Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Clarissa Putri Almashyra

Aku mengempaskan tubuhku ke atas ranjang, menutup mataku dengan telapak tangan kananku. Aku bosan ....

Yah, selama ini aku hanya mengurung diri di rumah tanpa punya kesibukan apa pun, tiada yang bisa ku lakukan. Entahlah, aku masih merasa takut. Hatiku belum sanggup jika nanti tanpa sengaja mendengar cibiran tetangga tentangku.

Sejujurnya aku malu. Di usiaku yang bahkan belum genap dua puluh tahun, aku sudah menyandang status ini—janda. Apalagi sebelumnya aku hamil di luar ikatan pernikahan.

Pastilah banyak orang yang membicarakan keburukanku dari belakang. Tapi aku sadar, aku memang pantas mendapatkan sanksi sosial seperti itu. Semua memang salahku. Kelakuanku dulu memang sangat buruk. Semoga saja tak ada lagi yang bernasib sama sepertiku. Cukup aku saja yang merasakan pedihnya.

Aku selalu berharap, semoga gadis-gadis di luar sana sanggup menjaga diri mereka sendiri dengan sebaik mungkin. Ku harap mereka mampu menjaga harga diri mereka, harta paling berharga sebagai wanita; kesucian. Jangan pernah memberikan hal itu apa pun alasannya, secinta apa pun dirimu padanya.

Karena, jika hal itu sampai terenggut sebelum adanya ikatan pernikahan, yakinlah ... kau akan menyesal, hanya penyesalan yang akan kau dapatkan. Sama seperti apa yang ku alami sekarang.

Ingatlah satu hal; di dalam nafsu belum tentu adanya cinta. Namun, di dalam cinta pasti terdapat nafsu. Itu pasti. Hanya saja, jika seorang lelaki benar mencintaimu, maka ia tak akan merusak harga dirimu. Justru sebaliknya, ia akan selalu menjagamu hingga pada waktunya tiba, saat hubungan cinta itu akan bermuara pada ikatan pernikahan; resmi di mata Tuhan maupun hukum.

Bukankah hal itu terdengar sangat indah?

Hahaha ... nyatanya itu tak terjadi padaku. Tuhan mempertemukan diriku dengan pria yang salah terlebih dahulu.

Ah, andai saja aku mampu memutar kembali waktu ....

Aku menghela napas panjang, kemudian bangkit. Rumah saat ini terasa sangat sepi—Ayah dan Ibu sedang pergi dinas ke luar kota, dan aku sendirian di rumah tanpa kegiatan.

Hahhhh ... sepertinya aku memang harus secepatnya melanjutkan pendidikan. Setidaknya aku akan punya banyak kesibukan, dan semoga saja dengan begitu aku bisa melupakan semua masalahku. Meskipun hanya sementara.

Aku bergeming saat melihat pantulan wajahku di cermin meja riasku.

'Sepertinya aku harus potong rambut besok.'

Aku terkesiap dari lamunan saat mendengar bel rumahku berbunyi. Aku menoleh sejenak pada jam dinding yang tergantung tak jauh dari posisiku.

Ah, sudah hampir malam.

Kira-kira siapa yang datang di jam seperti ini?

Ah, jangan-jangan lelaki itu ....

Dan aku mempercepat langkahku menuruni tangga saat bel itu kembali berbunyi nyaring.

"Tunggu sebentar," teriakku sambil melangkah mendekati pintu.

Dan ketika aku telah membuka daun pintu di depanku, ternyata aku salah. Bukan lelaki dengan tatapan teduh itu yang berada di balik pintu seperti biasanya. 

Lelaki ini ... lelaki yang paling tak ingin ku temui di dunia; Arshaka Mahendra.

Hatiku berdenyut ngilu saat pandangan kami bertemu.

Kulihat pria itu tersenyum dan hendak berkata. Namun, sebelum sepatah kata pun keluar dari bibirnya, dengan cepat ku dorong kembali daun pintu itu—aku ingin kembali menutupnya. Namun sayang, gerakan lelaki itu lebih cepat dari yang ku kira. Tangan lelaki itu menahannya.

"Tunggu, Cha," cegahnya.

Aku berdecak sebal, meskipun jantungku bertalu semakin tak karuan. "Mau apa lagi?"

Ia menatapku lama, mata itu masih sama memukaunya seperti dulu. Sejujurnya aku merindukan tatapan itu. Sangat.

Tatapan mata yang hampir dua tahun ini selalu menemaniku, mulai dari aku membuka mata hingga malam menutupnya. Sungguh, rasa itu masih ada.

Tapi kenyataan seakan menamparku.

Tidak! Aku tidak boleh seperti ini!

'Selama ini dia menipumu!'

'Dia tidak pernah mencintaimu!'

'Sadarlah, Cha! Dia bukan siapa-siapamu lagi sekarang!'

"Bolehkah aku masuk?" tanyanya, melenyapkan segala lamunanku.

"Tidak," jawabku ketus, kemudian mencoba menatap tajam matanya. "Aku tak perlu menjelaskan alasannya, kau pasti sudah mengerti status kita seperti apa sekarang."

Yah, aku dan dia sudah resmi bercerai. Akan sangat tidak baik jika mantan suami-istri berada di satu rumah hanya berdua. Akan menjadi fitnah pada akhirnya.

Aku pun tak ingin lebih merusak image-ku yang sudah jelek ini menjadi lebih buruk lagi.

Sedangkan Shaka hanya diam menatapku dengan pandangan itu—pandangan yang seakan sangat merindukanku dan terluka.

Ah, aku harus mengalihkan pandangan secepatnya. Aku tak ingin goyah.

"Pulanglah," usirku.

Wajah tampan itu menegang, seakan terkejut dengan ucapanku. "Ku mohon ... aku ingin menjelaskan sesuatu padamu." Ia hendak meraih tanganku. Namun, secepat kilat aku menampiknya. Aku tak ingin lagi disentuh olehnya. Sudah cukup aku terluka.

"Silakan."

Ia terlihat menghela napas kasar sebelum berucap. "Yang kau tuduhkan padaku itu tidak benar, Cha. Kau salah paham."

Aku menaikkan sudut bibirku, tersenyum miring padanya. "Sudahlah. Aku lebih percaya mata kepalaku sendiri daripada bualanmu. Lagi pula kita sudah selesai," ucapku sedatar mungkin.

Raut itu seakan penuh kepedihan ketika tatapan mata kami saling jumpa. "Aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa, Cha. Aku masih mencintaimu." Bibir itu terlihat bergetar.

Bibir itu ... bibir yang selama ini selalu mengatakan cinta padaku, bibir yang sudah akrab mencumbuku ... aku sebenarnya masih tak menyangka jika semua itu hanya semu.

"Persetan dengan cinta palsumu itu!" bentakku. Napasku memburu. "Semuanya sudah terlambat. Kau ... kau harusnya bahagia. Kau sudah tak perlu lagi kucing-kucingan di belakangku. Kau sekarang sudah bebas melakukan apa pun dengan mantan kekasihmu itu." Entahlah, hatiku sakit, sangat sakit ketika mengucapkannya. Seberkas ingatan beberapa bulan yang lalu, pengkhianatan itu, seketika melintas di kepalaku, berputar-putar bagai kaset rusak.

"Sudah ku bilang itu salah paham! Aku dan dia tidak melakukan apapun! Aku mencintaimu, Clarissa. Hanya kau. Aku tidak bisa hidup tanp—"

"Cukup!" aku memotongnya. "Hubungan kita memang sudah salah sejak awal, tak ada yang perlu disesali lagi." Ku beranikan menatap kedua matanya. "Aku ... sudah tak mencintaimu lagi."

Bohong!

Tentu saja aku berbohong. Aku bahkan masih sangat mencintainya sampai detik ini.

"Cha? Jangan bercanda ...." Ia memandang tak percaya padaku, dengan raut terlukanya.

"Apa aku terlihat sedang bercanda, hah?!" aku menantangnya. Ku tatap kedua matanya dengan mataku yang mulai memanas. Aku tidak boleh menangis! "Aku tak mencintaimu lagi, itu kenyataannya. Jangan membuatku berbalik membencimu. Sekarang pergilah." Aku segera membuang muka sebelum air mata sialan ini benar-benar mengalir dari pelupuk mataku.

"Maafkan ak—"

Sebelum ia menyelesaikan kata, aku membanting pintu sekuat tenaga, kemudian merosot jatuh. Air mata perlahan saling mendahui menuruni kedua belah pipiku, seiring kenangan-kenangan manis yang berputar di benakku. Kenangan manis yang sekarang terasa bagaikan racun mematikan, yang dapat membunuhku secara perlahan.

'Entah kenapa di saat seperti ini aku membutuhkanmu, Kelvin.'

***

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel