mempertanyakan baik atau buruknya keputusan tersebut.

Ironis memang, di mana lazimnya seorang istri menyajikan sarapan bagi suami, di rumah ini Adam-lah yang bertugas. Dia menyiapkan sarapan dengan penuh harap akan satu sentuhan apresiasi dari Sarai, tetapi harapan itu selalu sirna. Sarapan yang dipersiapkan dengan penuh kasih itu hanya terdiam sepi, tak pernah tersentuh oleh Sarai.

Pernah satu kali Adam dengan lembut meminta Sarai untuk menikmati sarapan yang telah disiapkannya. Namun, dengan seketika, amarah Sarai meletup bak gunung berapi. Tanpa ampun, dia menghamburkan seluruh hidangan itu ke lantai, membuat pecahan piring berterbangan layaknya fragmen hatinya yang hancur. "Jangan sekali-kali memaksaku memakan masakan menjijikanmu ini! Kau pikir dengan masakan ini aku bisa jatuh cinta padamu?! Itu takkan pernah terjadi!" seru Sarai dengan nada yang tajam bagaikan belati.

Namun, Adam, dengan kebaikan hatinya yang tak lekang oleh waktu, hanya membalas dengan senyumannya. Senyuman yang biasanya sanggup membuat para wanita terpikat, tetapi bagi Sarai, itu hanyalah senyum yang memuakkan, seolah-olah melecehkan setiap butir amarah yang dia rasakan.

Dengan semua perlakuan buruk yang dia terima, apakah Adam akan menyerah? Jawabannya tetap, tidak. Dalam jiwa yang lara, ia bertekad untuk bertahan, menjalani hari demi hari dengan hati yang menantikan kelelahan untuk merengkuhnya, menunggu waktu kapan rasa letih itu akan mewujud dalam hidupnya.

Tbc.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel