Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Pak Bara menatap Sarai dengan penuh kebahagiaan, matanya bersinar saat mengamati anak perempuannya yang seharian ini mengenakan kebaya pengantin. "Sarai, Ayah sangat bahagia melihatmu hari ini. Kamu sangat cantik," ucapnya dengan suara yang bergetar, tanda haru dan lega.

Selama ini, kekhawatiran Pak Bara tentang masa depan Sarai yang sempat suram akibat patah hati telah terbayarkan dengan kebahagiaan yang ia rasakan saat ini.

Namun, Sarai yang mendengar kata-kata ayahnya itu tidak memberikan respons hangat. Wajahnya datar, matanya dingin seolah terbuat dari es. Dalam hatinya, ia masih menyimpan luka yang belum juga sembuh. Sarai berdiri dengan tegak, mengambil napas dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian. Tanpa melihat ayahnya lagi, ia berbalik perlahan dan berjalan menjauh, meninggalkan Pak Bara yang masih berdiri dengan senyum yang perlahan mengendur. Aura dingin yang menyelimuti Sarai seakan menjadi dinding yang mampu membekukan kehangatan di sekitarnya. Meskipun hati Pak Bara merasa teriris, ia membiarkan Sarai pergi, berharap suatu saat nanti, putrinya itu akan dapat kembali membuka hatinya.

Pernikahan megah yang baru saja terjadi di depan rumah mereka bukan hanya sekedar pesta. Sarai dengan sengaja menggelar acara mewah ini sebagai bentuk pembuktian kepada para tetangga yang kerap merendahkannya. Pesta itu seakan menjadi tameng, melindunginya dari belenggu ekspektasi dan tekanan yang selama ini dibebankan oleh orangtuanya. Meskipun begitu, di sudut hati Sarai, ada sayatan mendalam—cinta dan hormat yang ia rasakan kepada orangtuanya mulai terkikis oleh realita pahit.

Tatapan Pak Bara mengikuti setiap gerak putrinya yang tegar, tidak tergoyahkan. Namun, di balik panggung perayaan tersebut, Sarai berdiri sendirian, menahan deru emosi. Ia menyadari, senyuman yang diukir di wajah orangtuanya adalah masker; masker yang menutupi rasa lega mereka seiring dengan meningkatnya status sosial yang akan mereka nikmati setelah ini. Senyum itu bukan untuk kebahagiaannya, melainkan untuk kebanggaan semu yang kini mereka sandang.

Sarai yang semula senang dengan kesederhanaan dan menganggap semua orang sama dimatanya kini mulai merubah pandangannya pada orang yang memiliki status sosial dibawahnya.

Kekecewaan terhadap kehidupan mendorong perubahan dalam dirinya, mulai mendiskriminasi mereka yang berstatus sosial lebih rendah. Dalam pandangannya, status sosial telah menjadi ukuran cinta dan penghormatan—suatu ajaran yang diturunkan oleh orangtuanya. Kini, dengan status barunya sebagai istri seorang CEO, mereka yang dulunya mencibir dan menekannya mulai meliriknya dengan tatapan penuh pengagungan.

Meski begitu, Sarai masih tetap merahasiakan keunggulannya terhadap Adam, suaminya, tidak ingin menunjukkan supremasinya di hadapan umum. Namun, bayang-bayang pengkhianatan mantan kekasihnya masih menghantui, menutup hatinya rapat-rapat, dan memutuskan untuk tidak pernah lagi menyerahkan cintanya kepada siapapun, termasuk kepada Adam. Luka masa lalu itu telah merubahnya, menciptakan jurang dalam hatinya yang tampak tak mungkin terisi kembali, seolah cinta telah menjadi asing dalam hidupnya yang kini diselimuti keangkuhan dan dendam.

~~~~~~~~~~~~

Adam melihat wajah istrinya, Sarai, yang terlihat murung dan dingin. Dia mencoba mengajaknya berbicara, "Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

Namun, Sarai hanya memberikan tatapan datar, bibirnya mengeras mencoba menahan kemarahan yang membuncah. Adam yang melihat itu tidak tersinggung, ia hanya berpikir mungkin Sarah lelah setelah hari yang panjang dan penuh tekanan di acara pernikahan mereka.

Adam berusaha tersenyum, mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Sarai dengan lembut, berharap itu bisa mengurangi ketegangan yang ada. "Istirahatlah, mungkin besok kau akan merasa lebih baik," ucapnya dengan nada penuh pengertian, tanpa sedikit pun curiga akan perubahan mendadak pada perilaku istrinya itu. Adam juga sudah mulai merubah panggilannya pada wanita itu mengingat sekarang mereka sudah menikah.

Sarai tiba-tiba duduk dengan tegak di hadapan Adam, matanya tajam menatap ke dalam mata pria itu. "Aku ingin kamu merahasiakan pernikahan ini" ucapnya tiba-tiba dengan nada yang dingin dan tanpa keraguan. "Saat kita kembali ke kota, tidak ada satu orang pun yang perlu tahu tentang ini."

Adam menatap Sarai dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Suasana di sekitarnya hening.

"Aku, tidak mengerti," ucap Adam dengan nada yang berat, mencoba menyembunyikan kebingungannya. "Mengapa kamu ingin merahasiakan pernikahan kita? Bukankah ini yang kamu inginkan?"

Sarai menghela nafas, frustrasi melihat Adam yang tidak segera mengerti. "Lihat, Adam, pernikahan ini bukan tentang cinta atau perasaan," tegasnya, menekankan setiap kata. "Ini tentang kebutuhan. Aku membutuhkan tameng agar orangtuaku tidak memaksa untuk menikah, dan juga untuk menghindari gosip miring orang-orang disekitar, bahwa aku bisa mendapatkan apa yang mereka anggap berharga."

Adam menatap Sarai, mencoba memahami keputusannya yang begitu pragmatis dan dingin. Rasa tidak percaya dan kecewa mulai merayapi hatinya, tetapi ia tahu tidak bisa berbuat banyak. Sarai selalu punya alasan dan selalu berencana beberapa langkah ke depan.

"Jadi, ini hanya tentang memuaskan ego?" tanya Adam, suaranya hampir tidak terdengar.

Sarai mengangguk tanpa ekspresi. "Tepat sekali. Dan itu harus tetap menjadi rahasia kita."

"Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang jadi korban manipulasi egomu?" suara Adam bergetar, mencerminkan rasa sakit yang mendalam. "Kenapa kamu tak terus terang sejak awal saat menawarkan pernikahan ini?" kesedihannya bercampur amarah.

"Cih, bukankah ini seharusnya menjadi anugerah bagi dirimu? Aku sadar betul jika kamu sudah menyukaiku sejak awal!" Balas Serai dengan nada sombong dan dingin.

Adam menghela nafas, hatinya tenggelam dalam kebenaran pahit tersebut. Ia memang telah jatuh cinta pada Serai, bosnya yang menawan itu. Itulah yang membuatnya menuruti segala kemauan Serai, termasuk menerima tawaran pernikahan yang kini terasa seperti jebakan. Adam tidak pernah menduga Serai akan berubah menjadi sebegitu manipulatif.

Apa yang telah meracuni hatinya hingga menjadi sejauh ini tak kenal belas kasihan?

"Aku mungkin diam dan menyembunyikan semua ini," ujar Adam dengan nada bergetar, mencoba mempertahankan martabat terakhir yang dia miliki, "namun aku menginginkan kehidupan pernikahan yang sejati dan normal, layaknya pasangan lainnya."

Serai tersenyum sinis, "Aku tak berjanji akan memberikan apa yang kau inginkan." Sarai berbicara seolah-olah ia memegang kendali penuh atas nasib Adam, membuat pria itu merasa lebih terpojok dan tak berdaya. Dalam keremangan harap yang pudar, Adam menyadari betapa pahitnya realitas yang harus ia hadapi.

Namun, dalam kesulitan terdapat keteguhan hati. Adam, meski tahu pernikahan ini hanya tameng bagi Sarai, memutuskan untuk memuliakan wanita tersebut sebagai istrinya. Ia bertekad untuk menutup mata terhadap ketidakpedulian yang mungkin diperlihatkan oleh Sarai, berharap cinta yang tulus yang ia berikan akan mampu melembutkan hati yang beku.

Dengan cinta yang tak tergoyahkan, Adam berjanji dalam hati untuk mengabulkan setiap keinginan Sarai, termasuk menyimpan rahasia tentang ikatan pernikahan mereka yang rapuh ini. Di sanubari yang terluka, ia bersumpah, cintanya akan terus menyala, membakar segala rasa sakit.

Tbc.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel