6. Kelvin Hardinata
Wajah itu terlihat lesu kala tanpa sengaja aku menatapnya ketika ia melintas di depan mobil yang baru saja ku parkirkan ini. Lelaki itu, Arshaka. Teman sekolahku dulu, sekaligus ....
Ah, sebenarnya aku malas menyebutkan ini—dia mantan suami Clarissa.
Aku terhenyak. Tiba-tiba hatiku merasa tak tenang saat memikirkan kemungkinan mengapa lelaki itu berada di sini.
Apa yang ia lakukan pada Clarissa?
Apakah Clarissa baik-baik saja?
Dan setelah lelaki itu melesat dengan motor besarnya, aku segera bergegas turun dari mobilku. Dengan langkah panjang-panjang aku melangkah menuju pintu besar itu—pintu rumah Clarissa, kemudian memencet belnya.
Nyatanya setelah beberapa kali tombol bel ku tekan, tetapi tetap tidak mendapatkan sahutan. Hatiku menjadi semakin tak tenang.
Ku putuskan untuk memencet bel sekali lagi.
Sekali lagi.
Hingga berkali-kali. Namun, Sang Tuan rumah belum juga membuka pintunya.
Aku semakin khawatir saja.
"Cha, buka pintunya!" teriakku dari luar. Ku ketuk pintu berbahan kayu jati itu dengan keras. Ku coba membuka gagang pintunya dari luar, rupanya terkunci.
Astaga! Aku bertambah khawatir!
"Cha, ini aku! Ku mohon buka pintunya!"
Dan pada akhirnya usahaku tak menjadi sia-sia. Tak lama terdengar suara kunci yang diputar dari dalam, dan setelahnya pintu besar itu perlahan terbuka, menampilkan sosok yang begitu ku khawatirkan di baliknya.
Secara refleks aku menghela napas lega. Akhirnya!
Setelah sosok Clarissa tertangkap oleh kedua mataku, aku segera mendekatinya. Ku teliti dari ujung rambut hingga ke ujung kaki, ia terlihat kurang baik. Rambutnya terlihat kusut, dengan ekspresi wajah yang datar. Aku yakin ia baru saja menangis—ada bekas air mata di pipinya.
Kedua tanganku refleks memegang ke dua bahu mungil Clarissa, yang tentu saja langsung ditepis kasar olehnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku dengan khawatir. "Tadi aku melihat Arshaka, dia menemuimu? Dia ... tidak macam-macam padamu, kan?" aku memberondongnya dengan pertanyaan.
Sedangkan Clarissa hanya menunduk dengan pandangan kosong ke lantai di depannya.
"Mau apa kau ke sini?" tanyanya lirih, yang seolah mengusirku. Membuatku mengerang frustrasi.
Tentu saja aku tak akan pergi, sekali pun ia menendangku dari sini.
'Tak tahukah dirimu jika aku begitu mencemaskanmu?'
"Cha ...." Aku memanggil namanya dengan lirih, berharap ia mengerti jika aku tak suka dengan pertanyaan yang baru saja meluncur dari bibirnya yang sewarna buah cherry.
"Lebih baik kau pergi sekarang juga," lanjutnya, datar. Tanpa sedikit pun menoleh padaku, yang justru membuatku semakin mengkhawatirkan dirinya.
Dengan sedikit ragu, tangan kananku terulur, mengangkat dagu wanita di depanku. "Cha, lihat aku."
Ku kira ia akan menolak sentuhanku seperti biasanya. Namun, kali ini ia hanya diam menurut. Wajah pucatnya saling berhadapan dengan wajahku.
Dan benar saja, air mata sudah tergenang di kedua mata itu, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk terjun bebas membasahi kedua pipinya.
"Kelvin ...." Dan akhirnya tangis wanita itu benar-benar pecah. Isakan yang mati-matian ia tahan, kini menyeruak ke permukaan. Kedua pipinya kini banjir oleh cairan bening; air mata. Hatiku terasa nyeri saat melihatnya seperti ini.
"Sebaiknya kita masuk dulu," putusku, menggiringnya masuk ke dalam rumah. Menyuruhnya duduk di kursi empuk di ruang tamunya. Akan sangat terlihat tak baik jika kami berbicara di luar dengan keadaannya yang seperti ini.
Aku mendudukkan diri di sebelahnya, menatapnya prihatin. Aku ingin sekali menyentuh bahu bergetar itu, menggenggam tangan dingin itu untuk sekadar menenangkan. Tetapi, entah kenapa aku tak punya keberanian. Clarissa sangat anti dengan sentuhan.
Namun, saat kembali mendengar isakan tangisnya, tangan kiriku dengan refleks terangkat, mengelus punggung wanita itu. Dan tidak ada penolakan darinya. Syukurlah.
"Ssttt ... tenang, ya ... ada aku di sini," ucapku mencoba menghibur. "Kau bisa menceritakan semuanya padaku, Cha."
Perlahan ia menatapku dengan matanya yang memerah, ia terlihat ragu. Kedua mata indahnya yang tergenang air mata tampak bergerak gusar ketika pandangan kami bertemu.
Ia segera menghapus air mata di kedua pipinya, kemudian menghela napas panjang sebelum memulai berbicara. "Dia jahat, Vin." Seakan tak mampu ditahan, isakan tangis itu semakin meluncur keluar di sela ucapan. "Dia sudah mengacaukan hidupku. Seharusnya dia pergi saja. Tapi dia datang lagi dan membuatku mengingatnya," ungkapnya diiringi linangan air mata. Sejujurnya hatiku sakit, ia terlihat begitu mencintai Arshaka.
'Clarissa, tak bisakah kau melihatku sekali saja?'
"Dia jahat, Vin ... aku mencintainya, tapi dia menghancurkanku. Seharusnya dia sudah bahagia setelah berpisah denganku, kan? Kenapa dia harus kembali?!"
Aku hanya terdiam menatapnya. Terkadang seseorang hanya perlu didengarkan. Dan aku mencoba menjadi pendengar yang baik untuknya, tanpa menyela. Yah, meskipun jantungku serasa dihunjam tajam kala mendengar segala ungkapan hatinya. Ia memiliki cinta yang begitu besar pada Arshaka, pantas saja jika ia merasa sangat tersakiti.
"Setiap kali melihatnya, hatiku sakit. Aku merindukannya, tapi hatiku sakit. Sakit sekali hingga rasanya ingin mati."
Aku tersentak saat mendengar ucapan terakhirnya. Sebegitu cintanya kah ia pada lelaki itu?
"Ssttt ... jangan berbicara seperti itu. Masih ada aku." Aku mencoba memberikannya kalimat menenangkan.
Namun, tangisnya justru semakin kencang. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menghalau air mata yang tiada habisnya jatuh menuruni pipi.
"Jika kau butuh sandaran, bahuku selalu tersedia untukmu, Cha." Dengan hati-hati ku sandarkan kepala cantik itu pada bahuku. Biarlah ia puas menangis, ia akan merasa lega setelahnya.
***
"Sudah merasa lebih baik?" tanyaku saat Clarissa mengangkat kepalanya dari bahuku. Ku rogoh sebuah sapu tangan dari kantong celanaku, mengangsurkannya pada Clarissa. "ini ... hapus air matamu pakai ini, ingusmu kemana-mana, Cha," ucapku dengan candaan setelahnya.
Serius, Clarissa terlihat sangat menggemaskan sekarang. Hidungnya yang memerah ... ugh, entah kenapa aku ingin sekali mencubitnya.
"Kau meledekku?!" ia melotot lucu padaku. Tangan kanannya meraih sapu tangan dariku. Entahlah, sepertinya ia sudah mulai menerima keberadaanku. Dan aku merasa senang.
"Haha ... bercanda."
Ah, aku teringat sesuatu.
"Sebentar. Aku punya sesuatu untukmu." Ku rogoh kantong kemejaku untuk mengeluarkan sesuatu di dalamnya.
Ia melirikku dengan matanya yang menyipit. "Jangan bilang kalau itu coklat."
Aku tertawa mendengar tebakannya yang memang tepat sasaran. "Haha ... kenapa kau bisa tahu?"
"Kau selalu memberikanku itu jika berkunjung."
Aku menghentikan kekehanku, kemudian menyerahkan coklat batangan yang ada di tanganku padanya. "Terimalah."
"Kau ... benar-benar ingin membuatku gendut, hah?!" dan yang tak ku sangka ia menerimanya, berbanding terbalik dengan ucapannya.
Aku kembali tertawa.
"Apa aku harus mengulang perkataanku yang kemarin?" candaku.
"Dasar kau!" ia menimpukku dengan bungkus coklat. Dan .... Clarissa tertawa.
Aku tertegun menatapnya.
"Kau sangat cantik ketika tertawa, Cha."
Dan pipi itu memerah seketika.
***
Bersambung...
