Pustaka
Bahasa Indonesia

(Tak) sempurna

68.0K · Tamat
Riri riyanti
61
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Hidupku terlalu kelam untukmu. Kenapa kau tidak melupakanku saja? Kau lelaki sempurna, tidak sepantasnya bersanding denganku yang hina. Jadi, bisakah kau berhenti mencintaiku dan pergi?

Mengandung Diluar NikahPerceraianWanita CantikRomansaMetropolitanSweetKampusIstriMenyedihkanBaper

intro

Note : cerita ini memakai sudut pandang orang pertama, bergantian antara Clarissa dan Kelvin.

^^^

Air di bawah tubuhku terlihat berarus kencang. Aku menatapnya nanar seiring jatuhnya air mata di kedua pipiku. Tak lama keluarlah isakan tangisku. Aku mencengkeram erat besi pembatas jembatan tempatku berdiri saat ini dengan pikiran kalut, kemudian ku angkat kaki kananku menaikinya. Sungguh, aku ingin sekali terjun ke bawah sana, menenggelamkan tubuhku pada derasnya arus sungai itu. Kemudian ... mati.

Ya, aku ingin mati.

Hidupku telah hancur!

Lalu, apa gunanya aku tetap hidup sekarang?

Aku memejamkan mataku rapat-rapat, seiring kembali menyeruaknya air mata pada kedua sudut mataku.

Aku ... seorang janda sekarang. Dan sungguh, aku sangat membenci status itu!

Beberapa tahun terakhir ini hidupku berubah. Aku yang terbiasa hidup bahagia dengan limpahan kasih sayang dan curahan perhatian kedua orang tua beserta sahabat-sahabatku, pada akhirnya harus rela kehilangan semua itu.

Aku hamil.

Hamil di usia yang masih terlalu muda, di luar ikatan pernikahan, saat aku masih duduk di bangku SMA tahun terakhir.

Aku akui semua itu memang salahku. Aku dengan segala kelabilanku saat itu dengan mudahnya terbujuk oleh kata-kata cinta nan manis dari bibir mantan suamiku; yang dulu masih berstatus kekasihku.

Dia ... Shaka, Arshaka Mahendra. Pria yang paling ku cintai di dunia ini, bahkan hingga detik ini, saat palu hakim telah terketuk, seiring berakhirnya tugasku sebagai seorang istri.

Dia menceraikanku, namun bukan dengan kemauannya sendiri. Ya, akulah yang memintanya.

Bukan tanpa alasan, aku melakukan semua itu dengan penuh pemikiran. Dan perpisahan adalah jalan terbaik, setidaknya untuk dia.

Aku membuka mata dengan pandangan kabur menatap batu besar di bawah sana. Ah, aku pasti akan langsung mati jika kepalaku terbentur di sana, dan menyusul anakku.

Aku tersenyum pedih, ku angkat tangan kanan pada permukaan perutku yang datar. Di sini pernah hidup sesosok malaikat kecilku, yang sayangnya belum sempat ku lahirlah ke dunia.

Dia ... hasil buah cintaku bersama Shaka. Seorang anak yang ku kira akan mampu membawa cahaya dalam kegelapan hidupku. Dan mengubah kehidupanku bersama Shaka menjadi lebih baik.

Tapi ternyata Tuhan mengambilnya, merenggut paksa janin yang ku kandung tiga bulan itu begitu saja, hingga kehidupan rumah tangga yang tercipta dengan keterpaksaan ini akhirnya merenggang kemudian ... berakhir duka.

Mungkin itu hukuman Tuhan. Aku memanglah manusia kotor, wajar saja Tuhan membenciku.

Sejak saat itu aku selalu menyalahkan Shaka atas keguguran yang ku alami. Aku pikir semua itu salahnya. Ia yang tak bisa menjaga aku dan anaknya dengan baik. Aku kecewa padanya. Aku selalu meminta perceraian darinya semenjak itu, tapi dia terus meyakinkanku untuk tetap bersamanya.

Tapi aku tidak bisa.

Meskipun hatiku selalu berteriak mencintainya, meskipun jantungku hanya bisa mendebarkan namanya.

Karena aku tidak boleh egois!

Aku harus melepasnya.

Apalagi setelah aku menemukan sebuah fakta bahwa sesungguhnya ia masih mencintai mantan kekasihnya.

Dia berhak bahagia. Dan bahagianya bukan denganku, aku tahu itu. Dia menikahiku hanya karena tanggung jawab. Dia pria baik. Aku yang buruk. Anggap saja begitu.

Aku tersenyum paksa seraya menaikkan kaki kiriku. Ku rentangkan kedua tanganku dan bersiap terjun bebas.

Aku akan bahagia setelah ini. Yah, ku pikir begitu.

Ku rasakan desiran angin malam menerbangkan rambut panjangku, aku memejamkan mata, kemudian bersiap menjatuhkan diri ke dasar sungai di bawah sana.

Ayah ... Ibu ... Shaka ... selamat tinggal.

"HENTIKAN!"

Belum sempat aku menjatuhkan diri, aku terperanjat mendengar suara teriakan itu, disusul derap langkah kaki yang semakin mendekat kearahku.

Ku rasakan kedua lengan kekar memeluk perutku setelahnya, menyeret tubuhku menuruni pembatas jembatan dengan paksa. Hal yang membuatku oleng, lalu jatuh ke dalam pelukan seseorang yang ku yakini adalah seorang pria.

Tentu saja aku langsung berontak. Melepas paksa pelukan pria itu dengan sekuat tenaga, kemudian menatap tajam wajah tampan pria itu. Menatap penuh amarah pada mata kelamnya dengan derai air mata yang kembali menuruni kedua pipiku.

Apakah aku tidak pantas menjemput kebahagiaanku?!

"Lepaskan aku!" bentakku. Namun, baru satu detik aku terlepas dari pelukannya, ia kembali meraih kedua pinggangku.

Aku kembali menatap tajam kedua mata hitam cemerlangnya, mata yang entah kenapa sepertinya aku pernah melihatnya sebelum ini.

"Tidak. Kau akan melompat jika ku lepaskan."

"Apa pedulimu?!" kembali, ku tinggikan nada bicaraku yang bercampur isakan, memukul-mukul dadanya dengan brutal. "Kau siapa?! Aku tidak mengenalmu! Kau ... tidak tau apa-apa tentang masalahku. Jadi, biarkan aku mati."

Dia meraih kedua tanganku. "Hey, Nona ... bunuh diri bukanlah cara untuk menyelesaikan masalah!" ucapnya di telingaku, membuatku mendongak menatap wajah tampan dengan rambut hitam berantakan yang menatap lembut padaku. "Kau boleh tidak mengenalku, tapi aku mengenal baik dirimu. Maka, izinkan aku menyembuhkan luka hatimu. "

Saat itulah pertama kalinya aku bertemu dengannya. Pada pemuda berambut sekelam malam dan bermata teduh nan cemerlang yang tampan. Seseorang yang ku harapkan mampu mengobati setiap luka yang ku derita.

Dia ... Kelvin Hardinata.