Bab 3
Deraian cemoohan dan hinaan yang menghujaminya belakangan ini telah merubah Serai menjadi sosok yang rapuh namun berlapis baja. Air mukanya kini membeku, setiap senyum telah lama pergi meninggalkan wajah yang dulu ceria. Pengkhianatan Fikram yang dulu ia panggil kekasih, kini bagai belati yang setiap hari mengoyak hatinya, sementara tekanan dari orang tua dan orang-orang disekitarnya yang menampakkan watak mereka yang sesungguhnya memperparah luka di hati Serai.
Serai merasa dunia cinta hancur seketika. Pengkhianatan dan tekanan berjalan beriringan, merajam jiwa yang pernah percaya pada cinta sejati.
Dalam pandangan orang tuanya yang meremehkan, Fikram adalah pilihan sempurna. Tak peduli luka yang telah ditorehkannya, mereka terus mendesak Serai kembali ke pelukan laki-laki yang tak lagi menghargai hati.
Dengan beban yang semakin berat, cambukan harapan dan tuntutan menjerat Serai pada posisi yang tak seharusnya ia tempati—sebuah posisi di mana cinta diukur berdasarkan status dan gelar, bukan atas dasar kejujuran dan kesetiaan. Setiap hari, kejengkelan Serai tumbuh semakin memuncak, seolah-olah ia terperangkap dalam kepungan tanpa akhir yang menderanya. Desakan itu menyiksa hingga nyaris mencabut segalanya dari dirinya—termasuk kepercayaan pada esensi cinta yang sejati dan murni.
Pada titik terendahnya, Serai mulai mengisolasi diri dari orang-orang. Keinginannya untuk mencintai sirna, percaya bahwa tak ada cinta sejati di dunia ini. Ia menjauh dari sahabat-sahabatnya, menganggap bahwa persahabatan pun menjadi tidak relevan. Cinta dan sayang pada orangtuanya pun perlahan memudar, akibat tekanan berat yang mereka lakukan padanya. Serai berubah menjadi sosok yang dingin dan tidak tersentuh, bahkan terkesan kejam di mata orang-orang terdekatnya. Perlahan, Serai terkubur dalam lapisan es kekecewaan yang mendalam dan dingin, jauh dari hangatnya Serai yang dulu.
~~~~~~~~~~~~
~Beberapa Bulan Kemudian ~
Serai melangkah tegap menuju lobi hotel mewah, di kota yang sama yang pernah menyaksikan air mata pilunya beberapa bulan silam. Kali ini, setiap langkahnya terasa berat, namun terkendali, seolah-olah tiap detak jantungnya memompa semangat baru. Hari itu, dia tidak lagi datang untuk menyelami kenangan pedih atau kekecewaan yang pernah mengoyak hatinya, tetapi membawa proposisi yang siap meretas jalan hidupnya.
Desakan orangtuanya untuk menikah sesegera mungkin, mengingat umurnya yang sudah cukup matang serta tatapan kasihan dan cemoohan yang terus menghujam dari para tetangga setelah dikhianati kekasihnya, menjadi batu penjuru yang menghimpit jiwa Serai. Bagai menyentuh dasar terendah, dia berkeras hati memutuskan untuk menikah dengan seseorang yang jauh lebih baik dari mantannya; sebuah langkah besar yang tidak hanya membebaskan diri dari belenggu desakan orangtua, tetapi juga untuk menutup mulut penuh cerca.
Dengan pernikahan tersebut, Serai tidak sekadar membangun benteng dari pandangan miring semata, tetapi menciptakan kesempatan baru, untuk menjalani kehidupan dengan harkat yang diklaimnya kembali, menghapus semua air mata yang pernah tumpah di tanah kota ini.
Di batas cahaya lobi hotel, tampaklah sosoknya, sebuah siluet harapan yang bertekad mengubah semua rasa sakit menjadi kekuatan baru.
Dengan tatapan tajam dan aura yang membekukan, Serai melangkah menuju pria yang sudah dihubunginya terlebih dahulu. Pria itu bukan sembarang orang, ia adalah CEO di perusahaan yang ia dirikan.
Pertemuan mereka terjadi beberapa tahun yang lalu di kota tempat Serai menuntut ilmu. Kala itu, Serai secara sembunyi-sembunyi mengembangkan bisnisnya tanpa sepengetahuan orang tua atau pun kekasihnya. Dari membaca buku-buku bisnis sejak duduk di bangku sekolah dasar, Serai telah merintis usaha kecil yang kini berkembang pesat.
Dengan keahlian yang terasah, Serai tak hanya sukses membangun imperium bisnisnya, tetapi juga berhasil meraih gelar sarjana hanya dalam waktu tiga tahun dua bulan. Tidak ada yang mengetahui alasan Serai menyembunyikan kesuksesannya—rahasia yang ia simpan erat-erat hingga tak seorang pun di dekatnya yang menaruh curiga.
Dua tahun yang lalu, dengan diploma sarjana yang masih terasa hangat di tangannya, Serai mempercayakan nasib perusahaannya pada sosok pria yang memperkenalkan diri sebagai Adam K. Sejak memulai karirnya sebagai asisten pribadi Serai, Adam telah menunjukkan bakat bisnis yang luar biasa. Sejak itu, dengan setiap strategi yang dipaparkan Adam, perusahaan Serai mengalami lonjakan pertumbuhan yang dramatis.
Bagai menemukan harta karun terpendam, Serai tidak pernah menduga bahwa pria yang dulunya datang memohon pekerjaan tersebut adalah mastermind yang kini memegang kendali atas kejayaan bisnisnya.
Setelah meraih gelar sarjananya tanpa sepengetahuan orangtuanya serta orang-orang terdekatnya, Serai memilih untuk kembali ke kampung halamannya, pilihan itu diambil saat ia memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, mengumbar alasan cuti kuliah pada orangtuanya yang mencoba menelan rasa gundah.
Namun, setelah setahun berlalu, gelisah mulai menyelimuti rumah itu. Orang tuanya, dengan mata yang tajam penuh kecurigaan, mulai mempertanyakan kenapa Serai belum juga kembali ke kota tempat ia menempuh pendidikannya.
Serai, dengan suara yang getar dan mata yang tak kuasa bertemu pandang, menyembunyikan kebenaran dengan kedok kebohongan. Ia mengarang cerita bahwa kesalahannya telah menghantarnya ke ambang pengusiran dari kampus. Hati orangtuanya terkoyak; kesedihan dan kekecewaan menyatu, merajam pandangan mereka pada anak yang pernah mereka banggakan.
Tragedi tak berhenti di situ. Ketika hubungan Serai dengan kekasihnya harus berakhir diusianya yang telah cukup matang, getaran patah hati itu menggema hingga ke sudut-sudut rumah, menghilangkan harapan terakhir orangtua yang menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Orangtuanya, dalam kepasrahan yang menyakitkan, meyakini tak ada lagi tangan dengan nasib yang baik yang akan meraih Serai, meminangnya sebagai pendamping hidup, dengan realita pahit bahwa ia tanpa gelar, tanpa nama.
~~~~~~~~~~~
Adam menangkap tatapan Serai yang mendekat, langsung beranjak dari kursinya dan menyambut kedatangannya dengan senyum hangat yang melintas di bibirnya. Ia mengulurkan tangan, menyambut dengan jabatan yang penuh arti. "Selamat malam, Nona!" Ujar Adam.
Dari pertemuan pertama hingga kerja sama yang memadukan keduanya, Adam telah memuja Serai yang ceria, baik, dan memiliki kemampuan mengagumkan dalam berbisnis, hingga hatinya tak kuasa menahan kekaguman yang berubah menjadi benih cinta.
Namun kali ini, ada yang ganjil. Kerutan di dahi Adam semakin dalam, matanya mencermati perubahan dalam sorot mata Serai yang terasa begitu asing dan dingin—sangat bertentangan dengan Serai yang dikenalnya empat tahun lalu. Apa yang telah terjadi pada wanita ini?
Sepekan yang lalu, secara misterius, Serai menghubungi Adam untuk membicarakan sesuatu yang katanya sangat penting. Detailnya masih terselubung misteri, karena Serai bersikeras untuk membicarakannya hanya ketika mereka berhadapan langsung. Apa gerangan yang begitu mendesak hingga mengubah aura Serai seketika? Adam merasakan debaran di dalam dada, berbaur antara cemas dan antisipasi.
Serai memandang Adam dengan tatapan kosong, aura dingin memancar dari sekujur tubuhnya. Dia menyambut uluran tangan Adam dan tanpa basa-basi, segera meminta pria itu untuk duduk kembali. Dengan nada yang menegaskan ketegasan dalam dirinya, Serai langsung mengungkapkan tujuannya. "Aku ingin mengajakmu menikah denganku," ucap Serai tegas.
Adam terperanjat, alisnya bertaut dalam kebingungan. "Maaf, apa saya tidak salah dengar, Nona? Mengapa tiba-tiba?" tanyanya, suaranya penuh kecurigaan.
Serai menarik napas dalam-dalam, matanya menghindari tatapan tajam Adam. "Tidak ada alasan khusus yang dramatis, aku hanya merasa sudah waktunya aku membangun rumah tangga. Dan entah mengapa, instingku mengatakan bahwa kamu adalah pilihan yang tepat untuk menjadi pendamping hidupku," ucap Serai dengan suara yang berusaha tenang namun menyembunyikan gelora di dalam dada. Serai memilih untuk menyembunyikannya alasan yang sebenarnya dari niatnya.
Adam masih tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya, "Lalu, bagaimana dengan kekasih Anda yang dulu? Bukankah kalian saling mencintai satu sama lain?" suaranya menggema dengan kekuatan yang memuat rasa penasaran yang intens.
Menanggapi itu, wajah Serai yang sebelumnya tenang berubah menjadi gambaran es, dingin dan tajam. Ada semburat rasa jengkel yang terpancar ketika Adam mengungkit masa lalunya. "Aku sudah memutus semua ikatan dengan dia," balasnya tegas, suaranya bergetar lirih dengan kemarahan yang berusaha ia kubur dalam-dalam.
Adam terdiam, mencerna informasi tersebut. Suasana menjadi lebih tegang, sebuah tawaran pernikahan yang mendadak dan penuh misteri ini sepertinya menyimpan lebih banyak cerita daripada yang bisa dilihat mata.
"Baiklah. Lalu kapan kita akan menikah dan di mana?" tanyanya, suara bergetar oleh keberanian campur aduk dengan keraguan.
Menahan rasa penasarannya yang menggebu, Adam memutuskan untuk menyambut peluang emas ini. Peluang seperti ini barangkali tidak akan datang lagi. Rasa cinta yang telah lama bersemi dalam dirinya terhadap wanita tersebut mendorongnya untuk meraih kesempatan ini dengan sepenuh hati.
Keraguan tak lagi menghantui pikirannya, terlebih ia mengenal sang bos sebagai wanita yang sederhana dan berjiwa besar, yang tidak terbelenggu oleh gap finansial antara mereka. Keberanian dan kerendahan hati sang wanita itulah yang semula membuat Adam terpikat. Tanpa prasangka buruk dan tanpa tanda tanya lagi, ia menyetujui tawaran mengejutkan itu dengan tekad yang bulat.
Tbc.
