Pustaka
Bahasa Indonesia

Takdir Dua Dunia: Aku dan Serigala Langitku

112.0K · Ongoing
KatteMoon
78
Bab
221
View
9.0
Rating

Ringkasan

Meiran Yue adalah reinkarnasi Dewi Keabadian yang kini hidup di dunia modern. Jiwa abadi yang telah melewati banyak kehidupan ini, membuatnya secara alami menyatu dengan kekuatan Lingya Crystal dalam dirinya tanpa sepenuhnya ia sadari. Suatu hari, Meiran terdampar di dunia asing yang penuh misteri dan bahaya. Bersama Yuhuan, pelindung dari klan siluman serigala langit, ia berusaha mencari informasi tentang Lingya Crystal serta rahasia di balik darahnya, termasuk asal usul ibunya, Yue Lian. Namun, musuh-musuh kuat mengincar kekuatan kuno yang tersembunyi dalam diri Meiran. Bisakah dia mengungkap misteri masa lalunya dan melindungi dunia dari ancaman gelap yang mengintai? Ikuti kisah petualangan penuh fantasi, misteri, dan cinta yang akan mengubah takdir mereka selamanya.

RomansaFantasiPengembara WaktuSweetBaperZaman KunopetarungMengungkap MisteriIblisDewa

Bab 1: Dalam Bayang Takdir

Langit gelap seperti kelopak mata tertutup, seolah dunia ini sedang tidur dalam kedamaian yang dipaksa. Angin malam membawa hawa lembab yang menusuk, menyapu dedaunan hutan yang menjulang tinggi. Meiran Yue berlari sekuat tenaga, napasnya terengah, matanya liar mencari jalan keluar dari kegelapan yang menelan seluruh pandangannya. Bajunya robek di beberapa bagian, lututnya berdarah, dan tubuhnya gemetar karena kelelahan… dan ketakutan yang mencekam.

"Apa-apaan dunia ini…?" gumamnya panik, suara teredam oleh desau angin yang berputar.

Beberapa menit lalu, dia masih berada di depan gerbang kampus, bersiap pulang setelah kelas malam yang melelahkan. Namun, sebuah cahaya aneh, seperti pelukan hangat yang menyilaukan, tiba-tiba muncul melingkupi tubuhnya, membawa pergi tubuhnya tanpa peringatan. Saat sadar, dia terjebak di hutan ini, sendirian, tanpa sinyal, tanpa arah. Dan yang paling mengerikan dia tidak sendirian.

Iblis. Makhluk-makhluk mengerikan itu muncul dari balik kabut hutan, perlahan namun pasti. Kulit mereka kelabu, mata menyala merah dengan kegilaan, dan cakarnya yang panjang mencakar tanah seperti binatang buas kelaparan. Tiga dari mereka mengepungnya. Salah satunya menyerang lebih dulu cepat, liar, dan ganas.

Meiran berusaha lari, tapi langkahnya goyah. Ia tersandung akar pohon besar dan jatuh terjerembab ke tanah yang keras. Saat membuka mata, iblis itu sudah mengayunkan cakar ke arahnya dengan kekuatan yang menakutkan.

"A—Aaaahhh!" teriaknya, hampir putus asa.

Wussh! Kilatan cahaya berwarna putih keperakan melesat dari antara pepohonan, seolah waktu berhenti sejenak. Suara hantaman keras menggema, dan iblis itu terpental ke belakang, mengeluarkan erangan liar yang menggetarkan hutan.

Meiran terdiam, membeku sejenak. Segala sesuatu terasa begitu cepat terlalu cepat untuk dicerna.

Di depannya berdiri seorang pria muda. Sosoknya tegap dan karismatik, dengan jubah panjang berkibar tertiup angin malam yang dingin. Rambutnya panjang, berwarna putih perak seperti cahaya bulan, memantulkan kilau misterius yang hampir tak terlihat. Matanya tajam, berwarna keperakan lembut, namun menyimpan kehampaan yang dalam sebuah rahasia yang terkubur. Di tangannya tergenggam sebuah pedang berkilau, tipis dan ringan, seperti terbuat dari kristal yang tidak bisa pecah.

"Apa kau bisa berdiri?" tanyanya tenang, tanpa menoleh ke Meiran, suara itu dalam, menenangkan… namun penuh kekuatan yang tak bisa dijelaskan.

Meiran hanya mengangguk, lalu terhuyung bangkit, masih terkejut dan bingung. Rasa aman yang aneh mulai merayap, meskipun ia masih sangat ragu.

Iblis-iblis lainnya menggeram marah, memandang pria itu dengan penuh kebencian. Mereka menyerbu sekaligus, bergerak seperti bayangan. Tapi pria itu tidak bergerak dari tempatnya. Ia hanya mengangkat pedangnya dengan gerakan tenang, seolah dia sudah menunggu pertarungan ini.

Dalam sekejap, satu sabetan melingkar yang begitu cepat… dan semuanya berakhir. Angin yang tertinggal dari tebasannya menyapu tanah dan menghempas daun-daun kering, menciptakan rasa tenang yang menggelikan setelah ketegangan sebelumnya.

Meiran terperangah. Makhluk-makhluk itu menghilang menjadi asap hitam, lenyap seolah mereka tidak pernah ada. Hening. Hutan kembali sunyi, hanya suara hembusan angin yang terdengar. Pria itu menyarungkan pedangnya, lalu akhirnya berbalik menghadapnya.

"Siapa… siapa kamu…?" bisik Meiran, suaranya bergetar, masih belum bisa memahami apa yang baru saja terjadi.

Pria itu menatapnya dengan mata lembut namun penuh misteri. Ada sesuatu yang sangat dalam, sesuatu yang tidak bisa dia raih. " Aku di sini untuk melindungimu."

Meiran mengerutkan kening, masih belum mengerti. "Melindungiku…? Dari apa?"

Yuhuan menatapnya lama, seolah menganalisisnya. "Dari dunia ini."

Seketika, angin dingin kembali berhembus, membawa hawa tajam yang meremukkan perasaan. Meiran merasakan tengkuknya merinding. Dunia ini apa, sebenarnya tempat ini?

"Aku… aku bukan dari sini," katanya ragu, matanya kosong, hampir tidak percaya dengan kata-katanya sendiri. "Aku… tiba-tiba terjatuh ke sini. Aku nggak tahu ini di mana…"

Yuhuan mengangguk perlahan, seperti sudah tahu apa yang akan dikatakan Meiran. "Karena itu kau dipilih."

"Dipilih?" tanya Meiran, kebingungannya semakin dalam.

"Lingya Crystal telah memilihmu."

Kata itu menggema di kepala Meiran, Lingya Crystal. Ia tidak tahu apa maksudnya, tetapi saat mendengarnya, sesuatu di dalam dirinya bereaksi. Seolah nama itu pernah terdengar jauh di masa lalu… atau masa depan. Semuanya terasa asing, dan begitu dekat pada saat yang bersamaan.

Yuhuan melangkah perlahan mendekatinya, namun tidak mengancam. "Ini belum waktunya kau tahu semuanya. Tapi satu hal yang pasti, dunia ini tidak akan memperlakukanmu dengan ramah. Banyak yang akan mengejarmu… karena kristal itu."

Meiran menatapnya bingung, masih mencari-cari jawaban di dalam matanya yang penuh teka-teki. "Apa aku bisa tahu… siapa namamu?"

Pria itu menatapnya sejenak sebelum menjawab dengan suara rendah, penuh makna, "Yuhuan."

"Aku Meiran… Meiran Yue," katanya pelan, tidak yakin apakah kata-katanya benar-benar keluar dengan lancar.

Yuhuan mengangguk ringan, memberi tanda persetujuan. "Baiklah, Meiran. Untuk sekarang, ikutlah denganku."

Langkah kaki mereka menyusuri hutan perlahan, langkah Yuhuan mantap dan terarah, sedangkan Meiran masih limbung, tetapi kehadiran Yuhuan di sampingnya memberinya rasa aman yang aneh. Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi di kedua sisi mereka, seolah penjaga diam yang tak bergerak, dan bulan di langit menyinari jalan mereka dengan cahaya pucat yang hampir tak tampak.

"Ke mana kita akan pergi?" tanya Meiran akhirnya, mencoba mengusir sunyi yang menyesakkan, mencoba untuk bertanya lebih banyak meski tak tahu harus mulai dari mana.

"Ada tempat aman tidak jauh dari sini," jawab Yuhuan. "Kau perlu beristirahat."

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di sebuah gua kecil tersembunyi di balik semak belukar, yang seolah tidak terlihat oleh siapapun selain mereka. Di dalamnya ada api unggun kecil yang sudah lama menyala, menyinari tempat mereka. Yuhuan mempersilakan Meiran duduk, lalu dengan sigap merobek sebagian kain dari jubahnya untuk membalut luka di lutut Meiran.

"Tidak terlalu dalam," katanya lembut, tangannya sangat hati-hati saat menangani luka tersebut. "Tapi tetap harus dibersihkan."

Meiran hanya mengangguk, menerima bantuan itu dengan perasaan campur aduk. Ada sesuatu yang menenangkan dalam cara Yuhuan memperhatikannya bukan seperti penjaga, tapi seperti seseorang yang sudah lama menunggu momen ini, seperti sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Setelah luka dibalut, Yuhuan duduk di seberangnya, di sisi lain api unggun. Matanya menatap kobaran api dengan pandangan jauh, seolah pikirannya jauh di tempat yang tak terjangkau oleh Meiran.

"Aku tahu kau bingung," katanya pelan, memecah keheningan yang menyesakkan. "Tapi waktu akan menjawab semuanya."

"Aku tidak tahu apakah aku bisa…" gumam Meiran, hampir tak terdengar, hatinya penuh keraguan.

Yuhuan menatapnya dalam, matanya penuh pemahaman. "Kau tidak sendiri."

Dan entah mengapa, kata-kata itu cukup. Cukup untuk memberi Meiran kekuatan untuk bertahan lebih lama, meskipun pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya tak kunjung terjawab. Untuk malam ini, Meiran memilih percaya.