Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Sarai duduk sendirian di ruang tamu rumahnya, menatap jauh ke arah jendela yang terbuka lebar. Dia bisa merasakan hembusan angin sepoi-sepoi yang masuk ke dalam ruangan, membawa aroma bunga-bunga segar dari kebun belakang rumah. Namun, keindahan alam di luar sana tak mampu mengusir rasa hampa yang menggelayuti hatinya.

Setelah mengalami patah hati akibat penghianatan kekasihnya, Sarai memutuska untuk kembali ke kampung halamannya. Dia ingin menyembuhkan luka hatinya dan mencari kembali kedamaian yang sudah lama hilang dari dirinya. Namun, setelah satu minggu ia kambali, pikiran-pikiran negatif selalu mengganggunya. Salah satu di antaranya adalah ketakutan bahwa orang-orang di kampung halamannya akan mengetahui kegagalan cintanya. Mereka pasti akan menilainya dan menghakimi keputusannya.

Sarai merasa takut. Takut akan konsekuensi dari pilihan yang dia ambil. Dia tahu betul bagaimana budaya di kampung halamannya yang selalu menempatkan pria di atas wanita. Pria akan merasa rendah diri jika level pencapaian pasangannya berada di atasnya. Dan itulah yang membuat Sarai selalu menyembunyikan pencapaian dan keberhasilannya. Lebih dari itu, tujuan lain Sarai adalah untuk meredam semangat bersaing saudara laki-lakinya yang luar biasa. Saudaranya, yang selalu melihat Sarai sebagai batu sandungan dalam perjalanannya, tak pernah berhenti mengukir perbandingan di setiap kesempatan. Dengan diam-diam, Sarai bertahan dalam teduh, menyimpan gemerlap prestasinya agar tidak memicu bara iri dalam hati saudaranya yang mudah terbakar. Dia tidak ingin membuat siapapun merasa terintimidasi olehnya. Namun, naas bagi Sarai, keputusannya untuk merendahkan diri justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Tak pernah terlintas dalam benak Serai bahwa Fikram, pria yang telah ia dampingi dalam suka dan duka hingga mencapai impian besarnya, akan mengkhianatinya. Lebih dari sekadar dukungan moral, Serai juga telah memberikan dukungan finansial, hanya untuk menemukan bahwa pria itu memilih perempuan lain. Yang lebih menggores luka, adalah sikap orang tua Fikram yang selama ini ia percayai ternyata memendam kekecewaan padanya.

Kekecewaan orang tua Fikram tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mereka langsung meminta anaknya untuk mencari wanita lain yang menurut mereka lebih sepadan dengan mereka. Menurut mereka, Sarai yang tidak memiliki gelar di balik namanya tidak cocok untuk anak mereka. Mereka menginginkan wanita yang bisa membawa kebanggaan dan kehormatan bagi keluarga mereka.

Serai merasa jantungnya berdebar kencang dan kepalanya berputar saat memikirkan keterlibatan orang tua Fikram dalam pengkhianatan ini. Bagai tersiram air panas, amarah mengalir di pembuluh darahnya. Serai memendam semua pencapaiannya, menjaga citra dirinya di mata Fikram agar pria itu tidak merasa rendah diri didepannya. Mimpi membangun rumah tangga sederhana, namun berbahagia dan cukup dengan orang yang ia cintai harus hancur berkeping hanya karna status sosial.

Ada sejenak pikirannya melayang pada ide untuk mengungkapkan semua keberhasilan dan pencapaiannya, untuk membuktikan kepada Fikram dan orang tua pria itu yang pernah merendahkannya bahwa ia lebih dari apa yang mereka kira. Namun, napas dalam yang ia tarik mengingatkannya pada sesuatu hal yang lebih penting—ketenangan batinnya.

Serai menghela napas panjang. Dengan keputusan yang telah bulat, ia memilih untuk melepaskan semua kebencian dan dendam. Tidak ada gunanya ia terus menerus terbelenggu dengan emosi negatif yang hanya akan meracuni hatinya sendiri. Ia harus melanjutkan hidup, mengejar kebahagiaan yang sebenarnya, bukan kebahagiaan semu yang didasari oleh pembuktian diri kepada orang lain.

Sementara itu, Pak Bara dan Ibu Rina, orangtua Sarai, yang diam-diam memperhatikan Sarai yang terlihat murung, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Merasa ada yang tidak beres, mereka berdua pun berjalan mendekati Sarai, mencoba mengetahui apa yang telah terjadi dalam hidup anak mereka selama seminggu ini.

Ibu Rina menghampiri Sarai dan duduk di sampingnya. “Sayang, kamu kenapa? Kami khawatir melihatmu seperti ini,” tanyanya dengan lembut.

Pak Bara berdiri di belakang mereka, menatap Sarai dengan penuh perhatian. “Kamu tidak lagi terlihat menghubungi Fikram? Apa yang terjadi?” suaranya mengandung nada khawatir.

Sarai menghela napas, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang. “Fikram dan aku sudah putus,” ujarnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.

Mendengar itu, wajah pak Bara berubah. “Putus? Kenapa kamu tidak memberitahu kami lebih awal? Apa yang salah? Apakah kamu yang membuatnya pergi?” tanyanya, nada suaranya mulai meninggi.

Sarai merasa tertekan, tetapi ia berusaha menjelaskan. “Ayah, bukan begitu. Kami sudah berusaha, tapi kami tidak cocok. Terkadang, cinta tidak cukup untuk membuat semuanya berjalan baik,” Ujar Sarai, memilih untuk menyembunyikan fakta yang sebenarnya.

Selama ini, Serai selalu memilih untuk mendiamkan perih hatinya, ia tidak pernah ingin membagi satu pun kisah dukanya ke orang tua maupun teman-temannya, apalagi diumbar lewat jejaring sosial. Rasa takut akan belas kasihan yang akan diterimanya membuatnya terkurung dalam kesendirian yang menyakitkan.

Baginya, simpati yang diberikan orang lain adalah semacam ejekan, memperburuk luka yang telah terbuka. Daripada dikasihani, ia lebih memilih menjadi objek kesalahan. Ia yakin bahwa tatapan-tatapan penuh simpati itu hanyalah penanda rasa hina dari mereka yang tak benar-benar mengerti luka yang dirasakannya.

“Kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan pria yang lebih baik dari Fikram, Sarai. Kebodohanmu telah membuatmu kehilangan kesempatan emas itu,” ujar pak Bara dengan suara penuh amarah.

Alih-alih mengerti dan mendukung keputusan Sarai, pak Bara justru memarahi putrinya itu. Ia menganggap Sarai yang bersalah atas berakhirnya hubungannya dengan Fikram. Bagi pak Bara, Fikram adalah pria yang sempurna untuk putrinya. Ia merasa kecewa dan marah karena Sarai tidak mampu mempertahankan hubungannya dengan pria yang dianggapnya sesuai untuk Sarai.

"Kamu harus memikirkan kembali keputusanmu, Sarai. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari," Ayahnya menambahkan dengan nada yang sedikit lebih tenang namun tetap tajam.

Sarai merasa terpukul dengan kata-kata ayahnya. Ia merasa tidak dihargai dan dipahami atas keputusannya. Ia merasa hancur dan terpuruk dalam kesedihan yang mendalam. Namun, pak Bara tidak menghiraukan perasaan Sarai. Bagi ayahnya, yang terpenting adalah memastikan putrinya hidup dengan seorang pria yang bisa memberinya segala sesuatu yang ia inginkan.

Dalam keputusasaan dan keputus-asaan, pak Bara mencoba memaksa Sarai untuk kembali pada Fikram. Namun, Sarai dengan tegas menolak. Ia tidak ingin kembali pada pria yang telah mengkhianatinya dan membuatnya menderita.

“Ayah, aku tidak akan kembali pada Fikram. Aku sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Tolong mengerti dan hargai keputusanku,” ucap Sarai dengan tegas.

Namun, kata-kata Sarai hanya semakin memicu amarah pak Bara. Ia mulai mengungkit kesalahan-kesalahan Sarai di masa lalu, termasuk keputusannya untuk berhenti kuliah di tengah jalan. Ia membandingkan Sarai dengan anak laki-lakinya yang telah sukses menamatkan gelar magisternya dengan nilai yang memuaskan.

“Jangan berkeras diri, Sar. Kamu juga sudah putus kuliah, apa yang akan kamu lakukan dengan hidupmu, Hah?” ujar Pak Bara meninggikan suaranya. “Kami juga tidak akan berkeras seperti ini memaksa mu untuk memperbaiki hubunganmu dengan Fikram andai dulu kamu berhasil menamatkan kuliahmu. Setidaknya, jika tidak bersama Fikram, kamu masih memiliki harapan lain.”

Sarai menelan ludah, merasakan beratnya kata-kata itu. “Aku masih bisa mencoba hal lain, Pa...”

“Apa? Seperti Fajar, kakakmu itu? Dia lulus dengan predikat *** laude, sekarang bekerja di perusahaan besar. Bandingkan dirimu dengannya!” Ayahnya menunjuk-nunjuk ke arahnya, seolah menuduh. “Kamu tidak akan pernah bisa menyamai prestasi anak laki-lakiku, Sarai. Kamu hanyalah seorang gadis manja yang tidak punya masa depan. Kembali pada Fikram adalah pilihan terbaik untukmu,” ujar pak Bara dengan tajam.

Kata-kata itu bagai deru badai yang menghantam jiwa Sarai. Racun kekecewaan terasa membelenggu pikirannya, hantaman keras dari seorang ayah yang seharusnya menjadi pelindung, bukan algojo penilai. Perbandingan kasar itu tidak baru bagi Sarai. Sikap keluarga yang memicu api cemburu ini telah lama meresap dalam sanubari setiap anggota. Sejak kecil, Sarai telah menjadi bintang yang menyilaukan di mata sang ayah, membuat ayahnya menaruh harapan besar padanya. Perlakuan istimewa yang diberikan kepadanya selalu berbeda, selayaknya permata yang terlindung, sementara abangnya bagai batu kerikil yang terlewatkan. Hal ini menumbuhkan duri cemburu dalam hati abangnya, melihat Sarai bukan sebagai adik yang harus dilindungi, tapi sebagai saingan yang harus dikalahkan. Itulah yang membuat hubungan dua saudara itu tidak pernah akur. Tapi sekarang, saat Sarai gagal dalam segala hal, Sarai bukan lagi kebanggaan bagi ayahnya melainkan aib bagi keluarga.

~~~~~~~~~~~~~~~~~

Setiap hari bagi Sarai terasa seperti berperang di medan yang penuh dengan rintangan emosional. Di rumah kecilnya, suasana yang dulunya hangat kini hanya menyisakan suasana tegang dan penuh tekanan. Ayahnya, pak Bara, tak henti-hentinya mendesaknya untuk kembali pada Fikram. Salah satu kalimat ayahnya yang selalu ia dengar dan yang membuatnya muak adalah, ‘Kamu harus berjuang, Sarai! Cinta itu tidak mudah, dan kamu tidak bisa menyerah begitu saja!’

Kalau sudah seperti itu, Sarai hanya bisa menunduk, hatinya bergejolak antara rasa sakit dan kemarahan. Ia merasa terjebak dalam harapan yang tidak mungkin terwujud. Setiap kali Ayahnya membahas Fikram, hatinya bergetar, bukan karena cinta, tetapi karena rasa sakit yang terus menggerogoti. Ia merasa seperti boneka yang dikendalikan, dipaksa untuk kembali ke pelukan seseorang yang telah mengkhianatinya.

Namun, desakan dari orangtuanya bukanlah satu-satunya yang harus ia hadapi. Di luar rumah, gosip dan tatapan penuh simpati dari tetangga-tetangganya semakin membuatnya merasa terasing. Mereka yang dulunya tidak pernah mengusiknya kini seolah menjadi pengamat yang siap memberikan komentar.

‘Kasihan Sarai, ditinggal Fikram,’

‘Dia pasti merasa sangat hancur,’

‘Serai, si malang, ditinggal pacarnya untuk wanita lain,’

‘Mau jadi apa dia, udah tidak bisa menamatkan kuliahnya dan sekarang diselingkuhi oleh pacararnya. Dengar-dengar sih, orang tua si laki gak sudi punya mantu sepertinya,’

Bisikan dan gosip seperti itulah yang selalu didengar oleh Sarai, membuat Sarai merasa seolah semua orang mengawasinya. Tak hanya itu, tidak jarang Sarai bisa mendengar bisikan dan tawa sinis tetangga-tetangga yang sepertinya senang melihat kejatuhan orang lain. Sarai tak hanya berjuang melawan rasa hancur karena pengkhianatan, tapi juga malu yang membuatnya terkurung dalam kehinaan tanpa henti.

Puncak dari semua ini terjadi ketika Fikram mengunggah foto mesra dirinya dengan wanita lain di media sosial yang ia tau sebagai selingkuhan pria itu. Sarai melihatnya dengan mata yang membelalak, jantungnya berdegup kencang. Dalam foto itu, Fikram tersenyum lebar, memeluk wanita itu dengan penuh kasih sayang. Rasa malu bercampur marah menggelora di dalam dirinya. Tidak bisakah pria itu bersabar sebentar? Kenapa dia harus menunjukan penghianatannya secepat ini pada dunia dan membuat ia kehilangan muka?

Sarai merasakan kemarahan yang membara. “Dia tidak hanya meninggalkanku, tapi juga mempermalukanku di depan semua orang,” geramnya dalam hati. Rasa dendam mulai tumbuh, bukan hanya kepada Fikram, tetapi juga kepada orang tua pria itu yang dianggapnya penyebab ini semua. “Seperti inilah bentukan pria yang menjadi idola ayah. Kenapa aku harus kembali padanya? Dia sudah memilih jalannya sendiri, eeuuuhhhh...”

Tbc.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel