Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4: Menuju Utara

Langkah mereka menapaki tanah yang mulai mengeras, meninggalkan hutan lebat menuju padang luas di utara. Angin sejuk membawa aroma daun basah, menemani perjalanan dalam diam.

Meiran melirik ke arah Yuhuan, lalu bertanya dengan nada ragu tapi penasaran,

"Yuhuan… siapa sebenarnya Moyan? Kenapa dia memburu aku? Apa karena kristal ini?"

Yuhuan mengangguk pelan.

"Benar. Dia mengincar Lingya Crystal. Kekuatan itu bukan sesuatu yang bisa dibiarkan jatuh ke tangan sembarangan."

Meiran mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, lalu bertanya lagi, "Tapi… untuk apa dia menginginkannya?"

"Kristal itu menyimpan kekuatan langit, warisan dari para dewa," jawab Yuhuan. "Selama ribuan tahun, kristal itu disegel dan dijaga oleh klan kami. Tapi Moyan… dia ingin memecahkan segel itu, memaksanya tunduk pada kehendaknya. Jika dia berhasil, dunia akan dipenuhi kekacauan."

Meiran terdiam. Bayangan tentang kehancuran yang disebut Yuhuan membuat dadanya terasa sesak.

Namun suara Yuhuan terdengar mantap, tegas namun hangat, "Selama aku masih hidup, dia tidak akan menyentuhmu… atau kristal itu."

Meiran menoleh. Tatapan Yuhuan yang penuh keyakinan membuat rasa takutnya perlahan mereda. Ia mengangguk kecil.

Tanpa banyak kata lagi, mereka melanjutkan perjalanan menuju utara.

Langkah kaki mereka menjejak tanah berkerikil, menyusuri jalan setapak yang mengarah ke wilayah tempat peradaban manusia bermukim. Angin dingin berembus lembut, mengusik helaian rambut Meiran yang tertiup ke samping. Di sisi kirinya, Yuhuan melangkah tenang, matanya lurus menatap ke depan, seolah tahu persis ke mana mereka akan pergi.

Meiran akhirnya memberanikan diri bertanya, memecah keheningan di antara mereka.

"Ngomong-ngomong... kita sebenarnya mau ke mana?"

Yuhuan tetap melangkah tanpa menoleh. "Ke Wilayah Klan Manusia. Ada sebuah desa kecil yang sejalur dengan jalan menuju utara, namanya Desa Fenglin."

Meiran sontak menghentikan langkahnya. "Hah? Kenapa ke sana? Maksudnya... ngapain?"

Yuhuan menghela napas pelan, lalu menoleh sebentar ke arahnya.

"Perutmu dari tadi ribut terus. Kamu nggak ngerasa lapar?"

Meiran mengerjap. Dia memang belum makan apa pun sejak terlempar ke dunia ini. Anehnya, rasa lapar itu baru terasa ketika disebutkan.

"Loh... iya juga, ya. Aku belum makan apa-apa sejak sampai sini. Tapi kenapa nggak kerasa lapar sebelumnya?"

Yuhuan menatap ke depan lagi. "Kamu terlalu sibuk bingung sampai lupa tubuhmu butuh makan."

Meiran terkekeh kecil. "Ternyata Yuhuan peka juga, ya."

Laki-laki itu menanggapi dengan datar. "Kalau nggak peka, kamu bisa pingsan sebelum sampai sana."

Meiran memperhatikan Yuhuan yang mengenakan jubah gelap dengan tudung menutupi kepala.

"Kamu nyamar ya sekarang? Petualang misterius versi serigala?"

Yuhuan tetap berjalan, membetulkan posisi tudungnya tanpa menjawab. Tapi Meiran menangkap gerakan itu.

"Nutupin telingamu, ya?" godanya lagi. "Pake jubah segala, pasti takut ketahuan kamu bukan manusia."

"Kalau kamu bisa diam selama lima menit, mungkin kita bisa sampai lebih cepat," balas Yuhuan tenang.

Meiran terkekeh, tapi tidak membalas. Dalam hati, ia sedikit lega. Meskipun suasana aneh masih menyelimuti, setidaknya perjalanannya tidak terlalu sepi.

Langit mulai berubah jingga ketika atap-atap rumah sederhana terlihat di kejauhan. Desa kecil di tepi wilayah klan manusia tampak tenang, dengan penduduk yang lalu-lalang menutup kios dagangan atau menuntun ternak mereka kembali ke kandang.

Meiran menatap sekeliling dengan rasa kagum. "Tempat ini… kelihatan damai, ya."

"Di sini aman. Jauh dari perbatasan wilayah iblis," jawab Yuhuan singkat.

Mereka berhenti di depan sebuah kedai makan kecil di pinggir jalan. Aroma makanan hangat langsung menyambut ketika pintu kayu dibuka. Meiran matanya berbinar, aroma itu baru terasa setelah berhari-hari berada di dunia asing ini.

Mereka duduk di sudut ruangan. Yuhuan memilih posisi dekat dinding, masih dengan tudung menutupi sebagian wajahnya.

"Aku pesenin makanan, ya?" Meiran bertanya sambil setengah berdiri.

Yuhuan hanya mengangguk. Tak lama kemudian, Meiran kembali dengan dua mangkuk sup panas dan roti kering.

"Aku nggak tahu kamu suka apa, jadi pesenin yang kayaknya aman buat perut," katanya sambil menyodorkan mangkuk.

Yuhuan menerima tanpa komentar.

Setelah beberapa suap, Meiran akhirnya angkat bicara. "Tadi kamu bilang mau ke utara buat apa?"

Yuhuan meneguk air sebelum menjawab, "Ada seseorang yang harus kita temui."

"Siapa?"

"Seorang petapa. Namanya Lao Ji. Dulu kami pernah satu misi bersama. Dia bisa melihat petunjuk dari garis takdir."

Meiran mengangkat alis. "Petapa bisa meramal?"

"Dia bukan petapa biasa," jawab Yuhuan. "Kelakuannya kadang aneh, tapi instingnya tajam. Dia mungkin bisa memberi kita petunjuk tentang Lingya Crystal… dan tentang kamu."

Meiran menunduk pelan. "Tentang aku, ya..."

Yuhuan menatapnya sekilas. "Kamu masih ingin tahu kenapa kristal itu bereaksi padamu, kan?"

Meiran mengangguk perlahan.

Yuhuan menghabiskan suapan terakhirnya, lalu berkata, "Kalau begitu, kita berangkat pagi-pagi. Lao Ji tinggal di kaki Gunung Shenzhou. Sekitar dua hari perjalanan dari sini."

Meiran menarik napas panjang. "Baik. Tapi malam ini… aku bisa tidur di tempat tidur sungguhan, kan?"

Yuhuan hanya menjawab dengan anggukan singkat, tapi Meiran tahu itu artinya iya. Dan untuk pertama kalinya sejak ia terdampar ke dunia asing ini, ia merasa sedikit lebih siap menghadapi apa pun yang menantinya.

Setelah mengisi perut dan melepas lelah sejenak di kedai itu, Yuhuan membayar makanan mereka lalu berdiri.

"Ada penginapan kecil di ujung jalan. Kita bermalam di sana," ucapnya singkat.

Meiran hanya mengangguk. Tubuhnya memang mulai terasa lelah, apalagi setelah berjalan cukup jauh tanpa istirahat yang layak. Mereka melangkah menyusuri jalan desa yang diterangi lampu minyak temaram, sampai tiba di sebuah penginapan sederhana berbahan kayu tua namun tampak bersih dan rapi.

Yuhuan berbicara singkat dengan pemilik penginapan, lalu menyerahkan beberapa koin. "Satu kamar cukup," katanya tanpa menoleh.

Meiran nyaris tersedak napasnya sendiri. "Satu kamar? Serius?"

Yuhuan menatapnya datar. "Ada dua ranjang. Aku tidur di dekat jendela."

"…Oh."

Begitu masuk ke kamar, Meiran langsung menjatuhkan diri ke ranjang. "Akhirnya tempat tidur beneran," gumamnya sambil menengadah.

Yuhuan hanya duduk di tepi ranjang satunya, membuka tudung yang sejak tadi menutupi kepalanya. Telinga serigalanya sedikit terlihat sebelum ia cepat-cepat menutupinya dengan kain.

Meiran melirik dan nyengir. "Kamu pake tudung itu cuma buat nyamar, ya? Biar nggak ketahuan kalau kamu bukan manusia?"

Yuhuan mengangguk singkat. "Klan Manusia cukup curiga pada makhluk selain mereka. Tidak semua desa bisa menerima."

"Padahal kamu lebih manusiawi daripada sebagian manusia," celetuk Meiran pelan.

Yuhuan hanya menatapnya sekilas, lalu membaringkan diri tanpa menjawab. Meiran ikut diam, memandangi langit-langit kamar dengan banyak pikiran yang berputar.

Namun malam itu, untuk pertama kalinya sejak ia terlempar ke dunia asing, Meiran merasa sedikit lebih tenang.

Sebelum pagi tiba, Meiran terbangun lebih awal dari Yuhuan. Dengan sedikit bingung tentang apa yang bisa dilakukan, dia memutuskan untuk mencoba menyiapkan sarapan. Di ruang penginapan yang kecil itu, Meiran mencari bahan-bahan seadanya, membuat semangkuk bubur sederhana dengan potongan sayuran yang ada.

Ketika Yuhuan terbangun dan melihat Meiran sedang sibuk mengaduk masakan di atas kompor kecil, dia terdiam sejenak. "Kamu... masak?" tanyanya dengan nada sedikit terkejut.

Meiran tertawa pelan, "Ya, apa salahnya? Meskipun aku bukan koki, setidaknya ini bisa mengisi perut."

Yuhuan hanya mengangguk, tapi ada sedikit senyum tipis di wajahnya. "Jangan terlalu banyak berharap. Aku tidak terlalu suka makan sembarangan," katanya, sebelum duduk dan mulai meluruskan tubuhnya.

Namun, Meiran tetap melanjutkan, menambah rempah secukupnya dan mencoba memanfaatkan apa yang ada. Beberapa menit kemudian, dia menaruh mangkuk bubur itu di meja, dengan senyum bangga meski sederhana. "Ini buat kamu juga, Yuhuan."

Yuhuan menatap mangkuk itu, lalu akhirnya mengangkat sendok dan mencicipinya. Meiran mengamati ekspresi wajahnya, berharap ada reaksi positif. Setelah beberapa detik, Yuhuan hanya mengangkat alis, "Tidak terlalu buruk."

Meiran tertawa kecil, "Maksudnya, itu pujian atau cuma karena kamu lapar?"

Yuhuan hanya membisu, menunduk dan melanjutkan makan dengan tenang, sementara Meiran mengerutkan dahi, merasa aneh karena Yuhuan tidak menunjukkan ekspresi seperti biasanya. Namun, dia tidak banyak berpikir lagi.

Selesai makan, Meiran membereskan mangkuk bekas mereka, sementara Yuhuan bergegas ke pasar kecil di dekat penginapan. Ia membeli beberapa potong roti kering, buah-buahan yang tahan lama, dan sedikit daging asap yang sudah dibungkus rapi.

Ia sadar, perjalanan mereka ke utara nanti mungkin tidak akan mudah dan rasa lapar hanyalah salah satu dari banyak tantangan yang akan mereka hadapi.

Saat mereka berjalan menuju pintu keluar penginapan, Meiran sempat bertemu dengan beberapa penduduk desa yang sedang sibuk mempersiapkan aktivitas pagi mereka. Salah seorang ibu-ibu ramah mendekati mereka dengan senyum lebar.

"Kemana kalian berdua pergi? Pagi-pagi begini, kelihatan buru-buru," tanya ibu itu dengan nada ramah, matanya menatap penuh rasa ingin tahu.

Meiran tersenyum dan menjawab, "Kami hanya melanjutkan perjalanan ke utara."

Ibu itu mengangguk, lalu dengan cepat mengganti ekspresi wajahnya menjadi sedikit serius. "Utara, ya? Hati-hati di perjalanan. Banyak yang bilang, di utara itu bukan tempat yang aman untuk orang asing."

Yuhuan yang sejak tadi hanya diam, akhirnya mengangkat wajahnya sedikit, memberi isyarat agar Meiran tidak terlalu banyak berbicara. "Kami sudah tahu risikonya," jawabnya datar.

Ibu itu menatapnya sejenak, seolah menyadari ada sesuatu yang aneh, tapi akhirnya dia hanya mengangguk pelan. "Semoga perjalanan kalian lancar. Jangan terlalu lama di sana, ya."

Setelah ibu itu pergi, Meiran menoleh ke Yuhuan. "Ada apa dengan utara?" tanyanya, heran.

Yuhuan mengangkat bahunya, "Hanya saja ada cerita-cerita dari penduduk yang tidak terlalu menyenangkan. Kita hanya perlu berhati-hati."

Meiran hanya mengangguk, merasa lebih penasaran, namun memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut.

Saat melewati salah satu kios sederhana di desa itu, Yuhuan tiba-tiba berhenti. Matanya menatap ke arah lengan baju Meiran yang masih ada sobekannya sejak kemarin.

"Bajumu perlu diganti," katanya singkat.

Meiran ikut menoleh, lalu tertawa kecil sambil menutupi lengan bajunya. "Iya juga, ya. Aku lupa udah kayak gini."

Tak banyak bicara, Yuhuan menariknya menuju sebuah toko pakaian sederhana di pinggir desa.

"Eh? Yuhuan, kamu serius mau ..."

"Tunggu di sini," potongnya singkat, lalu masuk ke dalam.

Beberapa menit kemudian, Yuhuan keluar membawa sebuah pakaian sederhana, tapi indah, berwarna lembut.

Meiran terdiam, memegang baju itu dengan hati-hati. "...Terima kasih."

Akhirnya, mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju utara, dengan tujuan yang masih jauh di depan mata.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel